Minggu, 02 Juni 2013

Pejabat Tata Usaha Negara Yang Tidak Menghormati Putusan PERATUN

 Pejabat Tata Usaha Negara
Yang Tidak Menghormati Putusan PERATUN


Dalam kurun waktu yang panjang, keberadaan peradilan TUN sangat diharapkan dalam suatu negara. khususnya bagi suatu negara berasaskan hukum (Rechtstaat) dan atau bukan negara kekuasaan (Machtstaat), sehingga ada istilah “The Rule of Law” . Akan tetapi tidak jarang Kepala Daerah  yang masih memiliki prinsip otoriter klasik atau berfikiran jaman dulu (jadul) khususnya penjabat didaerah yang dipilih / terpilih, akan tetapi hanya memiliki wawasan disiplin ilmu / berlatar pendidikan rendah, dan atau bermodalkan kemampuan finansiil dan massa, sewaktu Pilkada dilakukan/campaign. Sehingga didalam kepemimpinannya melaksanakan/mengemban tugas-tugas kekuasaan di daerah, acapkali kepemimipinan-nya menggunakan kesewenang-wenangan selaku Penguasa (dan bukan suatu kebijakan), sehingga sering berbenturan dengan tindakan/perbuatan melawan hukum, apalagi didalam menghadapi para aparat bawahan yang tidak sehaluan dengan penguasa dimaksud . 
Dalam kondisi ini sudah barang tentu peradilan Tata Usaha Negara menjadi pilihan bagi aparat bawahan yang di-zholimi oleh Penguasa, yang hanya mengandalkan kekuasaan / kesewenang-wenangan tersebut. Pengajuan gugatan ke lembaga peradilan Tata Usaha Negara, yang walaupun cukup melelahkan serta membutuhkan biaya konsultan hukum (Advokat) terpaksa harus ditempuh, karena jabatan aparat bawahan yang semula dimiliki oleh  sudah dicopot, dan adapula yang mengalami pemecatan dari Pegawai Negeri Sipil yang sudah dijabatnya selama berpuluh-puluh tahun (seperti yang dimuat Sumber : Kompas, Edisi 1 Desember 2012 Seorang PNS Kalahkan Bupati,  dan Media Metro Siantar Edisi berjudul Toluto Bayar Rp.10 Juta Setiap Bulan kepada Erty, terbit Kamis, 29 November, 2012), semata-mata hanya karena tidak sehaluan dengan Penjabat Kepala Daerah yang berkuasa terlepas dari sebab dan atau alasan klassik apapun namanya.
Selanjutnya masalah berproses ke persidangan yang digelar di peradilan Tata Usaha Negara, hingga berlanjut ke tingkat Kasasi (Mahkamah Agung RI). Kisah aparat bawahan yang bertindak selaku Penggugat sedangkan Pejabat yang berkuasa dijadikan sebagai Tergugat, alhasil si Aparat Bawahan dimenangkan hingga proses hukum Kasasi, dan putusan mana dinyatakan telah memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap (Inkraacht van Gewijsde), dalam arti si Aparat Bawahan tersebut harus dikembalikan statusnya ke dalam jabatannya, atau bagi yang dipecat harus ditugaskan kembali seperti sediakala. Akan tetapi  bagi seorang Pejabat yang berkuasa yang mempunyai pandangan bahwa “Persoalan Hukum Mudah Diselesaikan” dan dengan segala ke-arogansian yang dimilikinya sehingga ianya tidak melaksanakan isi putusan Lembaga Hukum Tertinggi di Negeri ini, ternyata dalam kondisi ini tidak mendapat sanksi apa-apa. Tentunya Pejabat Kepala Daerah ini semakin arogan/berani terhadap aparatur bawahannya tanpa memperdulikan keberadaan adanya Putusan Pengadilan  Mahkota seorang Hakim”.
            Sang Aparat Bawahan (yang jabatannya dicopot) ternyata tidak putus asa, karena terdengar issu dimasyarakat yang menyatakan bahwa sang Pejabat Kepala Daerah beranggapan bahwa putusan peradilan Tata Usaha Negara adalah putusan yang seolah-olah “ Macan Ompong”, ianya kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang katanya mempunyai suatu kekuatan Eksekusi / Eksekutorial, dan kembali mendudukkan sang Pejabat Kepala Daerah sebagai Tergugat disamping menggugat Kementerian Dalam Negeri secara hierarkis.
Dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri tersebut, Aparat Bawahan harus pula menggunakan jasa Advokat dengan maksud agar sang Pejabat Kepala Daerah, tidak memandang sebelah mata, walaupun seorang Aparatur Bawahan sudah terseok-seok mencari biaya Advokat, ditambah beban fikiran karena jabatannya telah dicopot bahkan terancam dipecat, tetap memiliki keberanian sebagai warga yang masih percaya, bahwa negeri ini adalah Negara Hukum bukan Negara Kekuasaan.
Seiring berjalan waktu, tahap demi tahap persidangan berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku, Hakim yang memimpin persidangan secara kebetulan masih memiliki/menghargai prinsip bahwa : “Mahkota bagi seorang Hakim adalah Putusannya”  dalam menangani kasus dimaksud, maka berdasarkan bukti-bukti serta fakta hukum dipersidangan termasuk keberadaan putusan peradilan Tata Usaha Negara dari tingkat Pertama hingga tingkat Kasasi, dan pula sudah berkekuatan Hukum, sewajarnyalah gugatan sang Aparatur Bawahan tersebut harus dikabulkan dengan” Serta Merta (Uitvoorbaar Bij Vooorrad) “.
Adapun dasar yang dijadikan pertimbangan hukum oleh Hakim dalam putusan dimaksud, antara lain akan diuraikan dibawah ini:
Bahwa dalam mengadili suatu perkara menurut hukum ada 3 (tiga) langkah yang harus dilakukan:
  1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah didalam system hukum, atau jika tidak ada yang dapat diterapkan, mencapai satu kaidah untuk perkara itu (yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai satu kaidah  utnuk perkara lain sesungguhnya) berdasarkan bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang ditunjukkan oleh system hukum.
  2. Menafsirkan kaedah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana etika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan kekuasaannya yang dimaksud.
  3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian;
 Bahwa dalam hal ini Hakim merasa perlu untuk mengemukakan hal-hal yang sangat prinsipil dalam mempertimbangkan gugatan Penggugat, yaitu : 
  • Bahwa putusan Hakim adalah “Mahkota bagi Hakim”, dan merupakan suatu hakikat bagi keberadaan suatu peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penjelasan perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak, dan putusan Hakim tersebut akan berfungsi untuk memberikan penyelesaian sengketa bagi pihak-pihak ;
  • Bahwa putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan publik, yang berarti putusan pengadilan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa (erga omnes), selanjutnya putusan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Yudicial Control dengan mengidentifikasi tindakan administrasi negara, melakukan upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan administrasi yang tidak sesuai hukum;
  • Bahwa pejabat publik yang tidak melaksanakan hukum/putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sama artinya dengan tidak mampu mempersonifikasikan hukum dalam jabatannya, dan sama pula artinya bahwa pejabat tersebut telah ingkar terhadap perintah jabatan yang disandangnya saat itu, sehingga sebagai konsekuensinya yang bersangkutan tidak layak menduduki jabatan publik itu, oleh karenanya segera diberhentikan dari jabatan publik yang sedang dipangkunya itu;
  • Bahwa perlu ada kewibawaan hukum yang dapat diartikan kewibawaan aparat penegak hukum guna memfungsikan hukum dalam masyarakat, untuk menerapkan suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, diakui, dihargai dan ditati atau dipatuhi;
  • Bahwa kesadaran hukum merupakan poin penting dalam politik hukum Nasional, pelaksanaan hukum (Law Enforcement) merupakan salah satu aspek dari politik hukum, karena politik hukum adalah mencakup segi-segi pengadaan hukum (law making), pelaksanaan hukum termasuk penegakkan hukum dan pembinaan kesadaran hukum dan pengawasan atas jalannya hukum;
  • Bahwa oleh karena itu setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh dan taat pada perintah hukum, manakala ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang (tidak melaksanakan) perintah Hakim, maka sesungguhnya pejabat publik tersebut tidak layak lagi sebagai pengemban pejabat publik, dan sebagai konsekwensinya harus diberhentikan dari jabatan publik tersebut;
  • Bahwa berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang Undang  Nomor 9 tahun 2004 menyatakan :
Dalam hal Penguasa tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif;
  • Bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dilaksanakan/dipatuhi oleh pejabat Tata Usaha Negara, dapatlah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, dan dapat berdampak menurunnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah dan  lembaga peradilan pada khususnya serta pejabat Tata Usaha Negara pada umumnya (dalam hal ini telah melakukan perbuatan “ingkar terhadap perintah jabatannya);
  • Bahwa tiada seorang pun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggungjawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan (Nieman kan bevoegheid uitoefenen zonder verantwoording schuldig te zijn of zonder dat op die uitoefening controle bestaan) atau “ tiada jabatan tanpa pertanggungjawaban ”;
  • Bahwa prinsip Fautes de Services, menjadi penyebab pejabat atau badan Tata Usaha Negara seperti tak tersentuh hukum “untouchable” karena merasa bahwa segala tindakannya bukan diri pribadinyalah yang akan menanggungnya, tetapi Negara sehingga pejabat berani untuk tidak melaksanakan perintah Pengadilan Tata Usaha Negara;
  • Bahwa ada kecendrungan Pejabat Publik di Indonesia tingkat kesadaran hukumnya rendah, maka sekalipun dengan pembebanan ganti rugi pada APBN maupun APBD, tidak cukup memberikan pendidikan hukum bagi Pejabat Publik untuk mentaati putusan Pengadilan;
  • Bahwa adalah berbeda dengan ketika seorang pejabat publik tidak mematuhi putusan Hakim (yang dapat disamakan tidak mematuhi hukum), maka pada saat itu justru tidak sedang menjalankan peran negara, (karena secara ideal menjalankan peran negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum), oleh karenanya resiko dari ketidakpatuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan negara, tetapi harus ditanggung secara pribadi dari orang yang sedang menjabat, karena itu adalah "kesalahan pribadi". Hal mana adalah sejalan dengan teori "kesalahan" yang dikembangkan dari Yurisprudensi Conseil de 'Etat yang pada pokoknya membedakan antara "kesalahan dinas" (faute de serve) dan "kesalahan pribadi" (faute personelle);
  • Bahwa ironisnya setelah putusan gugatan peradilan Tata Usaha Negara tentang pe-nonjob-an aparat bawahan dikabulkan oleh Pengadilan (Mahkamah Agung RI), dan belum dilaksanakan eksekusinya, ternyata muncul SK Bupati tentang penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun dari Penata Tk.I, gol ruang III/d menjadi Penata, gol. ruang III/c;
  • Bahwa setelah Penguasa dikalahkan perkaranya pada perkara Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian memperlihatkan sikap arogansi yang tinggi, agar putusan Peratun tidak perlu dilaksanakan oleh Penguasa, kemudian Penguasa kembali menghukum Penggugat untuk dikenakan penurunan pangkat;
  • Bahwa kemudian Penggugat mengajukan kasus ketidakpatuhan Penguasa (selaku Pejabat Tata Usaha Negara) tersebut ke Peradilan Perdata Pengadilan Negeri, dengan kwalifikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan diikuti tuntutan ganti rugi, yang tentunya merupakan suatu perjalanan panjang yang melelahkan bagi Aparat bawahan selaku pencari keadilan;
 
Bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juga tidak secara tegas  menentukan kepada siapa beban keuangan pembayaran uang paksa itu dikenakan, termasuk berapa besarnya uang paksa yang harus dibayar oleh Penguasa (Pejabat Tata Usaha Negara) yang tidak mentaati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara;
Bahwa dalam sistem Peradilan Administrasi di Belanda adalah menjadi beban keuangan organ/pejabat pemerintahan atau keuangan Negara, sistem atau mekanisme pembayaran uang paksa yang demikian sejalan dengan teori "kesalahan dinas" (faute de service) juga adanya konstruksi bahwa ada suatu hubungan yang dikatakan atasan yang harus bertanggungjawab "vicarious liability" atau "superior respondent ";
Bahwa mengacu terhadap mekanisme penerapan uang paksa (dwangsom) dalam sistem Peradilan Administrasi yang berlaku di Belanda dan dengan pendekatan teori kesalahan dinas "faute de service ", maka konstruksi hukum di atas sebenarnya sudah dapat/diakui dalam peraturan perundang-undangan di negara Indonesia;
Bahwa menurut teori diatas, terhadap seorang pejabat yang sedang menjalankan tugasnya maka ia adalah sedang melaksanakan peran negara, oleh karenanya manakala di dalam menjalankan peran/tugasnya tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang/masyarakat, sepanjang tugas-tugas tersebut dilaksanakan menurut hukum, maka adalah benar apabila kerugian yang diderita orang/masyarakat tersebut dibebankan pembayarannya kepada keuangan negara, karena itu tergolong "kesalahan dinas";
Bahwa dari uang yang mana yang bisa dipaksakan kepada Penguasa (Pejabat Tata Usaha Negara) untuk memenuhi dwangsom ?, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah selalu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang masih aktif, tentunya secara rutin ia mendapatkan gaji setiap bulannya, oleh karenanya apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan amar putusan, maka adalah lebih efektif dan efisien apabila pengenaan dwangsom diambil/dipotong dari gaji bulanan pejabat yang bersangkutan, dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan Hakim diperintahkan kepada Pejabat yang berwenang melaksanakan pemotongan gaji, untuk Pejabat Tata Usaha Negara yang penggajiannya melalui proses di Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) termasuk Bupati dan Walikota, atau pejabat lain yang berwenang semacam itu untuk Jabatan Tata Usaha Negara lainnya, selanjutnya uang dwangsom tersebut diserahkan.kepada Penggugat dan pemotongan ini terus berlanjut sampai dengan dipatuhinya amar putusan;
Bahwa selanjutnya  jumlah pembebanan uang paksa ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya yang ditaksir berdasarkan kerugian yang akan diakibatkan oleh tidak dilaksanakannya putusan Pengadilan yang diperhitungkan sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan rasa keadilan, artinya bahwa terdapat keadaan yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Penguasa (pejabat publik) tidak segera melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut;
Bahwa dalam sengketa kepegawaian pemberhentian dalam jabatan, dalam amar putusannya Hakim mewajibkan Penguasa untuk merehabilitasi Penggugat dalam jabatan atau kedudukannya menurut hukum,  dalamhal ini besarnya kerugian ditaksir dari jumlah tunjangan jabatan yang seharusnya diterima Aparat Bawahan sejak diberhentikan dari jabatannya;
Bahwa ada 2 (dua) teori mengenai pertanggungjawaban Pejabat Publik mengenai kepada siapa pembayaran uang paksa harus dibebankan, yakni: 
  • dibebankan kepada keuangan negara (teori fautes personalles).
  • dibebankan pada keuangan pribadi dari Tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan pengadilan tersebut harus dilaksanakan (teori fautes de services).
 Bahwa pembayaran uang paksa harus dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan Peradilan Tata Usaha Negara harus dilaksanakan. Jadi, tidak dibebankan kepada keuangan negara karena maksud dasar dari pemberlakuan uang paksa (dwangsom) dalam proses eksekusi, baik di peradilan perdata maupun peradilan Tata Usaha Negara adalah sangat jelas, yakni sebagai alat eksekusi yang berfungsi untuk memberikan tekanan psikis (dwaang middelen) kepada si-terkalah dalam sebuah proses perkara di peradilan, agar si-terkalah bersedia mematuhi atau melaksanakan putusan peradilan;
Bahwa berpijak dari maksud dasar diadakannya lembaga paksa dwangsom tersebut, maka yang “diancam“ secara psikis agar suatu putusan badan peradilan dilaksanakan harus Tergugat pribadi atau orang yang sedang menjabat pada saat putusan tersebut harus dilaksanakan. Dan sesuai dengan karakteristik dwangsom, maka ancaman pembayaran uang paksa tersebut terus diberlakukan sampai putusan tersebut dilaksanakan atau dipatuhi Tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara;
Bahwauang paksa tersebut dipotongkan dari gaji Tergugat setiap bulannya, maka pada hari berikutnya sejak berakhirnya masa peneguran oleh Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan harus segera mengirimkan Penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPN atau pejabat yang mempunyai kewenangan semacam itu, yang berisi perintah agar kepala KPN memotong gaji Tergugat setiap bulan sebesar yang ditentukan dalam amar putusan, sampai dengan Tergugat mematuhi isi putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tersebut{lihat Dr.H.Supandi, SH.M.Hum., Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara) Penerbit Pustaka Bangsa Press Medan 2011 halaman 236};
Bahwa dalam kepustakaan hukum administrasi, istilah uang paksa (dwangsom) merupakan bagian dari jenis sanksi administrasi yang dikenakan sebagai alternatif untuk paksaan nyata (bestuursdwang). Paksaan nyata dirumuskan sebagai tindakan nyata untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang sedang dilakukan atau telah dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
Sejauhmana arogansi kewenangan/kekuasaan, dapat dijadikan alasan untuk tidak dieksekusinya putusan Peratun yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Bahwa keengganan untuk  tetap tidak melaksanakan isi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (inkracht van gewijsde), oleh karenanya tindakan Pejabat TUN dimaksud digolongkan telah melakukan "kesalahan dinas" (faute de serve), sedangkan Tergugat-II telah melakukan "kesalahan pribadi" (faute personelle), sehingga haruslah dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad/OOD) ;
            Ternyata selain putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan ditambah putusan Pengadilan Negeri yang diembel-embeli “Serta Merta/Bij Voorraad” pun juga tidak mendapat respon dari sang Pejabat Kepala Daerah yang memiliki arogansi tersebut, kemungkinan Hukum Alam juga tidak cukup, akan tetapi tidak mungkin pula menggunakan Hukum Rimba dalam suatu negara hukum (Rechtstaats).
Dan mengapa hal ini bisa  terjadi,  menurut penulis adalah karena :
  1. Pejabat Kepala Daerah dimaksud telah didukung oleh unsur Pimpinan Daerah yang sangat erat didalam bekerjasama ;
  2. Masyarakat setempat pada umumnya selain awam hukum juga apatis terhadap hukum yang berlaku;
  3. Tidak terdapat solidaritas diantara para aparatur Pegawai Negeri Sipil.
 
Demikian penulisan ini, yang terlaksana semata-mata karena adanya adagium yang mengatakan bahwa “ Sekalipun Langit Runtuh, Hukum Tetap Harus Ditegakkan / Pro Justicia Roet Coelum” .
salam penulis.