Kamis, 13 November 2014

“Peran Hakim Agung, Metode Berfikir Yuridis dan Konsep Keadilan Dalam Spirit Reformasi“

“ Peran Hakim Agung, Metode Berfikir Yuridis dan
Konsep Keadilan Dalam Spirit Reformasi “

A. Latar Belakang.

Hakim adalah salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan dan dituntut bahwa seorang Hakim haruslah professional, menjunjung tinggi kebenaran jujur, adil, dan bertanggung jawab dalam perilaku keteladanan. Hakim adalah faktor penentu kelancaran penyelesaian perkara, karena hakimlah yang memimpin persidangan. Dalam kaitan ini, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Mengenai masalah SDM (Sumber Daya Manusia) Hakim, sangat ditentukan oleh berlangsungnya etos-etos yang berkembang, baik etos keilmuan, etos kerja, disiplin, dan kebersamaan. Oleh karenanya menurut Pasal 32 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim yang bertanggung jawab dalam proses peradilan (litigasi) memikul tugas yang berat dengan penuh tanggung jawab, berdedikasi, dan memiliki integritas moral yang tinggi. Berdedikasi dan bertanggungjawab berarti memahami apa yang menjadi kewajibannya, yaitu melakukan kekuasaan kehakiman dan wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 31 dan 33 UU No.4 Tahun 2004).
Indonesia yang merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga, dan sebagai suatu negara hukum haruslah menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi. OIeh karena itu, dalam suatu negara hukum selain terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini juga berubah-ubah, bergantung kepada keadaan. Namun, sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subjek hukum yang meniiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum.
Secara teoritis konsepsi Negara hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau “Negara Kemakmuran”. Oleh karena itu, selaras konteks di atas, tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil
dan makmur baik spiritual maupun materiil berdasarkan Pancasila, sehingga “disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri”. Konkretnya, kemandirian tersebut dikaji dan perspektif penerapan konsep dan pola negara hukum pada umumnya sesuai kondisi bangsa Indonesia dengan tolok ukur berupa Pancasila. Oleh karena itu, Negara Indonesia ialah Negara Hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila. Pada dasarnya, konsep negara hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari doktrin rule of law yang menurut AN. Dicey bahwa:
“Rule of Law” terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu:
1. Supremasi hukum atau supremacy of law,
2. Persamaan di depan hukum atau equality before the law dan
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan atau the constitution based on individual rights.
Konsekuensi logis polarisasi pemikiran sebagai negara hukum, terdapat 4 (empat) unsur sebagai eksistensi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Sri Soemantri Martosoewignjo menyebutkan keempat unsur tersebut adalah:
a. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau pera turan perundang-undangan;
b. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
d.Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).
Selanjutnya Bagir Manan menegaskan ciri-ciri minimal dari suatu negara berdasarkan atas hukum, pada asasnya secara substansial berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut, yaitu:
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan;
Bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, menyebutkan:
“Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 .
Sesungguhnya Reformasi di bidang kekuasaan Kehakiman harus didasarkan pada azas transparansi, profesionalisme, imparsialitas (tidak memihak), integritas dan kepastian hukum yang kesemuanya berlandaskan pada moral dan etika. Kekuasaan kehakiman yang mandiri harus pula diimbangi dengan fungsi dan mekanisme “Checks and Balances “ sebagai lembaga pengawasannya, yang merupakan faktor penting untuk mendorong proses reformasi bidang hukum dan keadilan kearah tujuan yang benar. Basis kekuasaan kehakiman yang mandiri, adalah terletak pada paham demokrasi dan paham negara yang berlandaskan atas hukum serta negara yang menghormati konstitusinya beserta hukum dalam implementasinya. Secara sederhana Hakim dapat didefinisikan sebagai seseorang yang karena jabatannya, memiliki fungsi utama untuk memeriksa dan memutus perkara.
Menurut Michael Lavarch, Hakim dalam menjalankan fungsi utamanya tersebut, Hakim dituntut untuk memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, dapat bersikap independen dan tidak memihak, memiliki kemampuan administratif, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, memiliki nalar yang baik, visi yang luas dan sebagainya. Pendeknya, selain masalah kepribadian, Hakim dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keahlian. Karena itu dapat dikatakan bahwa fungsi yang diemban Hakim adalah fungsi yang menitikberatkan pada aspek keahlian individu dan keindependenan.
Masalah keahlian dan keindependensian Hakim semakin penting mengingat dalam membuat putusan, hakim tidak semata-mata mendasarkan diri pada bunyi pasal peraturan
perundang-undangan. Proses membuat putusan merupakan proses pengolahan kemampuan intelektual, penguasaan teknis substantif serta prosedur hukum serta pengetahuan hakim atas nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang di masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam kondisi-kondisi tertentu, hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum, yakni dalam hal adanya suatu permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kehakiman, menyatakan sebagai berikut :
Pasal 28 UU RI No.4 tahun 2004.
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Diharapkan pada praktek dimasa yang akan datang, sudah seharusnya bahwa Pengadilan yang ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan yudisial, perlu membuka diri dan transparan sekalipun memiliki kekuasaan yudisial bebas dan independen. Karena telah banyak tudingan yang selama ini dikemukakan banyak kalangan dan perlu disikapi secara legawa, bahwa keberadaan lembaga peradilan yang memperlihatkan ketertutupan, sehingga terkesan amat rentan/potensial terjadi penyimpangan, sebagaimana tudingan yang mengatakan adanya interaksi antara jaksa-pengacara-panitera-hakim dalam praktek suap di pengadilan. Hal inilah yang memicu dugaan berbagai pihak tentang praktek mafia peradilan yang selama ini bergulir. Seharusnya ada pertanggungjawaban publik jelas yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Demikian pula apabila kita memperhatikan Pasal 31 Undang-Undang No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Melihat program di atas, maka peran profesional Hakim harus ditegakkan dan dipertahankan dengan membebaskan diri dari belenggu ekstra yudisial. Secara sederhana Hakim dapat pula didefinisikan sebagai seseorang yang karena jabatannya, memiliki fungsi utama untuk memeriksa dan memutus perkara.
Menurut Michael Lavarch, Hakim dalam menjalankan fungsi utamanya tersebut, Hakim dituntut untuk memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, dapat bersikap independen dan tidak memihak, memiliki kemampuan administratif, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, memiliki nalar yang baik, visi yang luas dan sebagainya. Pendeknya, selain masalah kepribadian, hakim dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keahlian. Karena itu dapat dikatakan bahwa fungsi yang diemban Hakim adalah fungsi yang menitikberatkan pada aspek keahlian individu dan keindependenan.
Masalah keahlian dan keindependensian Hakim semakin penting mengingat dalam membuat putusan, hakim tidak semata-mata mendasarkan diri pada bunyi pasal peraturan perundang-undangan. Proses membuat putusan merupakan proses pengolahan kemampuan intelektual, penguasaan teknis substantif serta prosedur hukum serta pengetahuan hakim atas nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang di masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam kondisi-kondisi tertentu, hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum, yakni dalam hal adanya suatu permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya pada peraturan perundang-undangan yang ada.
Bahwa unsur yang paling menentukan apakah koordinasi dan kerjasama antara Kepolisian dan Kejaksaan adalah Hakim. Hakimlah yang seharusnya mendapatkan pengetahuan dan kebijaksanaan yang lebih diantara aparat penegak hukum yang lain, karena Hakim secara prinsip merupakan proses terakhir ataupun pintu terakhir yang menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan korupsi atau tidak.

Menurut Fuller, ada delapan nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakannya “delapan prinsip legalitas”, adalah :
1. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer.
2. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak.
3. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6. Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
8.Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek tetapi lebih daripada itu, hukum yang demikian itu adalah sama sekali tak dapat disebut hukum.
Seperti juga Fuller, maka Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-nilai yang intrinsik sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistern nilai-nilai yang intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya (Gestalt visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya intrinsik ada pada hukum.
Sorokin telah pula menggambarkan pandangan dari Masyarakat Modern tentang Hukum itu dengan cukup tajam, yaitu :
“ Hukum buatan manusia, yang sering hanya berupa instrument untuk menundukkan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lain. Tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian : keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat, Norma-normanya bersifat relative, bias dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci. ”
Selanjutnya perlu adanya, tekanan diletakkan pada studi analitikal dari perundang-undangan yang ada dan keputusan-keputusan dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi serta pengadilan-pengadilan administratip. Sistem ini diyakini akan dapat menghasilkan ahli-ahli hukum yang berkemampuan, yaitu ahli-ahli berkemampuan yang menguasai bidang hukum .

B. Pokok Masalah.

Di Indonesia yang sistem hukumnya digolongkan ke dalam “civil law system” peranan Hakim sebagai pembentuk hukum memang tidak begitu besar seperti di negara-negara dengan sistem “common law”. Negara-negara yang mengikuti sistem tersebut terakhir lebih mempercayakan pembentukan hukumnya kepada keputusan-keputusan yang diambil oleh para Hakimnya. Oleh karenanya makna pengaruh sosialisasi para Hakim lebih dapat dirasakan daripada rekan-rekannya yang mengikuti sistem hukum tertulis itu.
Dalam Cetak Biru (Blueprint) Pembaruan Mahkamah Agung RI, menyebutkan bahwa salah satu hal yang sering mendapat sorotan sehubungan dengan penyelenggaraan pengadilan adalah mengenai kelemahan kinerja, kualitas, dan integritas sosok Hakim. Hal ini menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan. Untuk memulihkan kepercayaan tersebut Mahkamah Agung harus melakukan langkah-langkah untuk peningkatan kualitas dan kinerja untuk memperkokoh integritas hakim. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan sistem yang menyeluruh, mulai dari rekrutmen Hakim, pembinaan karir, kesejahteraan, fasilitas yang wajar sampai melakukan pengawasan dan penegakan disiplin bagi hakim yang melakukan penyimpangan.
Isu sentralnya adalah masalah integritas hakim di tengah-tengah goyahnya dunia peradilan. lntegritas adalah masalah moral yang berkaitan dengan kejujuran dan keteladanan. Stephen L . Carter membuat 3 (tiga) kriteria mengenai integritas, yaitu:
1. Sebagai perenungan moral,
2. Teguh dan menepati janji, dan
3. Tidak malu melakukan hal yang benar .

Baharudin Lopa menulis bahwa:
“lntegritas moral tidak dapat’dipisahkan dari budaya malu. Seseorang yang bermoral sesuai dengan ajaran agama Islam tidakakan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, karena malu adalah sebagian dari iman. Mereka tidak melakukan perbuatan tidak terpuji bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini mutlak dimiliki kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya .
Untuk membangun kembali citra lembaga pengadilan, maka menumbuhkan kembali sikap hakim yang jujur, tegas, dan bertanggung jawab tidak dapat ditawar-tawar lagi, meskipun banyak faktor yang mempengaruhinya.
Menurut Bagir Manan ada beberapa faktor yang menggeser perilaku hakim dalam mempertahankan integritas ini, yaitu:
1. Kualitas SDM Hakim,
2. Adanya tekanan eksternal (pemerintah, publik atau pihak yang berperkara),
3. Fasilitas kesejahteraan, dan
4. Sistem pengawasan atau kontrol yang lemah dan tidak efektif.
Mengenai bidang pengawasan, Pasal 11 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan dan sekaligus mengawasi tingkah laku Hakim dalam menjalankan tugasnya disemua lingkungan peradilan .
Satu hal yang penting dalam pengawasan tingkah laku hakim, bahwa sampai saat ini belum ada acuan atau pedoman standar semacam “code of conduct” yang komprehensif dan aplikatif untuk pengawasan perilaku hakim. Masalah ini melibatkan pengawasan, penanganan keluhan masyarakat, dan tindakan yang tegas terhadap mereka yang terbukti melanggar kode etik. Kode etik (profesi) merupakan inti yang melekat pada profesi, Ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Pelanggaran atas kode etik tidak terbatas sebagai masalah internal organisasi, tapi merupakan masalah masyarakat.
Salah satu program pembangunan mengenai Pembenahan Sistem dan Politik Hukum yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 diatas, tercantum beberapa kegiatan yang berkenaan dengan peningkatan kualitas profesi hukum untuk meningkatkan kemampuan profesional aparat penegak hukum dan praktisi hukum untuk terciptanya aparatur penegak ukum yang profesional, berkualitas serta cepat tanggap dalam mengantisipasi berbagai masalah hukum. Program kegiatan yang dikembangkan antara lain:
1. Pengembangan sistem manajemen SDM yang transparan dan profesional,
2. Menyelenggarakan diklat di bidang hukum dan HAM, dan
3. Pengawasan serta konsistensi pada penerapan kode etik profesi hukum.
Melihat program di atas, maka peran profesional hakim harus ditegakkan dan dipertahankan dengan membebaskan diri dari belenggu ekstra yudisial.
Maka secara substansial, yang menjadi pokok masalah dalam penulisan yang berjudul “ Peran Hakim Agung, Metode Berfikir Yuridis dan Konsep Keadilan Dalam Spirit Reformasi “ adalah : “Bagaimanakah Agenda Reformasi Hukum dan Konsep Keadilan yang Harus Dilakukan oleh Seorang Hakim Agung sebagai Pembaharuan Peradilan ? “

C. Pembahasan Masalah.
Sebagaimana gerakan yang mengiringi reformasi hukum adalah peluncuran Rancang Tindak Nasional, yang merupakan sebuah pertemuan puncak pejabat tinggi negara dibidang hukum dan peradilan serta profesi hukum, yaitu dalam Law Summit I yang menyepakati perlunya koordinasi antar penegak hukum dan penyusunan rancang-tindak bersama dibidang hukum dan peradilan yang bersifat operasional dan dapat diukur keberhasilannya, selanjutnya dalam Law Summit II menegaskan perlunya percepatan agenda pembaharuan hukum dan peradilan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU No.25 tahun 2002 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Dalam bahasan berikut akan lebih difokuskan pada :

I. Agenda Reformasi Hukum.
Sebagai agenda Reformasi tentunya kemandirian kekuasaan kehakiman, yang merupakan salah satu ciri negara hukum merupakan hal yang sangat urgent. Kekuasaan kehakiman berasal dari istilah dan terjemahan bahasa Belanda “Rechtspreken demacht” yang artinya hak untuk menyelesaikan sengketa oleh pihak ketiga (yang tidak memihak), yaitu hakim yang secara teknis diberi tugas untuk menerapkan hukum dalam suatu sengketa. Kata tersebut mengacu kepada teori Montesqiue mengenai pemisahan kekuasaan atau “separation of power’’ .
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dengan kebebasan dan kemandiriannya adalah suatu kekuasaan yang diberi wewenang untuk menentukan bagaimana seharusnya ketentuan hukum diterapkan dalam suatu perkara. Jika pernyataan di atas dihubungkan dengan ajaran Montesque dalam Trias Politika Murni, maka kekuasaan yang diberikan tidak hanya berbeda, tapi juga secara institusional harus terpisah satu sama lain dalam menjalankan fungsinya. Kekuasaan kehakiman harus benar-benar bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, yang lazim disebut dengan “the independence of judiciary” sesuai dengan amanat dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Asumsi dasar yang digunakan dalam reformasi bidang ini adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur melalui jalur hukum. Dengan kekuasaan kehakiman yang bebas mandiri akan mampu melakukan kontrol dan mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasan. Dalam kerangka ini, maka reformasi yang dilakukan harus diarahkan pada:
1. Menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai institusi yang independen,
2. Mengembalikan fungsi hakiki dan kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum,
3. Menjalankan fungsi chek and balances dengan institusi negara lainnya,
4. Mendorong, memfasilitasi dan menegakkan prinsip-prinsip hukum yang demokratis, dan
5. Melindungi martabat manusia .
Dengan kebebasan dan kemandirian yang dimilikinya akan mampu menyatakan sah-tidaknya tindakan hukum pemerintah demi perlindungan hak-hak masyarakat, sekaligus melakukan kontrol terhadap jalannya kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dengan kewenangannya menafsirkan hukum dapat membuat suatu putusan yang bersifat membatasi kesewenang-wenangan dan kebijakan pemerintah .
Makna penting dari kekuasaan kehakiman adalah untuk memutus sengketa hukum yang timbul di antara sesama anggota masyarakat, dan anggota masyarakat dengan penguasa. Sedangkan fungsi dan kekuasaan kehakiman adalah untuk memutus perkara dengan menerapkan hukum secara paksa.
Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang menganut faham konstitusional (constitutionalism) atau variannya negara hukum (rechtstaat), dalam proses penegakan hukum, peradilan yang mandiri merupakan salah satu prasyarat terwujudnya penerapan hukum yang benar dan adil. Masih ada syarat lain yaitu “impartiality” atau sikap tidak berpihak dalam menerapkan hukum sebagai dasar untuk memutus suatu perkara. Di samping itu, masalah personal yang meliputi etika moralitas, integritas, dan kapabilitas hakim, yang kesemuanya harus independen dan bebas dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan.
Berdasarkan Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok reformasi Pembangunan yang kemudian dijabarkan dalam Keputusan Presiden No.21 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Kerja Terpadu telah melahirkan UU No. 35 Tahun 1999 merupakan langkah maju untuk terwujudnya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri yang sepenuhnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan konsep “penyatu-atapan lembaga lembaga peradiIan” Pasal 1 sub 1 UU No.35 Tahun 1999 menyebutkan:
“Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”.
Dengan demikian, lahirnya undang-undang baru sepanjang berkaitan dengan lembaga peradilan, misalnya UU No. 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No.9 Tahun 2004 tentang PeradilanTata Usaha Negara, harus menempatkan UU No.35 Tahun 1999 sebagai salah satu konsiderannya.
Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri yang berpuncak pada Makkamah Agung, paling tidak ada 7 (tujuh) prinsip independensi yang kemudian diterjemahkan ke dalam pasal-pasal UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Ketujuh prinsip tersebut adalah:
1. Independensi dan imparsialitas .
Prinsip independensi berarti, peradilan harus bebas dan campur tangan atau intervensi baik secara langsung maupun tidak langsung dan kekuasaan lembaga lain, sedangkan imparsialitas berarti bahwa dalam memutus perkara, hakim tidak membeda-bedakan atas dasar persamaan hak.
2. Kompetensi .
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam memutus perkara, hakim harus memiliki kemampuan yang memadai.
3. Penjaga Konstitusi .
Dengan prinsip ini selayaknya Mahkamah Agung diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang terindikasi adanya pertentangan dengan konstitusi.
4. Akuntabilitas. .
Prinsip ini menghendaki bahwa setiap pelaksanaan kekuasaan harus dapat dipertanggungjawabkan.
5. Partisipasi Masyarakat .
Prinsip ini menghendaki diikutsertakannya masyarakat dalarn hal rekrutmen calon hakim, melakukan pengawasan secara efektif dan memperoleh informasi.
6. Transparansi .
Prinsip ini menghendaki agar setiap putusan perkara bersifat terbuka untuk umum ataupun memudahkan masyarakat memperoleh informasi putusan pengadilan.
7. Mudah Diakses dan Cepat .
Prinsip mudah diakses meliputi kemudahan dan aspek finansial dan dari prosedur, sedangkan prinsip cepat adalah proses yang ditempuh tidak memakan waktu yang lama .

II. Konsep keadilan yang harus dilakukan oleh seorang Hakim Agung sebagai pembaharuan Peradilan.

Sebagai konsep keadilan oleh Hakim Agung dalam upaya pembaharuan peradilan adalah kontrol atau pengawasan eksternal dari masyarakat terhadap jalannya peradilan yang mandiri. Masyarakat dalam hal ini bukan berarti masyarakat umum secara luas, akan tetapi lebih dikhususkan pada masyarakat di luar peradilan yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap penegakan hukum. Ini berarti, peradilan yang mandiri bukan hanya sebatas peradilan yang bebas, tapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (social accountability) yang merupakan perimbangan dari kebebasan dan kemandirian peradilan tersebut. Salah satu bentuk dari social accountability adalah “eksaminasi publik” oleh masyarakat terhadap produk-produk lembaga peradilan melalui kegiatan pemantauan terhadap praktik-praktik yang menyimpang, baik dan sisi formi! maupun materil, yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, akan tetapi memerlukan kajian yang mendalam.
Eksaminasi bukan satu-satunya bentuk pengawasan dan pemantauan terhadap lembaga peradilan, karena masih terdapat bentuk pengawasan lain yang dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal. lstilah eksaminasi atau ”examination “ yang berarti memperhatikan atau memeriksa sesuatu dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian . Eksaminasi lazim pula disebut dengan “legal annotation” yaitu catatan hukum terhadap suatu putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa . Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan melihat perlunya eksaminasi ini, antara lain:
Pertama, kepadaTuhan dan hati nuraninya.
Kedua, perlunya memberdayakan partisipasi publik sebagai kontrol eksternal untuk melihat sejauh mana pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim telah sesuai dengan prinsip-prinsip legal justice, moral justice, dan social justice.
Ketiga, sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu program reformasi hukum dalam Propenas.
Manfaat dan tujuan eksaminasi dapat dilihat dari kebutuhan publik akan perlunya pemantauan terhadap kinerja lembaga peradilan. Mengenai tujuan eksaminasi itu sendiri adalah sebagai berikut:
1. Membuka ruang publik yang akan mengawasi jalannya lembaga peradilan dengan cara melakukan analisis terhadap putusan pertimbangan hukum atas putusan hakim atau dakwaan dan hasilnya dapat dijadikan masukan bagi Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, baik dalam melihat produk hukumnya, maupun melakukan koreksi terhadap hakim dan jaksa.
2. Meningkatkan profesionalisme Hakim dan Jaksa baik dan segi teknis yuridis dalam menerapkan hukum formil dan materil maupun administrasi perkara.
3. Melakukan penelitian dan penilalan terhadap kegiatan Hakim dan jaksa tentang adanya kemungkinan kelemahan yang bersifat teknis yuridis dalam suatu perkara.
Bagi masyarakat awam, menjalankan kontrol sosial bukan hal yang mudah, terutama dalam melakukan penilaian apakah terhadap produk-produk lembaga peradilan telah memenuhi standar profesional mereka.Terlebih lagi kajian terhadap produk peradilan jarang dilakukan. Padahal dengan melihat kualitas penyimpangan di lembaga peradilan dan lemahnya kontrol internal, lebih memungkinkan persoalan-persoalan yang muncul dieliminasi oleh kekuatan kritis dalam masyarakat. Dari sudut pandang inilah maka langkah untuk mengembangkan kegiatan penilaian terhadap putusan peradilan, “Eksaminasi” atau “Legal Annotation” menjadi sangat diperlukan. Dalam konteks eksaminasi, istilah publik merujuk pada kelompok masyarakat yang mempunyai komitmen, konsistensi yang kuat, terlibat langsung dan proaktif dalam mencapai kemaslahatan bersama. Untuk itu ada dua indikator dalam menilai aktivitas eksaminasi yang bersifat publik, yaitu:
1. Representasi masyarakat yang terlibat dan
2. Inisiatif muncul darin dan elemen masyarakat yang sudah teruji.

Dengan demikian, eksaminasi (publik) dapat diasumsikan sebagai kegiatan yang
berpihak pada rasa keadilan hukum masyarakat, sehingga dalam menentukan kasus-kasus yang mendapat prioritas di eksaminasi harus bertitik tolak dari kepentingan publik.
Eksaminasi putusan merupakan suatu pemberian komentar terhadap putusan-putusan hakim mengenai aspek-aspek tertentu yang dilakukan oleh pimpinan pengadilan maupun hakim pengadilan yang lebih tinggi. Pengaturan rnengenai eksaminasi diatur pertama kali dalam Surat Edaran No. 5 Tahun 1966 mengenai Pedoman tentang fungsi-fungsi hierarkis badan-badan Pengadilan/Hakim-hakim dan Tata laksana Administratif Badan-badan Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum (SEMA No. 5 tahun 1966). Eksaminasi dilaksanakan paling tidak setiap 6 (enam) bulan sekali, namun ketentuan ini terlihat belum berjalan dengan sepenuhnya. Pelaksanaan eksaminasi dilakukan secara bertingkat. Putusan hakim pengadilan Negeri dieksaminasi oleh Ketua Pengadilan Tinggi sedangkan eksaminasi terhadap Ketua Pengadilan Negeri dilakukan oleh Pengadilan Tinggi. Kewenangan eksaminasi tertinggi berada pada MA.
Selain itu bagaimana seorang Hakim dapat memberikan suatu putusan yang sungguh-sumgguh memiliki nilai-nilai keadilan yang baik dan benar. Ada pameo yang mengatakan “putusan seorang Hakim adalah mahkota Hakim tersebut’. Pameo tersebut ada benarnya, karena seorang Hakim yang baik tentunya adalah Hakim yang memiliki kemampuan memutus dengan baik. Karena itu, untuk dapat mengukur kinerja Hakim maka putusan Hakim adalah salah satu aspek penting yang harus dinilai. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusannya Hakim harus senantiasa menyadari akan resiko dari sumpah jabatannya yang tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dalam setiap kepala putusan dirumuskan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim hendaknya lebih berwawancara dengan hati nurani sebab membuat suatu putusan, Hakim tidak hanya sekedar mengandalkan ilmu pengetahuannya melainkan dituntut pula untuk melibatkan dirinya secara total sehingga membuat suatu putusan dapat dianggap sebagai suatu pergulatan kemanusiaan. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa mahkota Hakim adalah putusannya dan mahkota putusan adalah pertimbangan hukumnya, sebab dalam pertimbangan hukum itulah terletak kekuatan moralnya suatu putusan Hakim. Karya Hakim adalah karya intelektual dari hati nurani yang memerlukan kearifan, kematangan profesional, keleluasaan pengetahuan serta sikap bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusannya harus memenuhi seluruh fakta hukum disertai pertimbangan hukum yang lengkap
berisi ethos, pathos, filosofis, sosiologis dan logos. Agar Hakim benar-benar memberi putusan yang semata-mata berdasarkan keadilan, kebenaran dan kejujuran maka kekuasaan kehakiman yang merdeka harus diartikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. Aparat penegak hukum termasuk Hakim harus berani melepaskan diri dari pengaruh penguasa dan hanya memihak kepada keadilan, sehingga diharapkan dapat terwujud lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Penguasa wajib tunduk dan menghormati hukum dan tidak menjadikan hukum sebagai sarana untuk mengefektifkan atau memberikan legitimasi pada kekuasaannya.
Kemauan politik untuk menghormati hukum harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

D. Kesimpulan :
1. Terwujudnya supremasi hukum telah menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen ini dituntut secara konsisten dapat diimplementasikan, lebih-lebih di saat bangsa Indonesia berupaya bangkit mengatasi krisis multi dimensional. Di sinilah letak peran hukum mengamankan jalan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. Penegakan hukum harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten. Penegakan hukum yang benar adalah penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, dan penegakan hukum yang adil adalah penegakan hukum yang memberikan perlindungan dan manfaat yang besar bagi setiap orang dan pencari keadilan itu sendiri.
2. Citra hukum suatu masyarakat dapat didekati sebagai sebuah kenyataan (das sein) maupun harapan (das sollen). Sebagai das sein, hukum terlihat dari berbagai perumusan kaidah hukum, penerapan hukum, dan penegakan hukum, sedangkan sebagai das sollen, citra hukum terkandung dalam rumusan tujuan hukum sebagai percerminan cita hukum masyarakat. Idealnya, antara das sein dan das sollen berhimpit dan saling ketergantungan.
3. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum, penyempurnaan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing harus dipercepat peningkatan kemampuannya maupun kewibawaan peradilan disertai upaya untuk membina sikap aparat penegak hukum sebagai pengayom abdi negara dan abdi masyarakat yang memiliki keahlian, jujur, tegas, adil, bersih, dan berwibawa.

Daftar Kepustakaan :
1.Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia Penerbit UI Press, Jakarta 1983 halaman 65.
2.Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,Penerbit Alumni,Bandung 1992 halaman 29.
3.Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjadjaran Bandung 1994, halaman 19.
4.Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH Buku Hukum dan Masyarakat Penerbit Angkasa Bandung halaman 78, dan Buku Hukum Dalam Perspektif Sosial, Penerbit Alumni Bandung halaman 126.
5.Prof.Dr. Satjipto Rahardjo,SH, Buku Ilmu Hukum Penerbit Alumni Bandung halaman 170.
6.Informasi Peraturan Perundang-undangan tentang Undang-Undang Dasar 1945 lengkap dengan perubahannya, diterbitkan oleh Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2003.
7.Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kehakiman.
8.Undang-undang No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Ditulis pada tahun 2009 oleh :
Dominggus Silaban, SH.MH.
Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung Sumsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar