Kamis, 13 November 2014

Sejarah Status Kekuasaan KEHAKIMAN di Indonesia

Sejarah Status Kekuasaan KEHAKIMAN di Indonesia

Sebagaimana diketahui, sistem peradilan yang dewasa ini dikenal di Indonesia bukanlah murni merupakan hasil transformasi dari struktur sosial tradisional Indonesia, tapi merupakan warisan dari sistem peradilan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda yang kemudian berkembang setelah Indonesia mmnasuki era kemerdekaan. Pada masa kolonial, pemerintah kolonial melalui asas kodifikasi dan konkordansi- melakukan transplantasi sistem hukum civil law yang berlaku di negara asal mereka kepada sistem yang mereka bangun di Indonesia. Hal tersebut tidak terbatas kepada hukum Materil (substantive law) semata, namun juga hukum forrnil (procedural law) dan institusi-institusi yang menjadi pelaksana fungsi peradilan .
Karena itu penegembangan institusi peradilan di Indonesia pada masa itu juga mencontoh institusi peradilan yang ada di Belanda, walaupun dalam perkembangannya juga memberikan sedikit ruang bagi penyelesaian sengketa antar masyarakat secara adat.
Pada masa kolonial sistem hukum yang digunakan Indonesia adalah sistem hukum civil law yang digunakan pula oleh Belanda dan, dalam beberapa hal hukum adat. Dan ini mempengaruhi status hakim di Indonesia dan pola pembinaan SDM hakim. Pada masa itu, hakim pada Hoogerechsthof dan Raad van Justitie adalah pegawai yang sama sekali terpisah dari pemerintahan.
Sementara itu, seluruh Ketua Landraad di Jawa / Madura dan sebagian besar ketua Landraad di luar Jawa / Madura pada dasarnya berstatus sebagai pegawai Departemen Kehakiman (pegawai pemerintah). Bahkan sebagian besar magistraatsgerecht, regentschapsgerecht dan districtgerecht adalah pegawai pemerintah biasa yang merangkap jabatan hakim.
Pada Jaman Penjajahan Belanda
Pada jaman penjajahan Belanda, terdapat organisasi kehakiman di daerah-daerah luar Jawa dan Madura, ini diatur di dalam “Reglemen pengadilan buat daerah daerah seberang”, dimuat dalam S. 1927 No. 277, yang menggantikan reglemen-reglemen yang terpisah buat masing-masing daerah tersendiri, seperti Reglemen buat Sumatera Barat, buat Aceh, buat Kalimantan-Barat, buat Minahasa, buat Amboina, buat Bali dan Lombok dan sebagainya.

Untuk singkatnya Reglement tersebut di atas, kita sebut Reglemen 1927 saja
Di dalam pasal 2 Reglemen 1927 itu ditetapkan, bahwa Bab 1, VI dan VII R.O. berlaku buat daerah-daerah seberang; begitu pula menurut pasal 101 Reglemen 1927, Bab V R.O. Susunan kehakiman atas dasar Reglemen 1927 itu buat daerah-daerah seherang adalah sebagai berikut :




I . Untuk bangsa Indonesia :

Pengadilan sipil:
• Districtsgerecht atau districtsraad (Bangka, Biliton, Menado, Sumatera Barat, Banjarmasin, Ulu Sungai) atau Magistraatsgerecht
• Regentschapsgerecht.
• Landraad.
• Raad van justitie (di Padang, Medan. Ujung Pandang )
• Hooggerechtshof (di Jakarta)

Pengadilan kriminil:

• Districtsgerecht atau districtsraad (Bangka, Biliton Menado, Sumatera Barat, Tapanuli, Banjarmasin, Ulu Sungai) atau
• Negorijrechtbank (Amboina, Saparua, Banda)
• Landgerecht atau magistraatsgerecht landraad
• Raad van justitie (di Padang, Medan, Ujung Pandang)
•Hooggerechtshof (di Jakarta)
II . Untuk bangsa Eropah:
Pengadilan sipil:
• Residentiegerecht
• Raad van justitie (burgerl. kamer) di Padang, Medan, Ujung Pandang
• Hooggerechtshof (burgerl kamer) di Jakarta

Pengadilan kriminil:
• Landgerecht atau Residentiegerecht atau Negorijrechtbank
• Raad van justitie (Strafkamer) politierechter
• Hooggerechtshof (straf kamer)
Bahwa masing-masing peradilan memiliki tugas antara lain :
1. Districtsgerecht mengadili semua perkara perdata, dengan orang-orang Indonesia asli sebagai Tergugat, yang nilai harganya ada dibawah f 20.-
Terhadap keputusan Districtsgerecht dapat dimintakan Banding kepada Regentschapsgerecht.
2. Regentschapsgerecht mengadili dalam tingkat Pertama dan kemungkinan akan banding ke Landraad :
Segala tuntutan perkara perdata, dengan orang-orang Indonesia asli, jikalau gugatannya mempunyai nilai harga yang tidak kurang f 20 dan tidak lebih dari f 50.-
Sebagai pengadilan tingkat kedua yang mengadili perkara banding terhadap keputusan Districtsgerecht.
3. Landraad.
Mengadili dalam tingkat pertama, yaitu :
- Segala tuntutan perdata dalam perkara hak seseorang, hak kebendaan, dan hak campuran, yang nilainya lebih dari f 50. dan tergugatnya orang-orang Indonesia yang tidak runduk kepada Hukum Perdata Barat.
- Segala perkara kejahatan, terkecuali yang termasuk kekeuasaan Landgerecht dan Raad Van Justitie.
-Segala pelanggaran polisi dan peraturan setempat.
- Tuntutan-tuntutan terhadap orang yang dipersamakan hukumnya dengan orang Indonesia, bukan golongan Tionghoa.
- Terhadap keputusan Landraad dapat dimintakan banding kepada Raad Van Justitie.

4.Landgerecht, mengadili dalam tingkat poertama dan terakhir dengan tidak membedakan bangsa apa yang menjadi terdakwa.
5.Residentiegerecht, mengadili perkara-perkara perdata, kecuali yang termasuk kekuasaan Raad Van Justitie.
6.Raad Van Justitie, mengadili dalam tingkat pertama :
- Segala tuntutan terhadap orang Eropa dan Tionghoa dalam perkara perdata yang bersifat hak seseorang, hak benda dan hak campuran.
- Dan segala tuntutan dalam perkara perdata terhadap orang Indonesia sepanjang tuntutan mereka memilih Hukum Perdata Barat .

Raad Van Justitie, mengadili dalam tingkat terakhir :
- Segala perselisihan tentang kekuasaan mengadili diantara pengadilan-pengadilan rendahan.
- Segala keputusan Residentiegerecht, didalam perkara-perkara untuk mana dapat dimintakan Segala tuntutan dalam perkara perdata banding kepada Raad Van Justitie. yang bersifat hak seseorang, hak benda dan hak campuran.
7.Hooggerechtshof, merupakan pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Jakarta, yang bertugas mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia, dan menjaga supaya peradilan itu dijalankan sepatutnya dan tidak mengecewakan

Pada Jaman Jepang
Pada jaman Bala tentara Jepang, maka dikeluarkanlah undang-undang Bala tentara Jepang tanggal 8 Maret 1942 No. 1, dalam mana ditentukan, bahwa buat sementara segala undang-undang dan peraturan peraturan dari Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Mengenai peradilan sipil, maka dengan undang-undang 1942 No.14 ditetapkan ‘Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon”. Dengan peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil, yang akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping pengadilan-pengadilan itu dibentuk juga Kejaksaan.
Pengadilan.pengadilan yang didirikan itu pada dasarnya adalah lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada, kecuali beberapa pengadilan, yang dihapuskan. Kekuasaannya pun tidak berubah.
Pengadilan yang dimaksud ialah seperti berikut :
1. Gun Hooin (pengadilan kawedanan lanjutan Districtsgerecht dahulu.
2. Ken Hooin (pengad ilan kabupaten) lanjutan Regentschapsgerecht dahulu.
Kedua pengadilan tersebut tetap diatur seperti d dalam R.O., hanya tidak lagi meliputi daerah-daerah yang dimasukkan ke dalam lingkungan Si atau Kota. ini ada hubungannya dengan perubahan di dalam administrasi pemerintahan, dengan mana kekuasaan dan pekerjaan Pamong-praja di dalam kota diserahkan kepada wali kota.
3.Keizai Hooin (pengadilan kepolisian) lanjutan Landgerecht dahulu, dengan kekuasaan yang sama, tapi sekarang meliputi juga wilayah hakim distrik dan hakim kabupaten yang dahulu memasuki wilayah kota juga.
4.Tihoo Hooin (pengadilan negeri) lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi hanya dengan seorang hakim (tidak lagi merupakan majelis), kecuali di dalam perkara-perkara yang tertentu, apabila Pengadilan Tiuggi menentukan harus diadili dengan 3 orang hakim.
Pengadilan ini mengadili segala perkara pidana dan perdata, sepanjang tidak termasuk kekuasaan hakim distrik, hakim kabupaten dan hakim kepolisian. Juga perkara-perkara yang dahulu diadili oIeh raad van Justitie dan residentiegerecht. Berhubung dengan itu segala perkara apel dan revisie dihapuskan.
Kemudian maka Undang-undang 1942 No. 14 dicabut dan diganti dengan Undang-undang 1942 No. 34, yang mengatur kembali susunan pengadilan sipil. Selain dan pengadilan-pengadilan yang sudah disebut di dalam undang undang 1942 No 14 dengan penambahan dua buah pengadilan, yaitu :
1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu.
2. Saikoo Hooin (Mahkamah Agung). lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.
Dengan Osumu Seirei 1943 No. 21 kekuasaan pengadilan yang disebut tadi diatur lebih lanjut. Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin tidak lagi mengadili perkara-perkara di dalam tingkatan pertama. Dengan Osumu Seirei 1944 No. 2 Saikoo Hooin kemudiãn dihapuskan lagi, dan segala kekuasaannya diserahkan kepada Kootoo Hooin. Tihoo Hooin atau pengadilan negeri sekarang merupakan pengadilan sehari-hari biasa huat segala penduduk, terkecuali orang-orang Jepang.
Dengan peraturan ini, maka Pemerintah Balatentara Jepang menghapuskan dualisme di dalam peradilan, sesuai dengan azas peradilan di Jepang, bahwa hanya ada satu macam peradilan untuk segala golongan penduduk. OIeh karena itu, maka residentiegerecht dahulu dihapuskan dan Kootoo Hooin, yang menggantikan Raad van Justitie dahulu hanya merupakan pengadilan banding. akan tetapi bukan saja atas keputusan-keputusan Tihoo Hooin melainkan atas keputusan dan semua hakim-hakim rendahan.
Selain dari itu Kootoo Hooin melakukan pengawasan disipliner terhadap semua pengadilan-pengadilan bawahan, seperti yang dimaksud dalam pasal 157 R.O. Juga berkuasa mengadili perselisih an tentang kekuasaan mengadili (junisdictiegeshillen) tersebut dalam pasal 127, dan sepanjang mengenai Kootoo Hooin di Jakarta, juga jurisdictiegeschillen, yang tersebut di dalam pasal 162 R.O.
Kootoo Hooin mengadili perkara dengan seorang hakim, kecuali jika Ketua Pengadilan ini menentukan bahwa di dalam perkara perkara yang tertentu harus diadili dengan tiga orang hakim
Hukum acara yang digunakan untuk pengadilan pengadilan distrik, kabupaten dan pengadilan negeri : H.1.R.; untuk hakim kepolisian: Landgerechtreglement.
Di dalam pemeriksaan ulangan oleh Kootoo Hooin, diturut aturan yang ditetapkan dalam Osamu Sei Hi No. 1573 tahun 1942. Menurut keterangan di dalam Penjelasan dan Undang-undang R.1. 1947 No. 20, maka dengan Osamu Sei Hi tersebut tadi dimungkinkan pemeriksaan ulangan atas segala keputusan dan semua pengadilan pengadilan bawahan, sehingga dengan demikian hakim kabupaten dan Pengadilan Negeri tidak melakukan peradilan dalam tingkat kedua.
Setelah Indonesia merdeka, khususnya pada pemerintahan Orde lama, terjadi diskursus mengenai status jabatan hakim. Diskursus tersebut diwarnai oleh pandangan politik rejim yang berkuasa saat itu yang menempatkan peran presiden sangat sentral. Pada masa orde lama, fungsi kehakiman pada umummya, dan jabatan hakim pada khususnya, ditempatkan pada posisi pinggir pada lingkar kekuasaan negara yang didominasi oleh eksekutif.
Pengaruh pertentangan yang terjadi diantara para Hakim, Jaksa dan Polisi, serta mengenai perkembangan lembaga lembaga peradilan dimasa pasca revolusi dan mengenai kondisi-kondisi yang akan rnempengaruhi hasil akhirnya ;
Pertentangan dibidang organisasi Kehakiman terdiri dari 2 (dua) permasalahan ;
1.Pertentangan antara Hakim dan Jaksa menyangkut prestise, apakah para jaksa harus diberi kedudukan dan gaji yang sama dengan Hakim atau tidak ;
2.Pertentangan mengenai prestise dan status serta pembagian kekuasaar substantif antara pihak Kepolisian dan badan Penuntut Umum ;
Hal mana karena dalam sistem peradilan Indonesia saat itu, keberadaan Penuntut atau Jaksa atau Officer Van Justitie pribumi, adalah bagian dari Pamongpraja (bawahan asisten Residen)
Pada Jaman Kemerdekaan Penuntut Umum mewarisi Organisasi Officer Van Justitie tetapi dengan tanggungjawab Jaksa yang terbatas ;
Setelah kemerdekaan, kebanyakan pegawai rnengorganisasi diri untuk mernperbaiki diri posisi mereka, dan Penuntut Umum ada dibarisan depan . Walaupun tidak secara eksplisit, Persatuan Jaksa berupaya menegakkan Prestise, Harga diri, dan arti penting Penuntut Umum yang dimasa Ko lonial tidak mereka punyai .
Sebaliknya Hakim merasa tidak perlu mengorganisasi dirinya, sehingga Prestise dan kemantapannya menurun tajam dibanding dengan para Pemimpin Politik, mereka kehilangan tempatnya yang sernula pada resepsi-resepsi resmi, yang menyebabkan mereka rnerasa getir, dan gedung-gedung Pengadilan kurang terawat, sementara mereka tidak memperoleh perurnahan yang pantas dan kekurangan kenderaan untuk memperlancar tugas.
Pada tahun 1948, Pemerintah Republik menciptakan aturan gaji pegawai negeri yang susunan peringkat dan perbedaan gajinya sesuai dengan peraturan Hindia Belanda. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung memperoleh pangkat dengan gaji yang sama, tetapi untuk setiap tingkat dibawahnya Para Hakirn rnernperoleh suatu atau lebih peringkat diatas Jaksa;
Pada tahun 1951, Para Jaksa tidak sependapat, segera setelah berorganisasi, mereka memberi Informasi kepada Kementerian Kehakirnan dan Badan Kepegawaian Negeri, bahwa mereka tidak hanya menginginkan gaji yang lebih tinggi, tetapi juga kesamaan gaji dan peringkat dengan Hakirn dan peraturan mengenai kepegawaian negeri yang baru yang segera dirancang ;

Pada tahun 1952 Para Hakim di Jawa mulai mengorganisasi diri, dan pada bulan Mei tahun 1953 Ikatan Hakim didirikan. Dan Hakim Soerjadi Ketua Pengadilan Semarang, dipilih sebagai Ketua Bedan Pelaksana Ikatan Hakim . Ikatan Hakim memiliki kelemahan politis, yaitu tidak ikutnya para Hakim Agung didalamnya serta tidak melakukan dukungan penuh. Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Tinggi mengambil prakarsa mengorganisasi diri karena merasa kemerosotan prestise dan penurunan taraf hidup setelah adanya Tuntutan para Jaksa tersebut. Namun demikian Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro dan sejumlah Hakim yang sudah menjabat sebagai Hakim sejak sebelum perang, menganggap bahwa martabat Jabatan Hakim tidak mengizinkan untuk bertengkar didepan umum .
Pada tahun 1953 sampai tahun 1956, Hakim dan Jaksa memberikan alasan mereka didepan Parlemen Menteri Kehakiman, Badan Kepegawaian Negeri dan dalarn batas yang tidak luas didepan khalayak ramai.
Perdebatan antara Para Hakim dan Jaksa dibagi dalam 3 (tiga) pokok :
1. Beban Kerja.
2. Tanggung Jawab Hakim.
3. Asas Konstitusional.

ad.1. Beban kerja.
Para Hakirn rnengemukakan bahwa beban kerja Para Hakim menangani persoalan pidana maupun perdata, sementara para penuntut hanya berhubungan dengan persoalan pidana .
Menurut para Hakim persoalan perdata dari sudut teknik jelas jauh lebih sulit, sementara Para Jaksa yang dipimpin oleh Umar Seno Adji (Direktur Penelitian Pidana di Kejakasaan Agung) mengemukakan, bahwa sejak Revolusi sernakin bertambah besar kewajiban para Jaksa dan menyebabkan para Jaksa sama pentingnya dengan para Hakim Karena selain menjalankan fungsi Jaksa dan sekaligus sebagai Officer Van Justitie, termasuk kewajiban parquet Kolonial Belanda dibidang hukum perdata, misalnya yang berkenan dengan aturan perkawinan dan perwalian berdasar hukum Eropah dan juga rnengawasi fungsi Polisi , baik yang bersifat Represif maupun Preventif .

Ad.2.Tanggung Jawab Hakim.
Persoalan tanggung jawab tergantung pada kekurangan yang mencolok dalam Hukum Acara, kekurangan yang terdapat dalam ketentuan HIR yang menyatakan bahwa : Para Hakim sendiri harus menulis tuduhan formal dari bahan-bahan yang dihimpun oleh Penuntut dalam pemeriksaan penda- huluan
Jaksa Agung Suprapto, mendorong agar Penuntut di Pengadilan untuk mencoba menuliskan rancangan tuduhan, untuk membiasakan, tetapi ia yakin bahwa kebanyakan Penuntut tidak mempunyai pendidikan yang cukup dalam penyusunan tuduhan. Dan bila mereka dipaksa un melakukannya, maka akan terlalu banyak penjahat yang akan bebas sebagai akibat kesalahan dalam prosedur acaranya ; (Para Hakim juga sangat keberatan bila para penjahat memetik keuntungan, dan para Hakim cenderung bersikap kerjasama dengan Penuntut)

Ad.3.Asas Konstitusional.
Dalam dengar pendapat pada Komisi Hukum di Parlemen, Lukman Wiriadinata, anggota komisi dan mantan Menteri Kehakiman memihak kepada Para Hakim, mengemukakan bahwa Konstitusi memberi tempat istimewa bagi Badan Kehakiman dalam Pemerintahan, sehingga bukan siapa yang bekerja paling berat, tetapi karena berdasarkan Konstitusi ;

Dalam Undang Undang Dasar 1945 ;
- Pasal 24 ayat (1) menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain lain badan Kehakiman menurut Undang-Undang ;
- Pasal 24 ayat (2) menyatakan, bahwa Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang;
- Pasal 25 menyatakan, bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan undang-undang ;

Independensi peradilan saat itu tidak diakui. Tidak mengherankan jika UU No. 19 Tahun 1964 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit menempatkan kedudukan lembaga kekuasaan kehakiman sebagai subordinasi Presiden sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden secara legal dapat mengintervensi kekuasaan Hakim dalam memutus perkara. Puncak pelemahan kedudukan kehakiman pada masa Orde Lama terjadi ketika Presiden Soekarno menepatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Kabinet dengan 3 (tiga) pangkat yaitu sebagai Menteri Penasihat Hukum Presiden, merangkap sebagai Menteri/Ketua Mahkarnah Agung dan rnerangkap pula sebagai Menteri Kehakiman.
Setelah orde lama jatuh dan orde baru berkuasa, dilakukanlah berbagai upaya untuk meninjau kembali UU No. 19/1964. Upaya-upaya tersebut kemudian menghasilkan status kepegawaian Hakim yang baru sebagaimana diatur -secara tidak langsung dalarn UU No.14 tahun 1970 dan khususnya dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam UU No. 8 tahun 1974 ditegaskan bahwa status negara dan status hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung adalah PNS .
Meskipun status hakim adalah PNS, sejak awal UU No.14 tahun 1970 menegaskan bahwa hakim adalah jabatan vang berbeda (tidak sepenuhnya sama) dengan PNS lainnya. Ada beberapa pengkususan dalam pembinaan SDM hakim. Pasal 32 UU No.14 tahun 1970 tersebut menyatakan secara tegas bahwa ‘hal-hal vang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan tersendiri. Walau telah ada beberapa pengkhususan bagi jabatan hakim sebagaimana diatur dalam UU peradilan umum, Tata Usaha Negara, Agama , dan peradilan Militer namun pengkhususan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14 tahun 1970 tersebut baru direalisasikan mulai tahun 1994 ;

Undang-Undang No.14 tahun 1970 ;

- Pasal 1. menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ;
- Pasal 2. menyatakan bahwa, Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya ;

4 (empat) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ;

1. Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan ;
2. Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman ;
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman.

Berkenaan dengan uraian diatas, maka kami akan menyampaikan latar belakang makalah sebagai berikut : “ BAGAIMANAKAH KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA DAN BERTANGGUNG JAWAB DAPAT DIWUJUDKAN ? “
Sesungguhnya seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya sama sekali tidak boleh dibayang-bayangi oleh rasa ketakutan, kekhawatiran maupun kebimbangan lahir maupun batin yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan secara psikis rnaupun fisik dari luar maupun dari dalam.
Di Indonesia kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab seringkali diidentikkan dengan kebebasan dari pada kekuasaan eksekutif sebagai akibat pembinaan yang dilakukan dua atap antara Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung yang akhimya dualisme ini diakhiri dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 tahun 1999 di mana yang terpenting menentukan bahwa sesuai pasal 11 yaitu:
Pasal 11
1.Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1 secara organisatoris, administratif dan finansial berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung .
2.Keterntuan mengenai organisasi, adminstrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalarn ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan lJndang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
3.Diantara pasal 11 dan pasal 12 disisipkan satu pasal, yakni pasal berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11.A
1.Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagairnana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini rnulai berlaku.
2.Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) .
3.Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tersebut memang berrnaksud untuk menghilangkan Pengaruh Eksekutif terhadap badan yudikatif, dimana memang terasa sebagai akibat pembinaan/pengaruh badan eksekutif terhadap yudikatif terasa dan terlihat apabila sewaktu-waktu Hakim-Hakim Indonesia dihadapkan kepada penanganan suatu perkara dimana badan eksekutif/jajaran pemerintah mempunyai kepentingan.
Sudah banyak terjadi di mana aparatur Pemerintah sebagai suatu pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi Hakim Indonesia melalui tangan-tangan dari Departemen Kehakiman.
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan negara di bidang kehakiman (yudikatif) yang merdeka dan pengaruh kekuasaan negara yang lain, dengan landasan idiil pertama bertanggungjawab terhadap hati nurani, terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan public accountable. Oleh karena ada prinsip public acccountable disamping bertanggungjawab kepada hati nurani dan Tuhan Yang Esa, maka hakekat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab artinya juga bertanggungjawab kepada publik yang tentunya tidak dapat terlepas dari semangat reformasi dan supremasi hukum.
Dalam penjelasan UUD 1945 dengan tegas menperingatkan bahwa Negara Republik Indonesia bukan negara kekuasaan, tetapi negara hukum. Akan tetapi sebelurn reformasi, yaitu di era masa lalu, dalam paradigma lama kekuasaan sangat menonjol sejak itu mulai bergeser negara hukum menjadi negara kekuasaan, dan hukum ditempatkan semata-mata untuk kepentingan kekuasaan. karena Ekonomi, diterapkannya tanpa diberi dasar politik ekonomi seperti tercantum dalam UUD 1945, akibatnya hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil orang dan tidak lagi diabdikan dan dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Disamping itu perlu merubah sikap mental lama menjadi sikap mental yang baru, yaitu sikap mental Reformasi dengan sikap dasar dan arah yang jelas, seorang Hakim Reformis di jajaran Mahkamah Agung harus memiliki sarana untuk menjunjung tinggi kode etik profesi Hakim. Oleh karena itu IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) sudah menghidupkan kembali Dewan Kehormatan Hakim untuk menjaga Kehormatan Hakim. tetapi bukan saja kode etik Hakim yang harus ditegakkan, namun simultan juga kode etik Advokat, kode etik Jaksa dan kode etik Polisi, serta melakukan sistem peradilan yang terpadu .
Hal mana telah diamanatkan oleh MPR RI dalam Ketetapan MPR No. VIII MPR/.2000, untuk menerapkan asas-asas sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system). Namun demikian sampai sekarang masih terdapat pengkotak-kotakan wewenang antara aparat penegak hukum dalam proses peradilan, sehingga berakibat proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak tercapai, dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan yang mengakibatkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam proses peradilan.
Didasari oleh pemikiran tersebut, maka perlu ada upaya dan langkah-langkah untuk menerapkan asas asas sistem peradilan terpadu guna menghindari egoisme sektoral didalam menjalankan tugas dan wewenang masing-masing penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan). Sikap egoisme sektoral tersebut harus ditinggalkan atau banting stir, menuju sistem peradilan terpadu. Untuk itu, perlu ada sinkronisasi atau semua peraturan perundang-undangan dibidang: Kekuasaan Kehakiman, Kepolisian Negara, Kejaksaan, dan Advokat, maka Rancangan Undang-undang bidang-bidang tersebut kiranya perlu disinkronisasikan dulu sebelum diajukan ke DPR RI untuk menghindarkan dan tumpang tindihnya pelaksanaan tugas masing-masing.

UPAYA-UPAYA MENUJU INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN
Dari paparan aturan-aturan dasar normatif di atas, benang rnerah yang menonjol adalah semangat yang secara eksplisit ada baik dalam Undang IJndang Dasar 1945, Lampiran TAP Nomor IX/MPR/2000 maupun dalam Garis-garis Besar Haluan Negara bahwa negara berdasarkan atas kekuasaan; bahwa haruslah diwujudkan terciptanya lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun; bahwa haruslah terselenggara peradilan yang cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.

Tugas fungsi, wewenang dan tanggungjawab antara lain diatur didalam:
a.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
b.Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
c.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
d.Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Sedangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 menyebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Badan-badan peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang tersebut yaitu:
a.Badan Peradilan Umurn;
b.Badan Peradilan Agama;
c.Badan Peradilan Militer.
d.Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun secara normatif telah terdapat beberapa kemajuan di bidang Perundang-undangan dalam rangka menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab (beberapa amandemen UUD 1945 sehubungan dengan kekuasaan Kehakirnan, perubahan UU Nomor 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, lahirnya banyak Undang-undang baru, antara lain UU Nomor 31/1999 tentang Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU tentang Hak Asasi Manusia dan lain-lain), namun jalan panjang masihlah harus dilalui untuk mencapai suatu kekuasaan Kehakiman yang benar-benar bersih.
Daftar Pusaka :
1.Hukum dan Politik di Indonesia oleh Daniel S Lev , penerbit LP3S Jakarta.
2.Peradilan di Indonesia oleh Mr.R Tresna , penerbit Pradnya Paramita Jakarta 1977.

Dominggus_Silaban_SH_MH.
Ketua_Pengadilan_Negeri_Kayu_Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar