Kamis, 13 November 2014

Kewenangan Hakim Peradilan Pidana Untuk Memerintahkan Dilakukannya Penyidikan/Penuntutan Terhadap Saksi atas Ditemukannya Bukti yang Cukup, Dalam suatu Kasus Yang Sedang Diadili di Persidangan Pengadilan.

Kewenangan Hakim Peradilan Pidana Untuk Memerintahkan Dilakukannya Penyidikan/Penuntutan Terhadap Saksi atas Ditemukannya Bukti yang Cukup, Dalam suatu Kasus Yang Sedang Diadili di Persidangan Pengadilan.
=============================

A. Latar Belakang.

Menilik pada ketentuan pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat dijabarkan lebih intens bahwa tujuan Hukum AcaraPidana itu, adalah :
“mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan “ .
Hukum Acara Pidana adalah hukum yang bersifat menjamin, menegakkan dan mempertahankan ketentuan Hukum Pidana materiel serta merupakan bagian Hukum Publik (Public Law) sehingga hendaknya secara imperative tujuan Hukum Acara Pidana haruslah mencari dan mendapatkan kebenaran materiel sebagai kebenaran hakiki.
Berdasarkan pandangan doktrin Hukum Pidana, fungsi Hukum Acara Pidana adalah :
1. Mencari dan menemukan kebenaran .
2. Pemberian keputusan oleh Hakim, dan
3. Pelaksanaan keputusan.
Dalam mewujudkannya diperlukan kekuasaan Kehakiman yang independen, yang adalah kekuasaan yang tidak memihak dan kompetensinya merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah negara hukum. Prinsip Independensi Peradilan merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Prinsip tersebut menghendaki agar lembaga peradilan terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
Ada beberapa instrument hukum internasional yang menyebutkan tentang pentingnya independensi peradilan, antara lain :
- Universal Declaration of Human Rights.
- International Covenant on Civil and Political Rights.
- Vienna Declaration and Programme for Action 1993.
- International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, New Delhi 1982.
- Universal Declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983.
Untuk memastikan terwujudnya independensi peradilan tentunya diperlukan adanya jaminan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya. Jaminan tersebut tidak cukup hanya sebatas kata-kata bahwa negara menjamin independensi peradilan, namun seluruh pengaturan mengenai bagaimana seorang Hakim diangkat dan diberhentikan, masa jabatan Hakim, pengaturan keuangan pengadilan dan sebagainya harus diatur sedemikian rupa sehingga Hakim benar-benar merasa terjamin kebebasannya untuk menjalankan fungsinya.
Namun jaminan independensi bukan berarti bahwa tidak boleh ada pihak selain pihak dari lembaga peradilan yang berwenang untuk mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan Hakim dan pengadilan. Bukan berarti bahwa yang boleh merekrut Hakim hanya kalangan Hakim saja, yang boleh menentukan anggaran pengadilan hanya kalangan Hakim saja dan seterusnya. Demi terlaksananya check and balances serta akuntabilitas, keterlibatan pihak/ lembaga lain untuk mengurus hal-hal tertentu yang berhubungan dengan pengadilan jelas diperlukan. Namun sekali lagi, hal tersebut tetap harus dalam koridor jaminan independensi peradilan.
Sebelum dilakukannya Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001, Kekuasaan Kehakiman (lembaga peradilan) diatur dalam dua pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 24 dan 25, antara lain :
a) Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang ”.
b) Ayat 2 pasal tersebut menyatakan bahwa “Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang”.
c) Pasal 25 UUD 1945 menyatakan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.”
d) Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945, dinyatakan secara tegas bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.
e) Tahun 2001 dilakukan perubahan atas pasal-pasal yang berhubungan dengan Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga, dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukurn dan keadilan.
f) Demikian juga dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, jaminan independensi ditegaskan dalam pasal 1, yang menyatakan :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia “.
Sebagaimana dalam judul makalah ini yang juga berkaitan dengan “peradilan” dan ‘pengadilan’. Adapun penggunaan istilah antara peradilan dan pengadilan dimaksudkan bahwa “Peradilan” adalah sebuah sistem penegakan hukum, sedangkan “pengadilan” adalah subsistem dari sistem peradilan. Laiknya sebuah sistem, peradilan meliputi proses kelembagaan, ketenagaan yang bekerja mempertahankan dan menegakkan hukum secara pro justitia, meski demikian, mempertahankan dan menegakkan hukum dapat juga dilakukan secara non justitia.

B. Identifikasi Masalah.

Dengan permasalahan yang timbul sehubungan dengan hal-hal yang sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa perlu untuk memperhatikan dan sangat penting untuk melakukan kajian tentang hal sebagai berikut :
1. Bagaimana idealnya mewujudkan independensi / kewenangan Hakim peradilan pidana dalam pencapaian supremasi hukum .
2. Apakah Hukum Acara Pidana yang berlaku yang digunakan Hakim peradilan pidana sebagai landasan kewenangannya dapat mewujudkan independensi / kewenangan Hakim secara maksimal ?

C. Pembahasan Masalah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum acara pidana sebagai landasan hukum daripada sebuah persidangan peradilan pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang materil, hal mana bila dibandingkan dengan prinsip dalam hukum acara perdata, memiliki perbedaan yang bertujuan untuk mencari kebenaran formil;
Membandingkan pada Hukum Acara Perdata yang bertujuan mencari kebenaran formil, maka sebuah gugatan perdata haruslah memenuhi syarat formil dan syarat materil, identitas pihak berperkara harus diuraikan jelas, demikian juga mengenai duduk permasalahan atau rangkaian peristiwa hukum (posita) serta menguraikan pula tuntutan hukum yang dimohonkan (petitum), sehingga apabila ada pihak yang erat keterkaitannya dengan pokok perkara, namun tidak diikutsertakan dalam berperkara berakibat suatu gugatan menjadi tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard), atau akan menimbulkan adanya perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet), Rekes-sipil, Voeging/ikut serta dan tussenkomst/menempatkan diri ditengah-tengah antara kedua belah pihak (campur tangan pihak ketiga didalam suatu perkara), serta adanya vrijwaring (ditarik pihak berperkara untuk masuk dalam perkara).
Sementara dalam hukum acara pidana apabila salah satu pihak yang ternyata cukup kuat bukti dalam keterkaitannya dengan perbuatan yang didakwa tidak dijadikan sebagai terdakwa, tidak jelas diatur akibat hukumnya dalam hukum acara pidana atau Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
Pada persidangan perkara pidana dalam mencari kebenaran materiel (materiele waarheid) tidak jarang ditemukan bahwa sebenarnya saksi tersebut ditenggarai mempunyai indikasi/dugaan juga sebagai pelaku tindak pidana. Berikut ini ilustrasi dengan menggunakan contoh kasus, bahwa A dan B melakukan penganiayaan secara bersama-sama (medeplegen) terhadap C, karena A adalah atasan/pimpinan B, maka untuk melindungi atasan/pimpinannya, B menyerahkan diri kepada Polisi bahwa ia telah menganiaya C sehingga A tidak disidik, akan tetapi hanya dijadikan sebagai saksi dalam kasus B. Akan tetapi dalam persidangan ternyata bahwa diantara saksi yang diajukan dipersidangan ada yang melihat bahwa A juga bersama-sama B telah melakukan penganiayaan terhadap C.
Dari deskripsi diatas tampak bahwa saksi tersebut adalah juga pelaku tindak pidana, maka terhadap saksi sedemikian semestinya Hakim dapat mengambil kebijakan sebagai berikut :
(1) Majelis Hakim dapat langsung mengeluarkan “Penetapan” dengan titik tolak pasal 108 ayat (3) KUHAP, bahwa pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya tindak pidana wajib melaporkan kepada penyidik, dalam konteks ini Hakim dikategorisasikan sebagai Pegawai Negeri sesuai pasal 13 UU Nomor 8 tahun 2004.
(2) Karena locus dan tempus delicti suatu kasus tidak dimuka persidangan, kemudian untuk tidak melanggar asas “Dominus Litis”, Hakim Ketua sidang dapat memerintahkan Panitera Pengganti mencatat kasus tersebut dalam berita acara sidang dan kemudian ditandatangani Hakim serta Panitera Pengganti, selanjutnya secara procedural Jaksa/Penuntut Umum segera menindaklanjuti melaporkan kepada Penyidik adar disidik lebih lanjut sesuai undang-undang.
Hal mana dapat pula dilakukan pengamatan terhadap RUU KUHAP 2008, yang juga mengatur hal yang sama, antara lain dalam pasal 12 ayat (3) yang menyatakan :
“ Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada Penyidik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut “.
Memperhatikan perkembangan pada RUU KUHAP yang akan datang, menurut hemat kami permasalahan seperti diatas akan kecil kemungkinannya dapat terjadi, sebagaimana antisipasi yang dibuat oleh pembuat undang-undang, yang diuraikan dalam Pasal 44 yang menyatakan :
- ayat (1), Penuntut Umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Komisaris untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan Penuntutan ke Pengadilan ;
- ayat (2), Sebelum memberi putusan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan Penuntut ke Pengadilan, Hakim Komisaris dapat memeriksa tersangka dan saksi serta mendengar konklusi Penuntut Umum ;
- ayat (3), Putusan Hakim Komisaris tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan Penuntutan ke Pengadilan adalah putusan pertama dan terakhir ;
Hanya saja dalam RUU KUHAP 2008 inipun ternyata tidak secara terang dan jelas / implisit memberikan wewenang kepada Hakim Komisaris guna menugaskan untuk memberikan perintah kepada Penuntut Umum agar dilakukan penyidikan kepada saksi dan atau orang yang terlibat serta memiliki bukti permulaan yang cukup didalam keterkaitannya atas suatu perkara yang diajukan kepada Hakim Komisaris ;
Sehubungan dengan adanya perintah Hakim tersebut, dapatlah dijadikan sebagai acuan sebagaimana tertuang dalam Herziene Indlansch Reglement (HIR), antara lain :
- Pasal 51, yang menyatakan “ Surat perintah yang diberikan oleh Hakim dalam perkara itu hendaklah diurus mereka itu supaya dikirimkan, disampaikan atau diberitahukan dengan perantaraan jurusita dan dijalankan “.
- Pasal 250 ayat (15) yang menyatakan “Perbuatan yang dapat dihukum dianggap bersangkut paut, bila perbuatan-perbuatan itu dilakukan :
1e. oleh lebih dari seorang bersama-sama dan serempak .
2e. oleh lebih dari seorang pada waktu atau tempat yang berlainan, tetapi menurut suatu perjanjian yang dibuat mereka itu lebih dahulu.
3e. dengan maksud akan mendapat alat untuk melakukan perbuatan yang lain yang dapat dihukum, atau untuk memudahkan melakukannya atau melangsungkannya, atau untuk melindungi dirinya dari hukuman tentang perbuatan lain yang dapat dihukum.

Sehingga suatu Pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat “ indispensable “ bagi Negara Hukum. Bebas berarti tidak ada campur atau turun tangan dari kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dalam menjalankan fungsi judiciar. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “ sub-ordinat “ terikat pada hukum “ .
Makna asas legalitas (principle of legality) yang pengertiannya terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana sebagai makna yang berasal dari bahasa Latin “ Noellum Delictum Noella Peona Sine Praevia Lege Poenali “ ( tiada delik, tiada pidana tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu) .
Dalam perkembangan praktek hukum (Pidana) dapat ditarik suatu artian yang definitife yuridis, dan sesuai prinsip (asas) legalitas yang mengandung makna, bahwa ada 3 (tiga) ciri khusus yang terdapat didalam konsepsi “ Negara Hukum “ Indonesia, dan setelah memperbandingkannya dengan prinsip-prinsip di dalam “ Rule of Law “ adalah sebagai berikut :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, yang mengandung perlakuan yang sama dibidang-bidang politik, hukum sosial sekonomis, budaya dan pendidikan .
2. Lagalitas, dalam arti hukum dalam segala bentuknya .
3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.
Pengakuan adanya asas legalitas akan merupakan sumber primaritas dari setiap negara yang menghendaki hukum sebagai suatu supremasi (Supremacy of Law) adalah untuk melakukan suatu sikap preventif terhadap pembatasan tindakan-tindakan penguasa yang berlebihan dan sewenang-wenang (abuse of power).
Maka oleh karena itu, perlu pula diciptakan suatu suasana, dimana para pejabat-pejabat Hukum dapat menjalankan tugasnya, tidak “ geaffectueerd” oleh pengaruh-pengaruh ataupun tekanan dari luar. Suatu Negara Hukum, juga Negara Hukum Indonesia, harus dapat menjamin adanya “ fair trial”, “fair administration of justice”. Ini merupakan suatu kebenaran yang tidak akan disangkal .
Permasalahan Pertanggungjawaban Pidana haruslah menjadi bagian atensi yang perlu dipahami para penegak hukum, baik Polisi, Jaksa, Hakim maupun Advokat, khususnya keterkaitan dengan asas pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana di Indonesia yang sangat rentan pemahamannya.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana yang modern pada pokoknya mengikuti ajaran Dualistis, yaitu suatu pemidanaan (Element of Crimes) haruslah memenuhi syarat adanya:
1. Actus Reus, suatu perbuatan haruslah dibuktikan adanya suatu Schuld dan atau adanya Wederrechtelijk, jadi perbuatannya itu tidak sekedar memenuhi rumusan delik berdasarkan suatu materiele daad dan meterielle feit saja. Konsep yang hanya melakukan penilaian suatu substansi rumusan delik adalah sama dengan materiele daad dan meterielle feit saja sangat tidak kondusif dan karenanya telah tertinggal berdasarkan konsep keadilan.
2. Mens Rea, apabila memang perbuatan pelaku telah memenuhi karakteristik Actus Reus tersebut, barulah dilihat apakah perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan, karena memang perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidaklah selalu diartikan sebagai syarat pemidanaan, karena doktrin dan norma positif membenarkan adanya suatu alasan Peniadaan Pemidanaan .
Sesungguhnya memang telah ada instrument sebagai prasyarat kepada para aparatur penegak hukum, termasuk pula kepada Hakim peradilan pidana untuk melakukan suatu tindakan dimaksud, namun instrument tersebut dalam praktek selama ini tidak pernah dipergunakan bahkan dapat dikatakan terkesan diabaikan .
Menurut pasal 108 (3) KUHAP, bahwa :
“ Setiap Pegawai Negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik “.
Pegawai Negeri dimaksud sudah barang tentu difokuskan kepada Polisi, Jaksa, Hakim, Pegawai Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat dan sebagainya, yang karena tugasnya sehari-hari mengetahui adanya dugaan tindak pidana Korupsi. Mereka ini seharusnya wajib melaporkannya kepada Penyidik dalam hal ini Kepolisian maupun Kejaksaan. Akan tetapi, didalam praktek instansi-instansi itu tadi tidak melaporkannya kepada Penyidik, akibatnya kejahatan / tindak pidana apalagi tindak pidana Korupsi semakin merajalela .

D.Kesimpulan:

1. Perlunya pengembangan hukum (perundang-undangan) dengan mengikutsertakan Hakim tetapi dengan tidak membebankan sepenuhnya pada hakim. Karena dari sudut pandang hukum ketatanegaraan, jelas akan terdapat adanya keberatan terhadap pengalihan beban tersebut pada hakim.
2. Menuntut pertanggung jawaban dengan semestinya terhadap setiap orang yang mempunyai peranan penting dalam tindak pidana yang dilakukan, dan atau mengetahui bahwa dilakukannya tindak pidana secara factual berkaitan langsung dengan apa yang didakwakan.
3. Peran serta dari setiap elemen masyarakat dalam menciptakan prinsip-prinsip supremasi hukum .
4. Adanya kebebasan lembaga yudisial, dalam mengambil tindakan-tindakan untuk memperkuat integritas dan untuk mencegah kesempatan-kesempatan untuk (melakukan) setiap bentuk tindak pidana diantara anggota-anggota (lembaga). Tindakan-tindakan itu mencakup aturan-aturan yang berhubungan dengan perilaku anggota-anggota peradilan.
5. Menetapkan tindakan-tindakan dan sistem-sistem untuk memudahkan pelaporan oleh pejabat-pejabat publik mengenai perbuatan-perbuatan korupsi, kepada otoritas-otoritas yang tepat, bilamana perbuatan-perbuatan itu terlihat dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka.

Daftar Kepustakaan :
1.Indriyanto Seno Adji , Peradilan Bebas dan Contempt of Court.
2.Oemar Seno Adji , Peradilan Bebas Negara Hukum 1980.
3.Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4.Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahannya 2007.
5.Mr.JM Van Bemmelen, Strafvordering, Leerbook van het Nederlandsch Strafprocesrecht, 1950.

Ditulis oleh :
Dominggus Silaban, SH.MH.
Ketua Pengadilan Negeri Agung di Sumsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar