Sabtu, 10 Oktober 2015

Ruang Tahanan Dengan Fasilitas AC Sebagai Suatu Pelayanan Publik Di Pengadilan Negeri Kayuagung

Ruang Tahanan Dengan Fasilitas AC Sebagai Suatu Pelayanan Publik Di Pengadilan Negeri Kayuagung
Ruang Tahanan Dengan Fasilitas AC Sebagai Suatu Pelayanan Publik  Di Pengadilan Negeri Kayuagung.
Inovasi Pelayanan Publik PeradilanTahun 2015.   
Pendahuluan.
Pengadilan Negeri Kayuagung, yang merupakan salah satu Satuan Kerja (SATKER) yang berada dibawah pada Lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia di daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir,    tentunya harus memiliki semangat dan berperan aktif dalam memajukan pembaharuan guna mewujudkan visi misi Mahkamah Agung RI, yakni “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung”. Berbagai upaya untuk mewujudkan visi misi diatas, Pengadilan Negeri Kayuagung juga harus ikut dalam upaya melakukan pembenahan diberbagai hal, antara lain :
1.    Pembenahan ruang sidang anak dan ruang Mediasi / Diversi yang memadai.
2.    Penataan ruang arsip.
3.    Penyempurnaan di bidang IT .
 4.    Pemberian fasilitas AC pada ruang Tahanan .
 5.    dan lain-lain.   

Permasalahan.
Umumnya pada setiap persidangan yang akan digelar di Pengadilan Negeri Kayu Agung, para tahanan (terdakwa) dibawa / diangkut dari Rumah Tahanan Tanjung Raja maupun Lapas Kayuagung, dengan menggunakan mobil tahanan Kejaksaan Negeri yang kapasitasnya sering overload / dipenuhi para tahanan tentunya akan mengalami kesesakan serta kepanasan, sebab jarak tempuh + 10 (sepuluh) kilometer, sudah barang tentu sesampainya di Pengadilan Negeri Kayuagung mereka akan ditempatkan di ruang tahanan dalam kondisi lelah, sementara mereka harus menghadapi jalannya persidangan, tidakkah kondisi ini memperihatinkan ?
Apakah terhadap kondisi sedemikian, sudah mendapat perhatian bagi para pengambil kebijakan ?   

Pembahasan.
Sehubungan diadakannya kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan pada tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI, maka Pengadilan Negeri Kayuagung juga harus ikut berpartisipasi, dalam mendukung program-program sesuai kemampuan yang dimiliki . Pengadilan Negeri Kayuagung, dalam kesempatan ini mencoba mengangkat sub-thema yaitu : Inovasi Pelayanan Publik Peradilan, Dalam Perspektif “Kenyamanan Para Tahanan di Ruang Tahanan Pengadilan Negeri Kayu Agung” 
Sesungguhnya ada sentuhan dan perasaan yang mendalam bagi setiap para tahanan saat menunggu giliran jadwal / waktu dimulainya pemeriksaan persidangan dan juga saat menanti dibacakannya putusan Majelis Hakim atas perkara yang dihadapi oleh para tahanan tersebut. Sudah barang tentu ada rasa lelah dalam menjalani proses penahanan, maupun persidangan karena sebuah tuduhan / dakwaan tindak pidana yang mungkin terbayangkan atau tidak terbayangkan baginya sehingga telah terpisah dengan keluarga yang dicintainya, dapat saja kondisi ini terlepas dari jangkauan logika yang serba terbatas dimiliki oleh mereka Bahwa dengan merujuk kepada sebuah konstitusi UUD 1945, dikatakan : Pasal 28 I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, ialah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pasal 28 I ayat (5): “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”. Apalagi dengan mempedomani adanya “asas praduga tidak bersalah” yang masih berlaku kepada para seluruh tahanan / terdakwa, sebelum ia-nya mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, oleh karenanya, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, didakwa, dituntut, dan atau dihadapkan di depan persidangan pengadilan, kepada mereka wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, telah menyatakan kesalahannya . Untuk itulah perlu dilakukan, Inovasi Pelayanan Publik Peradilan Tahun 2015 di Pengadilan Negeri Kayuagung. Bahwa pelayanan terhadap pencari keadilan tidak hanya untuk mereka yang menggugat, namun juga bagi mereka yang menjadi terdakwa yang adalah berkedudukan sama selaku pencari keadilan, sehingga harus sama-sama diberi pelayanan sebaik mungkin dan harus manusiawi. Setidaknya selain menyediakan tempat yang bersih dan sedapat mungkin ada sedikit aroma yang baru, tidak lebih karena hal itu juga menjadi hak dari para pencari keadilan termasuk terdakwa. Menilik secara khusus keberadaan 2 (dua) ruang tahanan di Pengadilan Negeri Kayuagung, yang memiliki ruang bangunan sederhana dan berukuran masing-masing 5 meter x 7 meter, dan 2,5 meter X 5 meter, secara wajar hanya dapat dimuat oleh 20 (dua puluh) orang tahanan. Semula kondisi ruang tahanan hanya difasilitasi 2 (dua) buah kipas angin, sementara kapasitas penghuni ruang tahanan dewasa harus diisi oleh sebanyak 40 (empat puluh) orang tahanan, dengan harus menunggu jadwal / giliran untuk mengikuti persidangan. Tentunya keberadaan fasilitas 2 (dua) buah kipas angin, dalam sebuah ruang tahanan yang sedemikian ditambah lagi kondisi cuaca daerah Kayuagung yang tropis (cuaca panas), maka hal ini merupakan salah satu perhatian yang menjadi suatu kondisi keprihatinan. Keadaan kondisi sedemikian tentunya dapat berpotensi menjadi polemik, dan harus mendapat kepedulian, walaupun  penempatan para tahanan di ruang tahanan Pengadilan Negeri Kayuagung temporer sifatnya, atau semata-mata hanya merupakan persinggahan untuk beberapa saat sebelum mengikuti persidangan, namun tidaklah berlebihan apabila dilakukan sentuhan perasaan / perlakuan untuk menghadirkan ketenangan dan / kesejukan, sehingga saat akan menuju ruangan untuk mengikuti persidangan para tahanan senantiasa berada dalam keadaan koperatif,setidaknya karena telah diperlakukan dengan selayaknya (dalam arti telah dihargai / di-manusiakan). Dampak selanjutnya akan dirasakan oleh Majelis Hakim yang akan mengadilinya dapat pula memperlakukan para tahanan / terdakwa sebagai subjek hukum dan bukan sebagai objek hukum. Bahwa dengan memperhatikan suasana kondisi yang sedemikian, maka pada setiap ruang tahanan di Pengadilan Negeri Kayuagung,saat ini telah dilakukan inovasi dengan memberikan fasilitas AC (Air Conditioning) pada kedua ruang tahanan tersebut, tentunya semata-mata hanya bertujuan, untuk lebih memanusiakan para tahanan / terdakwa selaku insan manusia, sebagai salah satu bentuk Inovasi Pelayanan Publik di Pengadilan Negeri Kayu Agung, dan sudah barang tentu hal ini tidaklah menyalahi ketentuan hukum yang ada, sepanjang dilakukan secara adil dan merata.            
Demikian ungkapan selayang pandang disampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua, salam Inovasi.  

Hormat kami,
Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung.
    
DOMINGGUS SILABAN, SH.MH.     
NIP 196506261992121001. 

Kamis, 16 Juli 2015

Advokat Sangat Rentan Dengan Tindak Pidana Suap, Didalam Menjalankan Profesinya

Advokat Sangat  Rentan Dengan Tindak Pidana Suap,
Didalam Menjalankan Profesinya
oleh : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH
Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung.

A. Latar Belakang .
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan demikian advokat telah dimasukkan secara resmi berstatus sebagai  penegak hukum (Pasal 5 ayat 1). Sistem Hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan didepan hukum (equality before the law). Sehingga hak untuk didampingi Advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam system hukum Indonesia. Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat dengan prinsip-prinsip hukum yaitu equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all).
Bagi para advokat, hal pertama yang harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa profesi ini bersumber dari perasaan kemanusiaan yang mendambakan keadilan. Dikarenakan oleh itu landasan kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan hukum lahir dari panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat itu, para dermawan terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya. Diperjuangkannya nasib kaum buta hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut haknya dalam peradilan. Sejak itu pula, konsep bantuan hukum tersebut berkembang hingga saat ini.
Peran Advokat memiliki arti penting dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak saksi, tersangka maupun terdakwa. Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi terdakwa dalam menghadapi tekanan penegak hukum yang lain terhadap terdakwa. Posisi terdakwa yang berhadapan langsung dengan unsur negara (dalam hal ini diwakili oleh polisi dan kejaksaan) sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan baik dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang antara terdakwa dan negara (dapat diibaratkan seperti David dan Goliath) menyebabkan muncul pemikiran untuk memberikan kepada terdakwa hak-hak antara lain: hak untuk tidak menjawab, hak untuk didampingi advokat dan lain-lain.
Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi abuse of power yang dilakukan oleh penegak hukum yang memegang kuasa jika abuse of power dibarengi dengan judicial corruption maka dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi terdakwa ataupun saksi di dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang dituduh bersalah dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu tentang kasus korupsi ataupun bawahan dari rantai korupsi yang ada, ataupun adapula kejadian orang yang melaporkan kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang dilaporkan. Oleh sebab itu adanya pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada para saksi, terdakwa atau terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam proses penegakan hukum. Walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan secara luar biasa akan tetapi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip due process of law dan presumption of innocent. Namun pada saat ini, sangat disayangkan terdapat beberapa kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para advokat dapat membuat aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi, perbuatan Korupsi dimaksud adalah perbuatan “Suap “ .           
Perbuatan “ Suap “ itu secara universal dianggap memalukan, dan tak ada satu negeripun di dunia ini yang tidak memperlakukan suap sebagai tindak kejahatan dalam buku undang-undangnya. Dan tak ada negara satupun dimana orang-orang yang menerima suap berbicara terbuka mengenai soal penyuapan mereka, atau dimana pemberi suap mengumumkan uang suap yang mereka bayar. Tak ada media yang mendata mereka, dan tak ada satupun yang mengiklankan bahwa ia dapat mengatur sebuah drama penyuapan. Tak ada satu pun orang yang dihormati karena dia seorang penyuap besar atau seorang yang menerima banyak suap.
Bukan sekedar hukum pidana, sebab transaksi itu telah terjadi sejak dahulu kala, dan waktu menyebabkannya tak mungkin dituntut ke Pengadilan , melainkan suatu rasa takut bawaan karena dianggap menjijikkan akan menghambat si penyuap dan si penerima suap untuk mengumumkan transaksi mereka.
Ironisnya, seringkali orang Eropah dengan prasangka etnosentrismenya menuduh bahwa sebuah masyarakat modern Asia atau Afrika tidak menganggap tindak penyuapan itu memalukan seperti anggapan orang Eropah.
Rasa malu dan kemunafikan dalam menggunakan bahasa merupakan ujian kejahatan terhadap keutamaan. Rasa malu barangkali terkondisi secara budaya. Rasa malu yang sedemikian kuat dan sedemikian universal itu merupakan pengakuan bahwa ada sesuatu yang pantas dijauhi dalam tingkah laku yang melampaui rasa sekedar tidak sopan dan sekadar tidak legal. Rasa malu tidak secara meyakinkan menentukan, melainkan menunjuk pada segi moral masalah tersebut ;
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan pembahasan makalah dengan topik “Advokat Sangat  Rentan Dengan Tindak Pidana Suap, Didalam Menjalankan Profesinya  “
B.  Identifikasi Masalah.
Dengan topik permasalahan yang dihubungkan dengan hal-hal yang sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa perlu untuk memperhatikan dan sangat penting untuk melakukan pembahasan tentang hal sebagai berikut :
1.    Bagaimana pengaturan  jasa seorang Advokat didalam melaksanakan tugas profesinya  diatur secara hukum ?
2.    Bagaimanakah pengaturannya, untuk mengantisipasi  terhadap seorang Koruptor yang dihukum membayar uang pengganti, namun kekayaannya telah habis atau tidak cukup disebabkan kekayaannya telah dipakai untuk membayar jasa Advokat ;
C. Kerangka  Pemikiran.
Bahwa Advokat tidak masuk pada pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka jelas tidak mungkin dapat didakwakan dan dipidana menerima gratifikasi dalam hal menerima suap dan penyuap Pasal 6 ayat (1).
Berbeda dengan hakim, karena hakim menurut hukum pidana korupsi, adalah seorang pegawai negeri yang sekaligus sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 UU No. 28/1999). Maka hakim dapat melakukan korupsi menerima gratifikasi Pasal 12B dalam hal menerima sesuatu dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Hakim yang menerima suap dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a dipastikan bahwa sesuatu yang diterimanya itu adalah untuk mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkan sebagaimana dikehendaki oleh ayat (1) huruf a. Hakim yang menerima sesuatu, misalnya uang Rp 100 juta, dipastikan uang itu ada hubungannya dengan mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkannya. Hubungan dengan putusan yang hendak dijatuhkan adalah merupakan bagian dari unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” dalam Pasal 12B ayat (1).
Sebagaimana ketentuan hukum yang diuraikan dibawah ini :
Pasal 14 UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya didalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan .
Pasal 15  UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan .
Pasal 16  UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 1 ayat (2) UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan :
-       Konsultasi Hukum, Bantuan Hukum,
-       Menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
-       dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Namun demikian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seorang Advokat juga dapat dikenakan tindak pidana Korupsi sebagaimana hal tersebut diatur mengenai  perbuatan Advokat Menerima Hadiah atau Janji (Pasal 12 huruf d) ;
Pasal 12 huruf d merumuskan sebagai berikut :
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Advokat untuk menghadiri sidang Pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili;
Korupsi Advokat menerima suap yang dimuat pada Pasal 12 huruf d tersebut, yang dioper dari Pasal 420 ayat (1) sub 2 KUHP dengan perubahan seperlunya.
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka tampak unsur-unsurnya sebagai beikut :
Unsur-unsur Objektif  :
a). Pembuatnya             :   Advokat yang menghadiri sidang di Pengadilan.
b). Perbuatannya           :   1).  menerima (hadiah) ;
                                           2).  menerima (janji) ;
c). Objeknya                  :    1).  hadiah ; atau
                                           2).  janji ;
Unsur Subjektif :
             d). (1) diketahui atau (2) patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili ;
Unsur kesalahan korupsi suap dalam pasal 12 huruf d, yang terdiri dari 2 (dua) macam, ialah :
-          Kesalahan bentuk kesengajaan dalam hal pengetahuan, dan
-          Kesalahan dalam bentuk culpa atau kealpaan yang ditujukan pada unsur hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat Advokat tersebut untuk diberikan pada Majelis Hakim dalam rangka Hakim mengambil kesimpulan untuk memutuskan perkara yang sedang diperiksa ;
Unsur kesalahan advokat menerima suap disini ada hubungannya dengan unsur kesalahan dari korupsi menyuap advokat menurut Pasal 6 ayat (2).
Maksudnva, kesadaran advokat atau patut menduga terhadap hadiah yang diterimanya dari penyuap adalah berupa kesadaran terhadap maksud si penyuap. Artinya, baik maksud si penyuap maupun maksud advokat yang menerima suap haruslah sama ditujukan untuk mempengaruhi pendapat atau nasihat advokat tersebut.
Memberikan pendapat, atau mengarahkan pendapat advokat yang sedang menangani perkara di pengadilan tidaklah dilarang. Bahkan, baik dilakukan oleh siapa saja asalkan tidak dilakukan dengan menyuap. Advokat lawan dalam perkara perdata, atau jaksa penuntut umum dalam perkara pidana dalam kegiatan bersidang pada dasarnya adalah mempengaruhi atau mengarahkan pendapat hakim, malahan tindakan ini merupakan kewajiban, bukan larangan. Barulah menjadi larangan apabila dilakukan dengan menyuap.
Logika larangan menyuap advokat pada Pasal 6 (1) huruf b, atau larangan menerima suap sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 12 huruf d, ditujukan kepentingan hukum orang yang dibelanya atau orang yang mempercayakan penanganan perkara kepadanya agar tidak dirugikan oleh adanya pendapat yang salah atau keliru disebabkan suap tersebut. Sifat pengaruh ini tidak terbatas pada pendapat yang benar ataukah salah yang jelas pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh  yang akan merugikan kliennya sendiri.
Kini bagaimana para praktisi menghadapi tumpang tindihnya rumusan tindak pidana korupsi suap pasif tersebut. Hal tumpang-tindihnya rumusan tindak pidana,  tidak menyebabkan hukum tidak dapat dijalankan. Para praktisi tidak perlu risau. Ambil saja hikmahnya ialah para praktisi terutama jaksa penuntut umum dapat  mendakwakan semuanya. Tidak menimbulkan akibat hukum batalnya dakwaan asalkan dibuat dengan memenuhi syarat materiel dan formil surat dakwaan dalam Pasal 143 KUHAP dan syarat-syarat lain dalam praktik, logika serta doktrin hukum.
Dengan maksud dapat digunakannya sistem beban pembuktian terbalik, yarg dianggap lebih menguntungkan jaksa, maka pada setiap suap pasif agar didakwakan pula suap menerima gratifikasi Pasal 12B. Bentuk surat dakwaan dapat dibuat kumulatif antara dua atau lebih tindak pidana (ketentuan hukum pidana) atas suatu perbuatan (perbarengan peraturan, Pasal 63 KUHP) atau primer subsider. Jika kumulatif, jaksa akan membuktikan semuanya, tentu terbukti satu lainnya juga dipastikan terbukti, karena pada dasarnya dua tindak pidana tersebut adalah sama. Namun, yang dituntut adalah tindak pidana yang terberat ancaman. pidananya ;
Pasal 12 d.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000.-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.- (satu milyar rupiah);
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi  nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili ;



D. Pembahasan Masalah .
             Pada bagian pembahasan masalah ini,  tentunya akan dilakukan uraian bahasan dengan mengacu dan berdasarkan pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan  juga menggunakan literature kepustakaan .
Untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu tentang “ Bagaimana pengaturan  jasa seorang Advokat didalam melaksanakan tugas profesinya  diatur secara hukum ? “
Maka terhadap hal ini dapat kita lihat pada ketentuan hukum pasal 21 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat.
1). Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada kliennya;
2). Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Adapun pengertian daripada “Honorarium” menurut  Pasal 1  ayat (7)  Undang-Undang No.18 tahun 2003 adalah  imbalan atas jasa hukum yang diterima Advokat berdasarkan kesepakatan dengan klien .  
Yang dimaksud dengan “secara wajar” menurut penjelasan atas Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat, adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan ).
Dalam Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat tersebut, jelas tidak kita dapatkan maksud daripada si pembuat Undang-Undang tentang kriteria berapa besaran nilai nominal Honorarium atas jasa  hukum Advokat yang dimaksudkan oleh Undang-Undang  adalah “ secara wajar “ ;
Bahwa karena pasal dari ketentuan perundangan-undangan dimaksud tidak jelas mengatur batasan nilai besaran nominal Honorarium atas jasa  hukum Advokat, maka oleh karena itu dapatlah kita menafsirkan  ketentuan tersebut dengan mempergunakan interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis.

Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis.
Adapun penggunaan Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis, dilakukan apabila terhadap setiap gejala social yang senantiasa terjadi interdepedensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan) dengan gejala-gejala social yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut. Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan system perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis.
Bahwa keterkaitan dengan Undang-Undang Advokat No.18 tahun 2003 khususnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dapat dikatakan tidak jelas / tidak tegas dalam penafsirannya, yang dapat berakibat ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan, sementara dalam praktek sehari-hari dan sewaktu-waktu ketentuan itu akan dibutuhkan.
Untuk melakukan kajian terhadap ketentuan tersebut , terlebih dahulu diperlukan pemahaman dengan jelas,  bagaimana kita dapat mengetahui hubungan antara Advokat dengan kliennya dalam membela dan atau membantu dalam menangani permasalahan hukum di persidangan diikat dengan suatu penberian Surat Kuasa Khusus.
Bahwa suatu surat Pemberian Kuasa, tentunya tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku (Burgerlijk Wetboek), sehingga penafsiran atas pembahasan permasalahan pada makalah ini, akan pula berkaitan dengan Hukum Perdata dimaksud. 
Sebagaimana kita ketahui tentang Pemberian Kuasa telah diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
-          Pasal 1794 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si Kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali .
-          Pasal 1795 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si Pemberi Kuasa.
-          Pasal 411 KUHPerdata ;
Semua wali, kecuali Bapak  atau Ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga per seratus (3 %) daripada segala pendapatan, dua per seratus (2 %) daripada segala pengeluaran dan satu setengah per seratus (1,5 %) daripada jumlah-jumlah uang modal  yang mereka terima, kecuali mereka lebih suka menerima upah yang kiranya disajikan bagi mereka dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 ; dalam hal yang demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih;
Dengan berpatokan kepada Pasal 1794 KUHPerdata, pasal 1795 KUHPerdata serta Pasal 411 KUHPerdata tentunya dapatlah dipergunakan sebagai ukuran besarnya nilai nominal Honorarium yang dimaksudkan secara Wajar, atas Jasa Hukum yang telah diberikan seorang Advokat kepada kliennya.
Hal mana pembahasan ini sangat diperlukan adalah untuk menghindari suatu tindakan terselubung yang dapat dilakukan antara seorang Advokat dengan kliennya, yaitu  dengan cara-cara pemberian Honorarium Jasa Advokat yang nominalnya besar hanyalah karena tidak adanya pembatasan yang dilakukan oleh Undang-Undang No.18 tahun 2003 tersebut.  Tentunya kontruksi hukum Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis sedemikian dapatlah dipergunakan untuk menjerat para Advokat yang nakal, yang patut diduga telah bersepakat dengan seorang kliennya yang dijerat dengan kasus tindak pidana korupsi, sementara uang pemberian Honorarium oleh terdakwa berasal dari hasil korupsi uang negara, dan apalagi dapat dimungkinkan siterdakwa setelah dinyatakan terbukti melakukan pidana Korupsi oleh persidangan, ianya tidak dapat mengembalikan uang hasil perbuatan korupsi tersebut, sementara Advokat yang melakukan pembelaan telah memperoleh penerimaan pembayaran Honorarium atas jasa hukum yang diberikannya, pembayaran Honorarium tersebut adalah hasil korupsi uang negara yang dikorupsi oleh si terpidana .
Daftar  Kepustakaan :
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.    Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.    Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.    R. WIYONO,SH, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerbit Sinar Grafika tahun 2005.

Minggu, 15 Februari 2015

Pertimbangan-Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Kasus Penyalahgunaan NAPZA Untuk Mengikuti Proses Rahabilitasi.

Pertimbangan-Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Perkara Kasus Penyalahgunaan NAPZA
Untuk Mengikuti Proses Rahabilitasi.

Oleh : Dominggus Silaban, SH.MH.
Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung.

Pendahuluan.
Mengingat, akibat peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba, ratusan ribu orang telah mengalami ketagihan (addiction) dan ketergantungan (dependence). Ribuan orang telah meninggal dunia secara sia-sia. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, dampaknya dapat menghilangkan satu generasi bangsa (Lost Generations). 
Penyebab  lainnya adalah penyedia /penjual /pengedar narkotika yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya, diakibatkan pendapatan ekonomi masyarakat  dan sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, sehingga mengambil jalan pintas sebagai pengedar narkoba. 
Seiring penanganan kasus narkoba yang semakin marak yang hingga kini mencapai +  240.000 kasus, yang didalamnya bisa saja termasuk pelaku peredaran gelap Narkoba dan dimungkinkan terdapat pula korban pengguna narkoba .
Dalam keadaan ini, maka aparat Penegak Hukum diharapkan didalam melakukan penyelidikan/penyidikan, penuntutan, serta pemidanaan yang selektif, agar korban pengguna narkoba mendapat penanganan khusus, sehingga penanganan kasus penyalahgunaan narkoba mencapai titik sasaran yang diharapkan.
Dilingkungan peradilan, penanganan kasus narkoba dimasukkan kedalam kategori tindak pidana khusus sebagaimana halnya penanganan tindak pidana korupsi, yang pemeriksaannya lebih diutamakan daripada penanganan tindak pidana biasa/umum.
Tentunya  tidak   hanya lembaga peradilan yang telah melakukan hal tersebut, akan tetapi sebaiknya juga diikuti oleh lembaga penegakkan hukum lainnya, yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara terpadu.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku, khususnya penanganan kasus narkoba yang diancam hukuman berat seperti Pasal 114, Pasal 112, Pasal 111  UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba, maka kepada terdakwa wajib didampingi oleh Penasehat Hukum, sementara terhadap pelaku korban Napza yang diancam Pasal 127 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba, sama sekali tidak diatur untuk didampingi oleh Penasehat Hukum  hal mana karena ancaman hukumannya maksimal 4 (empat) tahun, sehingga dimungkinkan tujuan untuk melakukan pemidanaan rehabilitasi menjadi terabaikan selain hanya pemidanaan penjara, dapat dimungkinkan karena tidak disediakannya Penasehat Hukum/pendamping untuk mendampingi tersangka/terdakwa tersebut selama penyelidikan/penyidikan, Penuntutan dan Persidangan.
Hal ini sangat penting diperhatikan agar sejak dini dilakukan pemisahan/pembedaan penanganan kasus dengan tujuan agar antara pelaku kejahatan narkoba, dengan pelaku korban Napza, sehingga terdapat dinding pemisah dan sekaligus bertujuan agar antara pelaku kejahatan narkoba, dengan pelaku korban Napza yang sebelumnya tidak saling kenal dapat menjadi akrab dan  bahkan dimungkinkan akan  melakukan tindak pidana yang lebih canggih baik didalam penjara maupun setelah selesai menjalani pemidanaan.
Bagaimana upaya agar korban Napza/Pecandu tidak berhubungan lagi dengan teman, kenalan atau kelompoknya, terutama teman atau kelompok yang patut diduga akan menjadi penyebab untuk memperoleh Narkoba illegal. Maka, korban Napza /Pecandu  itu di-isolir, sehingga bebas dari segala kemungkinan bisa berhubungan dengan peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba.  Cara ini bisa dilakukan dengan jalan mengobati Pecandu di  Rumah Sakit, di  Panti Rehabilitasi atau ditempat lain (misalnya  dirumah  sendiri) yang dijamin bisa steril dari peredaran gelap  dan penyalahgunaan Narkoba, selanjutnya Pecandu menjalani proses detoksifikasi, yaitu minum “obat” sesuai petunjuk Dokter.

Pokok Permasalahan
Pokok pemasalahan dalam makalah ini didasarkan pada asumsi adanya distorsi, bahwa lembaga penegakkan hukum baik Kepolisisan, Kejaksaan, dan Pengadilan  belum sepenuhnya/maksimal menjalankan hukum yang mengatur tentang Narkotika khususnya bagi korban Napza. Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat suatu penafsiran yang berbeda-beda dari para aparat penegak hukum, bahkan seringkali mengarah pada ketidakpatuhan terhadap hukum positif yang  ada, baik dalam hukum acara pidana, hukum acara lainnya maupun administrasi peradilan dalam praktek sehari-hari di lembaga peradilan.
Berangkat dari hal tersebut maka timbul suatu kebutuhan untuk membentuk satu konsep pengawasan, baik dalam bentuk lembaga ataupun sekedar sistem yang mempunyai otoritas dalam menyatakan bahwa lembaga peradilan dapat dinyatakan telah melanggar hukum, serta mempunyai kewenangan memberikan sanksi langsung melalui instansinya.
Pasal 54 dan Pasal 55 UU No 35 menjelaskan, pencandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalani proses rehabilitasi sosial dan medis.
Para pencandu yang sudah cukup umur ataupun orangtua pencandu yang belum cukup umur wajib melaporkan korban narkoba ke puskesmas, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk pemerintah untuk dirawat.
”Para pencandu atau korban narkoba sebaiknya tidak di penjara, tetapi ditempatkan di panti rehabilitasi, karena undang-undang memberi dua kali kesempatan kepada mereka. Bila setelah dua kali dirawat para pencandu atau korban narkoba ini masih tertangkap tangan mengonsumsi narkoba, ada peluang mereka dipenjara.
Selanjutnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2009  dan SEMA Nomor 4 tahun 2010 tentang menempatkan pemakai narkoba ke dalam panti terapi dan rehabilitasi, dan SEMA tersebut menyatakan bahwa seluruh Hakim di Indonesia diharapkan mengirimkan seseorang yang terbukti sebagai pengguna narkotika/psikotropika ke Panti Rehabilitasi;
                Dalam hal mana SEMA memberikan acuan atau pedoman bagi hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pencandu  narkotika sesuai dengan ketentuan dalam :
-        Pasal 47 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan
-        Pasal 41 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
-        Pasal 127 UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
-        Tempat dan waktu pelaksanaan proses terapi dan rehabilitasi sama dengan masa menjalani pidana. 
-        Dan apabila terdakwa sudah menjalani proses rehabilitasi maka tidak perlu lagi ditahan dalam penjara. “Karena masa selama terdakwa dirawat dalam panti merupakan masa menjalani pidana. Kalaupun ada pengurangan masa pidana dengan pelepasan bersyarat harus ada pernyataan sembuh total dari dokter;
Dengan demikian Hakim seharusnya cermat dan berpihak pada korban narkoba, sepanjang bukti-buktinya mendukung, Hakim jangan memberikan hukuman yang minimal terhadap perkara pidana  narkotika karena termasuk perkara yang sensitif.
Prinsip dasar penerapan sanksi hukum pidana penjara dalam kerangka penegakan hukum penyalahgunaan Narkoba seharusnya diterapkan bagi pelaku pengedar dan merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum penjahat sehingga dapat memberikan efek jera.
Memngingat putusan Hakim yang sangat minim untuk memutus pecandu dengan perintah rehabilitasi di Indonesia tentunya berakibat terhadap efektifitas peraturan perundang-undangan Narkoba,
Hal ini memberikan wacana kepada para Hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi kepada para pelaku kejahatan. Kenyataan empiris di bidang pemidanaan pelaku pengedar gelap Narkoba secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di lembaga pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial.
Pengiriman korban napza ke penjara justru tidak membuat mereka untuk berhenti menggunakan. Kondisi ini terjadi karena pengiriman korban napza ke penjara tidak diikuti dengan peningkatan sumber daya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) itu sendiri.
Setelah undang-undang yang lama diganti dengan undang-undang yang baru yakni  UU No. 35/2009 tentang Narkotika memiliki harapan bahwa  undang-undang ini memberikan pembedaan antara pengedar dengan pengguna napza.
Dalam undang - undang tersebut disebutkan bahwa jika seseorang terbukti sebagai pengguna maka Hakim dapat memvonis yang bersangkutan ke Panti Rehabilitasi.
Maka dengan undang-undang ini perlakuan negara terhadap pengguna napza harus berbeda dengan pengedar napza. Dalam penerapan hukum dalam upya dekriminalisasi pengguna napza, titik pentingnya ada di wilayah pembedaan status pengedar dan pengguna napza. Pembedaan ini secara mutatis mutandis akan berbeda pula dalam penanganannya.
Beberapa institusi yang bertanggung jawab untuk menangani korban napza yakni; Badan Narkotika Nasional (BNN), Departemen Kesehatan (Depkes) dan Departement Sosial (Depsos).
-        Departemen Kesehatan,  menjalankan rehabilitasi medis di beberapa rumah sakit yang ditunjuk dan juga memberikan substitusi (Methadone) kepada korban napza di beberapa rumah sakit besar di Indonesia.
-        Departement Sosial,  memberikan pelatihan vokasional kepada korban napza, dan memberikan modal dasar untuk menjalankan usaha tersebut.
-        Badan Narkotika Nasional (BNN),  memiliki Panti Rehabilitasi terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Bogor.
BNN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 (yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007). BNN bertugas untuk mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya.

Pembahasan Masalah.

Dasar Hukum.
1.      Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Pasal 103 Jo. Pasal 127);
2.      Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 15;
3.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.07 tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi;
4.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Bagi pengguna/pecandu narkotika dapatlah dikatakan bahwa mereka dalam keadaan sakit dan mengalami penderitaan, sebagai akibat daripada tindakan penyalahgunaan yang telah dilakukannya, sementara sebaliknya bagi pihak lain yang ada disekelilingnya, sebagian besar menyatakan bahwa tindakan si pengguna/pecandu narkotika adalah merupakan suatu tindakan kejahatan yang serius yang harus dihukum pidana.
-        Pasal 1 ayat 15 Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
-        Pasal 4  Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan setiap orang berhak atas kesehatan.
-        Pasal 5  Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
1)        Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
2)        Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
3)        Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Putusan/Vonis Hakim adalah merupakan sebuah mahkota bagi sang Hakim, sehingga pengambilan keputusan pada hakikatnya adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data penentuan yang matang dari alternative yang dihadapi, dan mengambil tindakan yang paling tepat;
Secara umum dikemukakan bahwa ada dua tipe hakim dalam pengambilan putusan.
-     Pertamasebelum sang hakim mengambil keputusan terlebih dahulu berdialog dengan undang-undang semata. Setelah ditemukan dasar hukumnya dalam perundang-undangan, kemudian diterapkan ke dalam kasus konkret. Akan tetapi, di dalam penerapannya, sang hakim tidak mempersoalkan apakah rumusan undang-undang masih relevan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Sudah cukup apabila rumusan dalam perundang-undangan sesuai dengan kasus yang ditanganinya. Boleh dikata, sang hakim di sini berperan sebagai terompet undang-undang semata (let'terknechten der wet). Prosedur seperti ini biasa diterapkan oleh hakim-hakim yang berpendirian normatif-dogmatis.
-     Kedua, dalam pengambilan keputusan, sang hakim terlebih dahulu berdialog dengan nuraninya. Dia bertanya pada hati nuraninya tentang ketepatan putusan yang akan diambilnya. Setelah berdialog dengan hati nurani kemudian baru dia mencari dasar hukumnya dalam perundang-undangan. Setelah ditemukan dasar hukumnya, baru sang hakim mengambil putusan. Namun, putusan yang diterapkan bukan menurut bunyi undang-undang semata, melainkan disesuaikan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Prosedur seperti ini biasa diterapkan oleh hakim-hakim yang berpendirian sosiologis.
Dalam menyusun putusannya Hakim menguraikan aspek "pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan" karena merupakan konteks penting dalam putusan hakirn. Meng­apa sampai dikatakan demikian? Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/dictum putusan Hakim.
Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelurn "per­timbangan-pertimbangan yuridis" ini dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik "fakta-fakta dalam persidangan," yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persida­ngan. Pada dasarnya "fakta-fakta dalam persidangan" berorientasi pada dimensi tentang:
-        locus dan tempus delicti,
-        modus operandi bagai­manakah tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana,
-        kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan terdakwa,
-        barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.
Selanjutnya, setelah "fakta-fakta dalam persidangan" tersebut diungkap­kan pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsu(bestanddelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/Penuntut Umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur (bestanddelen) tersebut, menurut praktik lazimnya dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan, dan unsur kesalahan terdakwa yang biasa dengan redaksionai kalimat sebagai berikut:
 "Menimbang, bahwa sekarang majelis akan mempertimbangkan dan meneliti apakah dari fakta-fakta tersebut apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan tindak pidana ataukah tidak sebagaimana yang didakwakan jaksa/penuntut umum;
"Menimbang, bahwa untuk mempersalahkan seseorang telah melakukan tindak pidana maka semua unsur-unsur daripada tindak pidana yang didakwakan haruslah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;


Seyogianya dalam pembuktian terhadap pertimbangan-pertimbangan yuridis dari tindak pidana yang didakwakan maka majelis hakim haruslah menguasai mengenai aspek teoretik dan praktik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan kasus posisi yang sedang ditangani, kemudian secara limitatif menetapkan "pendiriannya".
Kemudian, selain telah diuraikan mengenai unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang didakwakan tersebut maka terhadap "tuntutan pidana" dari jaksa/penuntut umum dan "pleidoi" dari terdakwa dan atau penasihat hukumnya dalam praktik peradilan sedikitnya ada tiga bentuk tanggapan dan pertimbangan dan majelis hakim terhadap hal ini, yaitu :
1.      Ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan cara detail, terperinci, dan substansial terhadap "tuntutan pidana dari jaksa/penuntut umum dan "pleidoi" dari terdakwa atau penasihat hukum.
Apabila ditinjau dari segi letaknya, tanggapan dan pertimbangan tersebut dalam putusan ada yang langsung menanggapi ketika mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana dan ada pula yang dalam pertimbangan khusus setelah selesai pertimbangan unsur-unsur dari suatu tindak pidana sesuai dengan surat dakwaan.
2.      Ada pula majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara selintas saja terhadap "tindak pidana" yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum dan "pleidoi" dari terdakwa dan penasihat hukumnya. Lazimnya dalam praktik sering kali dijumpai pertimbangan selintas tersebut ;
        "Menimbang, bahwa terhadap pembelaan/pleidoi dari terdakwa/penasihat hukum karena tidak berdasarkan hukum dan fakta irrelevant untuk dipertimbangkan".
3.      Ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi dan mem­pertimbangkan terhadap "tuntutan pidana" yang diajukan oleh jaksa/ penuntut umum dan "pleidoi" dari terdakwa/penasihat hukum. Dan dalam pertimbangannya langsung menyatakan perbuatan ter­dakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaku­kan tindak pidana sesuai dengan surat dakwaan dari jaksa/pe­nuntut umum.
Dalam putusan, suatu tanggapan dan pertirnbangan tersebut dibuat detail, terperinci­, dan substansial terhadap kasus pembuktian yang pelik, di mana terdakwa/penasihat hukum tidak sependapat dengan tuntutan pidana ataukah juga menurut pertimbangan majelis hakim fakta-fakta yang diungkap­ dalam persidangan tidak sesuai dengan tuntutan pidana dan sebagai­nya. Jadi, singkat dan konkretnya harus diterapkan tanggapan dan pertimbangan tersebut kasuistik sifatnya.
Perihal "penegasan tentang tindak pidana yang terbukti/tidak terbukti dilakukan oleh terdakwa" esensial sifatnya. dalam  pertimbangan pada putusan Hakim, apabila unsur-unsur (bestanddelen) tindak pidana yang didakwakan telah terbukti, lazimnya putusan hakim, redaksionainya dapat berupa kalimat :
"Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan ... melanggar Pasal ... telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum maka terdakwa haruslah dijatuhkan hukuman yang sepadan dengan perbuatannya."

Sedangkan apabila terhadap unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak ­pidana yang didakwakan tidak terbukti, haruslah ada pernyataan hakim dalam putusan agar terdakwa dibebaskan dari dakwaan.
Kemudian, setelah pencantuman unsur-unsur tersebut di alas, lazim dalam praktik pada putusan hakim selanjutnya langsung dipertimbangkan "hal-hal yang memberatkan" dan "hal-hal yang meringankan".

Contoh Kasus Pecandu NAPZA.
Diambil dari Putusan pidana Pengadilan Negeri Sukabumi register No. 216/Pid.Sus/2010/PN.Smi. atas nama terdakwa XXXXXXXXXXX Bin xxxxxxxxx, tertanggal 06 Desember 2010.
Pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
          Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pemidanaan atas diri terdakwa dalam perkara ini, maka akan diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang  Narkotika :
-       ayat (13) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis;
-       ayat (14) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
-       ayat (16) Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
-       ayat (18) Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
                Menimbang, bahwa demikian pula menurut Pasal 103 yang menyatakan :
(1)  Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2)   Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
         Menimbang, bahwa pada faktanya dengan berdasarkan hasil pemeriksaan Klinik Vita Medika Nomor Lab.83632, terdakwa  xxxxxxxxxxx Bin xxxxxxxxxxx dinyatakan positif menggunakan Ophiate (Morphine), maka dapatlah terdakwa yang dikategorikan sebagai pecandu narkotika, untuk itu  proses hukum terhadap Pecandu narkotika, tentunya tidak akan membuat si pecandu jera dengan cara hanya dihukum penjara, karena dapat dipastikan nantinya setelah keluar dari penjara / Lembaga Pemasyarakatan, terdakwa akan berusaha mengulangi lagi sebagai Pecandu, oleh karena itu bagi terdakwa yang terbukti sebagai pecandu narkotika, sebaiknya terdakwa ditempatkan dipanti rehabilitasi dahulu, baru kemudian dilaksanakan pemidanaan hukumannya, sedangkan penegakan hukum terhadap pecandu narkoba, yang tanpa melalui proses Rehabilitasi, berakibat tujuan pemidanaan itu tidak akan tercapai, dan oleh karena itu tindakan yang dinilai bijaksana adalah menyembuhkan dahulu “penyakit” yang diderita terdakwa, barulah kemudian melaksanakan hukuman atas pidana yang dilakukannya;
      Menimbang, bahwa memperhatikan pula Hasil Rekap Medis Yayasan Sekar Mawar-Keuskupan Bandung tertanggal 25 Agustus 2008 sebagai berikut :
Menurut data psikolog menyangkut perkembangan pribadinya masih mempunyai sikap ceroboh, gejolak emosi yang belum dapat dikendalikan, belum dapat berpikir rational, mudah di pengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana ybs berada terutama dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis, kurang kasih sayang menyebabkan dia tidak mempunyai pedoman dalam menghadapi kehidupannya, dia cenderung mengikuti arus pergaulan yang kurang baik, tidak mandiri sehingga dalam mengambil keputusan sangat tergantung kepada kelompok ybs berada.
Kesimpulan.
Orientasi terhadap masa depan tampaknya tidak jelas, dia sangat membutuhkan bimbingan, pengarahan dan support positif dari orang lain, terutama ia harus meningkatkan rasa percaya diri dalam mengambil keputusan. Agar mampu memilih teman bergaul yang dapat membawa dirinya ke arah yang positif.
Saran.
1.      Diharapkan dia dapat diberikan bimbingan secara intensif dan terarah terutama untuk meningkatkan kepercayaan diri, dapat mengendalikan emosi dengan baik. Mampu mengambil keputusan secara tepat.
2.      Dia dapat diberikan pelatihan kerja yang ringan dan sesuai dengan minatnya agar dia dapat meningkatkan daya juang dan keuletan di dalam berusaha.
3.      Membuat program yang jelas tentang masa depannya, supaya jangkauan masa depan bagi kehidupannya lebih jelas.
4.      Dia membutuhkan bimbingan untuk dapat menjalin relasi sosial yang lebih selektif, supaya tidak terjerumus pada pergaulan yang lebih buruk.
         Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga akan memperhatikan tentang keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, dan SEMA tersebut menyatakan bahwa seluruh Hakim di Indonesia diharapkan mengirimkan seseorang yang terbukti sebagai pengguna narkotika/psikotropika ke Panti Rehabilitasi;
         Menimbang, bahwa dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya.
         Menimbang, bahwa untuk dapat melaksanakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang menempatkan pemakai narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, antara lain:
Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
a.    Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan ;
b.    Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1.        Kelompok metamphetamine (shabu)           : 1 gram.
2.        Kelompok MDMA (ekstasi)                                    : 2,4 gram = 8 butir.
3.        Kelompok Heroin                                       : 1,8 gram.
4.        Kelompok Kokain                                       : 1,8 gram.
5.        Dan seterusnya.
c.    Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
d.   Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.
e.    Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika.
     Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 yang pada faktanya telah terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa haruslah ditempatkan di Panti Rehabilitasi guna mendapat perawatan dan penyembuhan dan apabila terdakwa telah mendapat penyembuhan secara total, dapatlah dilanjutkan untuk menjalani pemidanaan atas perkara ini; 
     Menimbang, bahwa  oleh karena terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan pidana atas dakwaan pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang  No.35 Tahun 2009, dan ternyata pula bahwa sepanjang pemeriksaan perkara ini terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab akan kesalahannya serta tidak dijumpai hal-hal yang dapat menghapuskan akan  kesalahannya, oleh karena itu terdakwa haruslah dijatuhi hukuman atas perbuatannya ;
          Menimbang, bahwa oleh karenannya penjatuhan hukuman pidana yang akan diberikan kepada terdakwa, Majelis Hakim akan memperhatikan unsur moral justice, sosial justice dan legal justice yang merupakan dasar dari segala penerapan Hukum, karena itu suatu putusan Hakim yang berupa pemidanaan (veroordeling), maupun dalam menempatkan terdakwa untuk diterapi haruslah pula mengandung anasir yang bersifat kemanusiaan, edukatif dan keadilan, maka hukuman pidana tersebut haruslah sesuai dengan kadar dengan perbuatannya, dan selain itu kepada terdakwa dihukum pula untuk membayar biaya perkara ini ; 
  Menimbang, bahwa oleh karenanya tindakan yang hanya memenjarakan pemakai/pengguna narkoba yang dilakukan adalah kurang tepat karena nantinya akan memperburuk kondisi kejiwaan pengguna, justru dengan memenjarakan telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan para pengguna termasuk terdakwa;
Dan seterusnya………
M  E  N  G  A  D  I  L  I    ;
1.        Menyatakan terdakwa xxxxxxxxxx Bin xxxxxxxx,  sebagaimana identitas tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana  “Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”;  
2.        Menghukum terdakwa oleh  karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun ;
3.        Memerintahkan agar terdakwa dirawat/ditempatkan di Panti Yayasan Sekar Mawar Bandung, dengan ketentuan apabila terdakwa telah mendapat penyembuhan secara total sebelum lewatnya masa hukuman pidana tersebut, maka pelaksanaan hukuman pidana akan dilanjutkan oleh terdakwa di Lembaga Pemasyarakatan;
4.        Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dan masa perawatan/terapi yang akan dijalani terdakwa selama berada pada Panti Yayasan Sekar Mawar Bandung, akan dikurangkan seluruhnya dari lamanya hukuman pidana yang dijatuhkan kepadanya ;
Dan seterusnya………….

Pada kenyataannya Mahkamah Agung RI sangat antusias dalam memperhatikan nasib dan keberadaan pengguna/pecandu Napza yang merupakan korban dari tindakan penyalahgunaan narkotika, sehingga mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 tahun 2009 dan  Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2010 sebagai berikut :

SURAT EDARAN Nomor : 07 Tahun 2009
TENTANG MENEMPATKAN PEMAKAI NARKOBA KE DALAM PANTI TERAPI DAN REHABILITASI
1.        Memperhatikan bahwa sebagian besar dari Narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;
2.        Kondisi Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) pada saat ini tidak mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat.
3.        Oleh karena itu diharapkan para Hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dikutip sebagai berikut :
a)         Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan
b)        Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika :
(1)      Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat
a.    memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan / atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b.   menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2)          Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu
narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman;
(3)           Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 199 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
1.        Pada saat tertangkap tangan sesuai butir 1 diatas, ditemukan barang bukti satu kali pakai. 
       Contoh :
-     Heroin/Putauw : maksimal 0,15 gram
-     Kokain : maksimal 0,15 gram
-     Morphin : maksimal 0,15 gram
-     Ganja : maksimal 1 linting rokok dan / atau 0,05 gram
-     Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet
-     Shabu : maksimal 0,25 gram
-     Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan
-     psikotropika Golongan I s/d 1V
2.        Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan Penyidik;
3.        Bukan residivis kasus narkoba;
4.        Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa / Psikiater (Pemerintah) yang ditunjuk oleh Hakim;
5.        Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkoba.
6.        Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis harus:
1. menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalan amar putusannya tempat-tempat rehabilitasi dimaksud adalah:
a.    Unit Pelaksana Teknis T & R BNN Lido Bogor;
b.    Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta dan di seluruh Indonesia (Depkes RI)
1.    Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba
berdasarkan permintaan Penyidik;
2.    Bukan residivis kasus narkoba;
3.    Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa / Psikiater (Pemerintah) yang ditunjuk oleh Hakim;
4.    Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkoba.
5.    Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis haru: menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalan amar putusannya tempat-tempat rehabilitasi dimaksud adalah :
a.         Unit Pelaksana Teknis T & R BNN Lido Bogor;
b.        Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta dan di seluruh
Indonesia (Depkes RI)
c.         Panti Rehabilitasi Depsos RI dan UPTD;
d.        Rumah Sakit Jiwa di Seluruh Indonesia; atau
e.         Tempat-tempat rujukan panti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri);
6.    Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduan Terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut:
a.    Detoxifikasi lamanya 1 (satu) bulan;
b.    Primary program lamanya 6 (enam bulan;
c.    Re-entry Program lamanya 6 (enam) bulan;


SURAT EDARAN
Nomor 04 Tahun 2010

TENTANG PENEMPATAN PENYALAHGUNAAN, KORBAN PENYALAHGUNAAN DAN PECANDU NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL.

1.        Bahwa dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tanggat 12 Oktober 2009 tentang Narkotika, maka dianggap perlu untuk mengadakan revisi terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2.        Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
f.          Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan ;
g.         Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
6.        Kelompok metamphetamine (shabu)                             : 1 gram.
7.        Kelompok MDMA (ekstasi)                                          :2,4 gram=8butir.
8.        Kelompok Heroin                                                          : 1,8 gram.
9.        Kelompok Kokain                                                         : 1,8 gram.
10.    Kelompok Ganja                                                            : 5 gram.
11.    Daun Koka                                                                    : 5 gram.
12.    Meskalin                                                                        : 5 gram.
13.    Kelompok Psilosybin                                                     : 3 gram.
14.    Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide : 2 gram.
15.    Kelompok PCP (phencyclidine)                                    : 3 gram.
16.    Kelompok Fentanil                                                        : 1 gram.
17.    Kelompok Metadon                                                       : 0,5 gram.
18.    Kelompok Morfn                                             : 1,8 gram.
19.    Kelompok Petidin                                                          : 0,96 gram.
20.    Kelompok Kodein                                                         : 72 gram.
21.    Kelompok Bufrenorfin                                                  : 32 mg.
h.         Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
i.           Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.
j.           Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika.
3.        Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah:
a.    Lembaga rehabiltasi medis dan -sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.
b.    Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.
c.    Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkes RI).
d.   Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
e.    Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri).
4. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim harus dengan sungguh­sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan Terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut :
a.    Program Detoksifikasi dan Stabilisasi             lamanya 1 (satu) bulan.
b.    Program Primer                                               lamanya 6(enam) bulan.
c.     Program Re-Entry                                          : lamanya 6 (enam) bulan.
5.  Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret 2009 perihal yang sama, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Walaupun Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 tahun  2009 dan Nomor 04 tahun 2010 telah diterbitkan ternyata masih banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus Napza, antara lain :
1.      Minimnya Berita Acara Penyidikan, maupun surat Dakwaan Penuntut Umum  yang mencantumkan Pasal 127 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba;
2.      Hakim tidak berwenang menerobos dakwaan Penuntut Umum yang tidak mendakwakan Pasal 127 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika atas pelaku korban Napza.
3.      Tidak adanya koordinasi antara lembaga Penegak Hukum dengan lembaga Advokasi Napza yang ditunjuk, untuk penanganan kasus korban Napza.
4.      Dalam Undang-Undang  No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terhadap rehabilitasi diatur dalam Pasal 127 tentang pengobatan dan rehabilitasi, yang memuat rumusan pasal-pasalnya sudah mencukupi/memadai, hanya yang perlu diteliti adalah apakah dalam praktek dilapangan sudah siap menerima penetapan, keputusan dan perintah Hakim sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 127 dimaksud.
Selain kendala tersebut diatas ternyata  putusan Hakim yang memerintahkan rehabilitasi bagi pencandu Narkotika dan ketergantungan Psikotropika masih minim, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yakni:
-        Pertama, Hakim harus melihat kasus per kasus jika akan menerapkan Pasal 127 UU Narkotika.
-        Kedua, selain UU Narkotika, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan agar setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya. Hakim jangan memberikan hukuman yang minimal terhadap perkara pidana  narkotika karena termasuk perkara yang sensitif
-        Ketiga, persepsi Hakim di dalam memutus perkara Narkoba didasarkan bahwa pemidanaan berupa penjara lebih efektif bila dibandingkan dengan rehabilitasi, di samping itu karakteristik pengedar dan pemakai di dalam UU Narkoba diancam sanksi pidana.


Kesimpulan.
1.      Bagi pengguna/pecandu narkotika dapatlah dikatakan bahwa mereka dalam keadaan sakit dan      mengalami penderitaan, sebagai akibat daripada tindakan penyalahgunaan yang telah dilakukannya, sementara sebaliknya bagi pihak lain yang ada disekelilingnya, sebagian besar menyatakan bahwa tindakan si pengguna/pecandu narkotika adalah merupakan suatu tindakan kejahatan yang serius yang harus dihukum pidana.
2.      Khusus mengenai  tindak pidana  penyalahgunaan narkotika meliputi pengedar, dan atau pengguna/korban napza, seharusnya terdapat adanya pembedaan tujuan pemidanaan,  pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku peredaran gelap Narkoba dan penyalahgunaan Narkoba /korban  napza, yang dalam hal ini memberlakukan sistem pemidanaan dengan dua jalur (double track system) dimana pelaku peredaran gelap Narkoba dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment),  sedangkan penyalahgunaan Narkoba /korban  napza dikenakan tindakan (treatment) dan atau sanksi pidana, sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3.      Putusan Hakim yang sangat minim untuk memutus pecandu dengan perintah rehabilitasi di Indonesia tentunya berakibat terhadap efektifitas peraturan perundang-undangan Narkoba.
4.      Perlunya pemahaman tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
a.       Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c.       Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
5.        Membentuk Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.Peran criminal justice system terhadap penangulangan tindak pidana penyalahgunaan Narkoba harus didasarkan pada pencapaian usaha untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan peredaran gelap Narkoba dengan mengarahkan secara integrited (terpadu) seluruh komponen perangkat aturan kriminalisasi penyalahgunaan Narkoba dan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
6.        Hakim seharusnya cermat dan berpihak pada korban narkoba, sepanjang bukti-buktinya mendukung,. Prinsip dasar penerapan sanksi hukum pidana penjara dalam kerangka penegakan hukum penyalahgunaan Narkoba seharusnya hanya diterapkan bagi pelaku pengedar dan merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum penjahat sehingga dapat memberikan efek jera.
7.        Perlunya pendamping bagi tersangka, terdakwa sejak DILAKUKANNYA penyelidikan/penyidikan, penuntutan, dan persidangan atas kasus yang dihadapi oleh pengguna narkoba/pecandu NAPZA.
8.        Perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai beban  biaya selama berada di Panti Rahabilitasi/Terapi bagi pengguna narkoba/pecandu NAPZA.
9.        Kesiapan aparat dilapangan untuk menindaklanjuti putusan Hakim yang menempatkan terpidana kasus pengguna narkoba/pecandu NAPZA di Panti Rahabilitasi/Terapi.

--------------------------------------------terimakasih--------------------------------------------