Senin, 24 Mei 2010

Dapatkah saksi pelapor tindak pidana korupsi ditangkap/ditahan/diproses pidana dalam kaitan dengan kasus yang dilaporkannya ?

Dapatkah saksi pelapor tindak pidana korupsi ditangkap/ditahan/diproses pidana dalam kaitan dengan
kasus yang dilaporkannya ?

Penulis : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH.
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi.

A. Pendahuluan.

Adakalanya terhadap suatu kejahatan yang pelakunya sulit diungkap apalagi untuk ditangkap, dan telah diupayakan untuk membongkar kejahatan tersebut tetapi hasilnya tetap nihil, hal ini sering terjadi atas kasus jaringan pengedar narkotika yang juga sulit tertangkap, dan dapat juga terjadi dalam upaya mengungkap tindak pidana Korupsi.
Maka tidak jarang sebuah institusi penegak hukum (contoh : Kepolisian) melakukan penyamaran dengan memasukkan satu atau beberapa orang agennya kedalam suatu jaringan/kelompok kejahatan, dengan tujuan agar dapat memberi kemudahan dalam mengungkap, menangkap, menindak pelaku-pelaku kejahatan yang sulit diterobos itu.
Sungguh tidak mudah melaksanakannya dalam praktek, sebab untuk membongkar suatu kejahatan (seperti Narkotika), maka agen yang diselundupkan/disamarkan juga harus ikut terjun sebagai pengguna dan bahkan sebagai pengedar narkotika, lantas apakah dengan cara sedemikian agen tersebut harus dijadikan terdakwa atas kasus yang diungkapnya, demikian juga halnya dengan tindak pidana korupsi.
Ini adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan, pengungkapan suatu kejahatan.
Kondisi praktek ini dapat dilakukan dalam hal untuk mengungkap kasus-kasus yang sulit, yang antara lain :
- Pengawas pajak.
Yang menerima suap untuk mengurangi apa yang seharusnya dibayarkan oleh pembayar pajak kepada Negara, dan memeras uang dari wajib pajak yang tidak bersalah.
- Petugas Bea Cukai.
Yang mengizinkan Import barang gelap dengan imbalan sejumlah uang, sedangkan Import legal dipajaki dibawah tarif resmi.
- Pengadaan Barang.
Kontraktor berkolusi dalam melakukan penawaran sehingga harga menjadi sangat tinggi, dengan cara mengubah perkiraan-perkiraan biaya dari yang seharusnya.

ROBERT KLITGAARD dalam bukunya telah menuliskan suatu ungkapan yang beredar di Hong Kong atas maraknya tindak pidana korupsi, sebagai berikut:
1. “ Masuklah dalam Bus ” artinya : kalau anda mau menerima korupsi bergabunglah bersama kami.
2. “ Berlarilah disamping Bus ” artinya : seandainya anda tidak ingin menerima korupsi, tidak mengapa, tetapi jangan mengganggu.
3. “ Jangan pernah berdiri didepan Bus “ artinya : kalau anda mencoba melaporkan korupsi, bus itu akan menabrak anda, dan anda akan terluka atau bahkan mati atau usaha anda akan hancur. Kami akan menghajar anda, entah bagaimanapun caranya.

Dari kondisi permasalahan diatas, maka yang akan dibahas dalam keterkaitan dengan topik ini penulisan ini adalah :
1. Apakah urgensinya keberadaan daripada Pelapor dalam suatu tindak pidana “ ?
2. Mengapa “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya ?
3. Dapatkah pelapor terhindar dari jeratan status tersangka atau status terdakwa, atas laporan tindak pidana yang dilaporkannya ?

Ad.1. Apakah urgensinya keberadaan daripada Pelapor dalam suatu tindak pidana “ ?
Tentunya keberadaan “ Pelapor “sangat diperlukan sekali dalam menindaklanjuti adanya suatu perbuatan tindak pidana, dan peran serta “ Pelapor “ sebaiknya dimulai dari kesadaran diri pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana. Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terlebih lagi dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain peran serta “ Pelapor “ (berupa peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah merupakan upaya pencegahan/preventif disamping tindakan penindakan/represif, yang meliputi reformasi birokrasi, menata ulang dan mengkaji serta memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan negara maupun melakukan optimalisasi lembaga-lembaga pengawasan disetiap lembaga-lembaga pemerintah.
Untuk membahas kata “ Pelapor “ maka kita harus lebih dahulu menyesuaikan padanan kata “Pelapor “ dengan kata “Laporan” yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menyatakan :
Laporan adalah pemberitahuan yang di¬sampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terja¬dinya peristiwa pidana.
Selanjutnya Pasal 1 angka 26 KUHAP, menyatakan Saksi adalah orang yang dapat memberi¬kan keterangan guna kepentingan penyi¬dikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sen¬diri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dan Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia ¬lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari pengertian laporan sebagaimana diutarakan diatas bermakna adanya suatu “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidana. Dalam hal ini orang yang berhak untuk menyampaikan laporan adalah :
- Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa pidana kepada penyelidik atau penyidik;
- Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman atau keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
- Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugasnya yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
Selain daripada pengertian “ pelapor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ternyata masih dikenal lagi ketentuan hukum yang mengatur tentang keberadaan "pelapor", yang antara lain terdapat pada :
1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
2. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
3. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
 Menurut Pasal 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban yaitu yang dimaksud dengan ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri” dan ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan ”Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban”

 Menurut Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat 2 (dua) kualifikasi tentang yang dimaksudkan dengan “ pelapor “, yaitu :
1. Setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; atau
2. Setiap orang yang secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU.
Sedangkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.
3. Selanjutnya dalam Pasal 2 PP No.57/2003 secara tegas dinyatakan, bahwa setiap Pelapor dan Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Perlindungan khusus dimaksud dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

 Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada bagian Penjelasannya Pasal 3 ayat (1), menguraikan pengertian “ Pelapor “ adalah : orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Dalam kesempatan ini secara lengkap akan kami uraikan keberadaan Pasal 2 dan Pasal 3 dari Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 sebagai berikut :
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tersebut, menyatakan:
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.
(2) Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan :
(1) Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai :
a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan
b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
(2) Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.

Dari uraian diatas, penulis bermaksud untuk menguraikan bagaimana jaminan dan perlindungan serta penghargaan yang akan diterima oleh “ Pelapor “ dalam mengungkap suatu tindak pidana/kejahatan korupsi, dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dasar hukumnya diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum sebagai berikut :
Pasal 41 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma lainnya.
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi;
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah;

Perlu sekali lagi disampaikan ada beberapa ketentuan hukum yang membahas tentang keberadaan “pelapor“ yang meliputi perlindungan atas keberadaan pelapor tersebut, sebagaimana diuraikan dibawah ini, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
- Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
- Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
- Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Dari beberapa ketentuan hukum diatas ternyata hanya Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi, yang sangat memperhatikan perlunya pemberian perlindungan baik terhadap pelapor maupun saksi. Dan pemberian jaminan perlindungan tersebut mestinya sudah harus diberikan pada saat adanya pelaporan, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Secara materiil, pengaturan mengenai perlindungan bagi korban dan saksi pada tindak pidana Pencucian Uang menurut UU Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak hanya sebatas pada perlindungan fisik tetapi juga perlindungan hukum yang berupa perlindungan kepada pelapor dan saksi dari adanya gugatan atau tuntutan baik secara perdata atau pidana.
Hal ini menunjukkan bahwa secara khusus UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kaitannya dengan perlindungan bagi pelapor dan saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 4 (empat) bab dan 13 (tiga belas) Pasal. Dalam Bab I dimuat beberapa pengertian, antara lain pengertian mengenai Perlindungan Khusus, Pelapor, dan Saksi.
Perlindungan khusus didefinisikan sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap Pelapor atau Saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Berdasarkan definisi tersebut, tampak jelas lingkup pengaturan mengenai perlindungan yang mencakup baik terhadap pelapor maupun saksi.
Pengaturan mengenai perlindungan bagi pelapor dan saksi dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam bab tersendiri (Bab VII).
Ada 5 (lima) pasal yang mengatur mengenai permasalahan tersebut, yaitu Pasal 39 s/d Pasal 43 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Kewajiban untuk merahasiakan indentitas pelopor baik oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, maupun hakim. Adapun pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menimbulkan hak bagi pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan Pasal 39 ayat (1) dan (2);
2. Kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya, Pasal 40 ayat (1);
3. Pelarangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor di sidang pengadilan. Bahkan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan adanya pelarangan tersebut kepada saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, Pasal 41 ayat (1) dan (2);
4. Kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya, Pasal 42 ayat (1); dan
5. Pemberian jaminan kepada pelapor dan/atau saksi sehingga tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan, Pasal 43.
Menurut Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 ini, ada 5 (lima) bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan, yaitu:
1. perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental;
2. perlindungan terhadap harta Pelapor dan Saksi;
3. perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi; dan/atau
4. pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara.

Perlindungan khusus oleh Polri dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarga Pelapor dan Saksi sebagai akibat:
1. Disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai oleh Pelapor atau PPATK karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2. Disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang oleh Pelapor atau PPATK secara sukarela; atau
3. Ditetapkannya seseorang sebagai Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003, maka dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau seseorang ditetapkan sebagai Saksi, Polri akan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
4. Pemberian perlindungan khusus sebagaimana tersebut diatas diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan/atau Saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan. Adapun segala biaya yang berkaitan dengan pemberian perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, dibebankan pada anggaran Polri tersendiri.

Ad.2. Kalau demikian mengapa “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya ?
Menjawab pertanyaan diatas maka lebih dahulu harus dipahami tentang Prinsip umum dalam tindak pidana umum yang menyatakan, “ bahwa norma hukum pidana, adalah berlaku umum “, oleh karena itulah dipergunakan frase "barang siapa" atau "setiap orang" yang ditempatkan diawal rumusan perbuatan yang dilarang. Pelanggaran hukum pidana dapat dilakukan oleh subjek hukum pidana, yaitu orang dan korporasi. Dengan menggunakan frase tersebut sebagai bentuk pemberlakuan asas umum dalam hukum pidana, yaitu asas perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pada Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam pembahasan tulisan ini, ternyata mengenai saksi pelapor sebagaimana Pasal 174 KUHAP menyatakan :
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disang¬ka palsu, hakim ketua sidang memper¬ingatkan dengan sungguh-sungguh kepa¬danya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatan¬nya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjut¬nya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan si¬dang yang memuat keterangan saksi de¬ngan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut keten¬tuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menang¬guhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana ter¬hadap saksi itu selesai;

Sementara itu dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.
(2) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.
(3) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.

Sehingga secara normatif maka posisi “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya, hal ini disebabkan hukum pidana di-Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan. Maka dengan demikian terhadap suatu tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana akan memperoleh makna yang jelas. Ketentuan pasal ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana. Perbuatan yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan perbuatan tidak melakukan (pasif) termasuk perbuatan lalai (nalaten) dalam rangka mencegah terjadinya akibat yang merupakan unsur suatu tindak pidana.
a. Penggunaan terminologi hukum "barang siapa" atau "setiap orang" menunjukkan bahwa hukum pidana berlaku untuk semua perbuatan yang dilakukan siapa saja, dalam konteks hukum adalah subjek hukum (memiliki kedudukan yang sama).
b. Hukum pidana pidana berlaku terhadap semua perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum hukum pidana, orang dan korporasi.
c. Hukum pidana tidak ditujukan kepada orang tertentu atau orang yang menjalankan profesi tertentu.

Ad.3. Dapatkah pelapor terhindar dari jeratan status tersangka atau status terdakwa, atas laporan tindak pidana yang dilaporkannya ?

Penulis mencoba melakukan pembahasannya melalui Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum pidana.
Terdapat 2 (dua) masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah :
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
2. sanksi apa yang sebaiknva digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas dapat dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Selanjutnya Prof. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau di¬tanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan "perbuatan yang tidak dikehendaki" yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;
c. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip "biaya dan hasil" (cost-benefit principle).
d. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Menurut Prof. Mr. Moeljatno, alasan yang dapat menghapuskan pidana adalah :
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan pidana ;
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan Terdakwa (menurut Prof. Nico Keijzer adalah menghapuskan tercelanya perbuatan Terdakwa) ;
3. Alasan penghapus penuntutan, artinya tidak memikirkan sifat perbuatan dan sifat pelakunya (tercelanya), tetapi pemerintah menganggap atas dasar utilitas atau kemanfaatannya bagi kepentingan masyarakat, sebaiknya tidak dilakukan penuntutan, yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan umum ;

Kesimpulan dan Saran.
- Agar “pelapor” (yang laporannya dilakukan secara lisan melalui media massa) sedapat mungkin mendapat perlindungan hukum, dengan tujuan agar ianya dapat menerangkan dengan sebenar-benarnya, dan jangan sampai ia mencabut kesaksiannya dalam persidangan, keberadaan saksi atau pelapor dalam proses pidana sangat penting untuk memberi kesaksian;
- Bahkan sedapat mungkin dilakukan pelarangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor (yang laporannya dilakukan secara tertulis dan tertutup), yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor di sidang pengadilan, dan hakim wajib mengingatkan adanya pelarangan tersebut kepada saksi-saksi, dan penuntut umum.
- Pelapor wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang dilaporkan berkekuatan hukum;
- Pelapor bukan hanya dilindungi akan tetapi lebih dari itu ia layak memperoleh penghargaan serta pengganti biaya kepada pelapor dalam hal perolehan data-data alat bukti yang mungkin ia dapatkan.
- Apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan, maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), atas dasar utilitas atau kemanfaatannya bagi kepentingan masyarakat sebab tidak mudah untuk mengungkap apalagi menjadi “pelapor” dalam suatu tindak pidana yang menyangkut kepentingan umum khususnya yang menyangkut keuangan Negara;


Daftar Pustaka :

1. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
3. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
4. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Robert Klitgaard, dalam bukunya “Membasmi Korupsi”, penerbit Yayasan Obor Indonesia tahun 2001.
6. M.Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini.
7. Prof DR.Muladi,SH., dan Prof. Dr.Barda Nawawi Arief,SH. dalam bukunya “Teori-teori dan kebijakan pidana”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar