Jumat, 19 Mei 2017

Keberadaan Advokat Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Keberadaan Advokat Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Oleh :
DOMINGGUS SILABAN, SH.MH., Hakim Pengadilan Negeri Medan.

Pendahuluan
Advokat merupakan salah satu unsur lembaga / pranata yang turut berperan penting dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), hal mana disebabkan undang-undang ini telah memberikan kewenangan secara khusus (keistimewaan) kepada lembaga Advokat.  Secara jelas dan tegas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) telah mengatur peran dan keberadaan Advokat, walaupun sebaliknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Advokat, tidak terdapat sesuatu  hal yang menjadi kontribusi atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melalui aturan dalam pasal-pasalnya .
Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan Advokat, dalam tatanan hukum Indonesia semakin dibutuhkan, tidak hanya untuk melakukan pembelaan diri terdakwa dalam sebuah perkara pidana, tetapi juga dapat berperan sebagai Kuasa Hukum bagi para pihak (Penggugat / Tergugat) dalam perkara perdata, dan ternyata peran sedemikian juga telah memasuki ranah didalam perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) .
Adapun pengaturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai pintu masuk kedalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan :
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini“.
Adapun jasa hukum dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) diatas adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, yang dilakukan dengan iktikad baik untuk menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya, dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Sementara itu secara tegas juga diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan :
“ Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat “.
Dalam prakteknya, Advokat juga dapat bertindak sebagai Kurator dan atau Pengurus, sepanjang Advokat dimaksud telah memenuhi ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01-HT.05.10 Tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus (Permenhukham) [1];

Permasalahan.
Dalam setiap makalah pada umumnya, demikian juga halnya pada makalah ini, tentunya terdapat permasalahan yang akan dilakukan pembahasan secara detail, sehingga atas jawaban permasalahan dapat dilakukan sebagai suatu hasil kajian ilmiah, dan sedapat mungkin dapat bermanfaat bagi berbagai kalangan baik akademis maupun dalam praktisi serta masyarakat luas pada umumnya .
Adapun permasalahan yang akan dilakukan pembahasannya dalam makalah ini adalah :
“ Sejauhmana penggunaan jasa Advokat, sebagai suatu keharusan (mutlak) pada setiap berlangsungnya proses hukum Kepailitan dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, dan bagaimana pengaturan hukum atas Advokat dimaksud ? “
Hal ini menjadi sebuah permasalahan, karena undang-undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU), hanya memberikan batasan hukum bahwa pengajuan permohonan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) harus diajukan oleh seorang Advokat. Sehingga untuk menjawab permasalahan diatas, penulis  menggunakan penelitian melalui bahan-bahan kepustakaan, meliputi aturan-aturan hukum dan referensi buku-buku yang terkait (data sekunder).

Pembahasan .
I.     Pengertian umum Advokat,  Kepailitan, dan Upaya Hukum.
A.  Pengertian Advokat
Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Untuk mewakili kepentingan klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Dalam kode etik Advokat terdapat adanya ketentuan, bahwa advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien. Disisi lain, advokat juga memiliki peran dalam proses kepailitan dalam kaitannya dengan debitor, maupun perseroan terbatas diantaranya adalah peran kebebasan, dimana kebebasan tersebut dimaksudkan agar advokat dapat bertindak luwes dalam menjalankan tugas.
Apabila dalam perkara pidana, sesuai dengan KUHAP advokat yang menerima kuasa kedudukannya sebagai penasehat hukum terdakwa, sementara dalam perkara perdata kedudukannya menurut HIR/R.Bg. sebagai kuasa hukum.
Oleh karena itu dalam membela perkara pidana di tingkat penyidikan sebagai penasehat hukum, dapatlah bersikap aktif ketika mendampingi terdakwa di sidang pengadilan, selanjutnya di persidangan dalam membela hak-hak terdakwa dapat mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan, mengajukan pertanyaan terhadap para saksi, mengajukan saksi yang menguntungkan terdakwa (a de charge), dan mengajukan pembelaan. Berbeda halnya dalam persidangan perkara perdata sebagai kuasa hukum, seorang advokat baik mewakili penggugat atau tergugat bersikap aktif, karena pihak berperkara dapat tidak menghadiri sidang, sehingga aktif mulai menyusun surat gugatan, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan.

B.  Pengertian Kepailitan.
Mengenai kepailitan atau pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,  bangkrut,  sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation atau likuidasi adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara  pemegang saham. Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah “bangkrut” manakala perusahaan tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya.
            Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, sedangkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak memberikan definisi oleh Undang-Undang Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Undang-Undang Kepailitan dapat diketahui bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 Undang-Undang Kepailitan Jo. Pasal 228 ayat [5] Undang-Undang Kepailitan).
Permohonan kepailitan dapat diajukan oleh kreditor atau dapat juga diajukan debitor,  dan syarat yang harus di penuhi seperti yang tertera pada Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu :
-        Pertama, adanya dua atau lebih kreditor.
-        Kedua, debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Oleh karena itu secara hukum, maupun prakteknya syarat pengajuan permohonan pailit yang harus dipenuhi oleh pemohon kepailitan, yaitu pertama syarat administratif, dan kedua syarat substantif [2] .
1.    Syarat Administratif, adalah menyangkut kelengkapan berkas permohanan pailit sebelum berkas diterima dan diberi nomor oleh kepaniteraan pengadilan niaga, sehingga apabila kepailitan diajukan oleh Debitor sebagai orang perseorangan, badan hukum perseroan, badan hukum sosial (yayasan perkumpulan), berkasnya terdiri atas:
1)   Surat permohonan pailit bermaterai yang ditandatangani oleh advokat sebagai kuasa hukum debitor.
2)   Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir.
3)   Surat kuasa khusus.
4)   Fotocopy Kartu Tanda Penduduk pemohon, Surat tanda daftar perusahaan yang dilegalisir, keputusan Rapat Pengurus yang menyetujui pengajukan permohonan pailit.
5)   Surat persetujuan suami/istri, akta keputusan rapat umum pemegang saham terakhir, akta pendirian atau perubahan anggaran dasar yang dibuat oleh notaris.
6)   Daftar Harta kekayaan.
7)   Neraca pembukuan terhadap perusahaan.
8)   Nama dan alamat Kreditor.
9)   Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Syarat substantif, yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan yaitu:
a.    Ada utang.
b.    Utang telah jatuh tempo.
c.    Ada dua atau lebih kreditor, dan
d.   Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (PKPU) menyatakan:
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih  Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan  pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya “. 
Demikian pula halnya menurut ketentuan Pasal 222 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (PKPU) yang menyatakan :
“ Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor “.

C.  Upaya Hukum.
C.1. Upaya Hukum Terhadap Perkara Pailit.
Terhadap putusan pengadilan niaga yang menyatakan pailit, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah langsung kasasi, tanpa melalui banding, sedangkan terhadap putusan pailit yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung “.
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
Terhadap putusan atas permohonan  pernyataan pailit yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal 295 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
1.    Terhadap putusan atas permohonan  pernyataan pailit yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
2.    Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila :
a.    Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, atau
b.    Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
C.2. Upaya Hukum Terhadap Perkara PKPU.
Terhadap putusan PKPU, tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan, kecuali kasasi oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum sebagaimana diatur dalam:
Pasal 293 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
1.    Terhadap putusan pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
2.    Upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung, demi kepentingan hukum
Dalam prakteknya, pada proses pemeriksaan perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ada dikenal upaya hukum, yang antara lain :
1.    Dalam hal Kepailitan.
a .Gugatan lain-lain, antara lain :
a.1    Actio pauliana
a.2    Perlawanan pihak ketiga terhadap pernyataan pailit.
a.3    Gugatan terhadap harta pailit oleh pihak ketiga.
a.4    Gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan suatu perseroan pailit.
b. Keberatan lain-lain, antara lain :    
b.1    Perlawanan Terhadap Daftar Pembagian (Pasal 193 (1) UUK-PKPU).
b.2    Keberatan untuk penggantian kurator/pengurus.
b.3    Keberatan atas penetapan besarnya fee kurator.
(point b.2 dan b.3 tidak dapat diajukan upaya hukum).
2.    Dalam hal Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
a.    Putusan dalam proses PKPU yang dapat diajukan upaya hukum Kasasi [3] :
-     Pengesahan Perdamaian dalam PKPU (Pasal 285.4).
-     Pembatalan Perjanjian Perdamaian dalam PKPU Pasal 291 jo Pasal 170, Pasal 171.
-     Pengakhiran PKPU Pasal 255 jo Pasal 256.
b.    Putusan Dalam Proses PKPU Yang Tidak Dapat Diajukan Upaya Hukum :
-     Putusan PKPU Sementara Pasal 235.
-     Putusan Debitor dinyatakan pailit dalam hal, tidak diajukan rencana perdamaian dalam PKPU Sementara.
-     Putusan PKPU Tetap.
-     Perpanjangan PKPU Tetap, tidak disetujui Kreditor.
-     Debitor dinyatakan pailit dalam hal, Rencana Perdamaian diajukan akan tetapi tidak disetujui Kreditor.
-     Putusan Penolakan Pengesahan Perdamaian dalam PKPU Pasal 285 (4).

II.  Korelasi peran atau keberadaan Advokat dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, secara tegas diatur peran dan keberadaan Advokat, yaitu :
1.    Pasal 7 ayat (1) menyatakan : Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.
2.    Pasal 127 ayat (2) menyatakan : Advokat yang mewakili para pihak harus Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
3.    Pasal 128 ayat (2) menyatakan : Debitor dapat mengambil alih perkara yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai pengganti Kurator berdasarkan surat-surat perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan diwakili oleh seorang Advokat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga telah mengatur tentang peran dan keberadaan Kuasa, yaitu :
1.    Pasal 123 menyatakan : Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, Kreditor dapat menghadap sendiri atau mewakilkan kepada Kuasanya.
2.    Pasal 125 ayat (1) menyatakan : Pengucapan sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dan ayat (4) wajib dilakukan oleh Kreditor sendiri atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu, baik pada rapat termaksud, maupun pada hari lain yang telah ditentukan oleh Hakim Pengawas.
3.    Pasal 228 ayat (1) menyatakan : Pada hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1), Pengadilan harus mendengar  Debitor, Hakim Pengawas, Pengurus, dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa.
4.    Pasal 269 ayat (3) menyatakan :  Kreditor dapat menghadap sendiri atau diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa.
Mencermati keberadaan pasal-pasal diatas, yang tidak secara tegas mengatur batasan atau kapasitas “ Kuasa “  yang ditunjuk sebagai mewakili Kreditor, dalam arti bisa saja Advokat atau boleh juga siapa saja yang dipercaya oleh Kreditor sebagai Kuasanya (dalam praktek disebut sebagai Kuasa insidentil atas ijin Ketua Pengadilan).
Tentunya sangat menarik untuk dibahas, oleh karena dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terdapat upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali (sebagaimana diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 UUK-PKPU), sebab dalam perkara-perkara kepailitan dan PKPU dapat dan sangat berpotensi untuk diajukan upaya hukum.  
Dalam kondisi perkara kepailitan diajukan upaya hukum  Kasasi atau Peninjauan Kembali, sementara dalam Pasal 7 UUK-PKPU yang meliputi Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 UUK-PKPU yang mensyaratkan bahwa upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali haruslah diajukan oleh seorang Advokat, tentunya keberadaan Kuasa Kreditor yang semula telah menunjuk Kuasa insidentil atas ijin Ketua Pengadilan, sebagai “ Kuasa “ menjadi tidak berlaku atau tidak bermanfaat, karena secara hukum pengajuan upaya hukum dimaksud haruslah diajukan oleh seorang Advokat. Kondisi ini, tentunya akan merugikan pihak berperkara karena harus mencari Advokat dengan segera mungkin, mengingat tenggang waktu dalam mengajukan upaya hukum mempunyai jangka waktu yang terbatas, dan dampak berdampak gagal untuk mengajukan upaya hukum.
            Disisi lainnya, yang tidak kalah penting dibahas adalah keberadaan Advokat didalam proses hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, haruslah mempunyai tujuan dapat mewujudkan pencapaian kinerja secara maksimal.  Tentunya semua elemen yang terlibat dalam penyelesaian Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di persidangan Pengadilan Niaga, baik itu Hakim Pemutus, Hakim Pengawas, Kurator / Pengurus, Advokat, Kreditor maupun Debitor harus memiliki pemahaman yang saling bersinergi. Adapun beberapa faktor yang perlu dipahami dalam pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang :
-     Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.
-     Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
-     Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.
Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Selain itu, diharapkan juga agar seluruh elemen yang terlibat diatas, harus memahami Hukum Acara untuk Pengadilan Niaga, antara lain :
-  Pasal 299 UUK. Kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata
-  Pasal 112 RV jo Pasal 115 RV. Pemeriksaan perkara dengan acara pembacaan gugatan, jawaban jawaban kembali (replik) dan tanggapan jawaban kembali (duplik).
-  Perkara permohonan, pemohon wajib membuktikan permohonannya dan tidak mengenal acara jawaban, replik, duplik maupun kesimpulan.
-  Hukum acara perkara permohonan pernyataan pailit tidak mengenal acara eksepsi, Konpensi, Rekonpensi, Intervensi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan.
-  Amar putusan perkara permohonan pernyataan pailit bersifat declaration dan bukan constitutif maupun condemnatoir, juga tidak mengenal “ asas ne bis in idem “.
Harapan diatas tentu tidak dengan serta-merta dapat dengan mudah untuk diwujudkan, untuk itu sebaiknya bagi Advokat yang ditunjuk untuk menangani perkara-perkara Kepailitan dan PKPU, dituntut adanya pemilikan sertifikat dengan keahlian secara khusus dibidang hukum  niaga yang diterbitkan melalui sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah mendapat pengakuan / akreditasi oleh pemerintah / negara.

III.   Kesimpulan dan Saran.
A.  Kesimpulan.
1.    Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU harus menegaskan bahwa dalam hal bertindak mewakili para pihak (Kreditor atau Debior) dalam penyelesaian perkara niaga adalah Advokat yang memiliki sertifikat hukum niaga. 
2.    Advokat sebagai lembaga penegak hukum, harus memiliki kinerja yang maksimal dan bersinergi dengan elemen hukum lainnya, khususnya dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga.
B.  Saran-saran.
1.    Lembaga Advokat, sebaiknya mengadakan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara berjenjang dan berkelanjutan bagi para Advokat, untuk mendapatkan Sertifikat Hukum Niaga.
2.    Lembaga Advokat, harus dapat bertindak tegas terhadap Advokat yang melakukan pelanggaran Etika Profesi, baik dalam menjalankan profesi dalam proses hukum di persidangan maupun terhadap klien.   
                                          
Daftar Pustaka :
1.    Hukum Kepailitan Indonesia, penerbit PT.Tatanusa Jakarta Indonesia 2012, Dr.Syamsudin Manan Sinaga, SH.MH.
2.    Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
3.    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Advokat.
4.    Materi Pelatihan Hakim Niaga : Upaya Hukum Dan Perkembangan Putusan Mahkamah Agung Tentang Kepailitan dan PKPU oleh : Rahmi Mulyati, SH., MH. Hakim Tinggi/Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung RI.   


[1]    Hukum Kepailitan Indonesia, penerbit PT.Tatanusa Jakarta Indonesia 2012, Dr.Syamsudin Manan Sinaga, SH.MH. halaman 361.
[2]  ibid halaman 86.
[3] Materi Pelatihan Hakim Niaga : Upaya Hukum Dan Perkembangan Putusan Mahkamah Agung Tentang Kepailitan dan PKPU oleh : Rahmi Mulyati, SH., MH. Hakim Tinggi/Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar