Rabu, 11 November 2009

POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

By Dominggus Silaban,SH.MH
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi

A. Pola Pemidanaan.
Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup "pola pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut "pedoman legislatif" atau "pedoman formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan" adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim ("pedoman yudikatif” / "pedoman aplikatif") Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat.
Memang sudah ada undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses/prosedur penyiapan, pembahasan, teknis penyusunan dan pemberlakuannya. Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang "pemidanaan", setidaknya hal-hal yang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort), kriteria sedikit-lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus) .
Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, mantan Ketua Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan, mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum (substantive justice), tata cara penegakan hukum (procedural justice).
Meski Indonesia belum memiliki "pola pemidanaan" yang berkaitan dengan kriteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus, namun bila menyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan/atau melakukan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana Negara lain, yang sudah mengatur hal itu adalah salah satu solusinya.
Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, delik­delik tertentu yang dapat ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut :



1. delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat;
2. delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) .
Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, belum ada bahan rujukan yang baku, sehingga salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana "minimum khusus di beberapa KUHP negara lain.
Masalah pokoknya di Indonesia adalah bahwa sampai sekarang belum terjawab, sejauhmana kewenangan kebebasan yang dimiliki oleh hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dan itu tidak lain adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetings regelistraftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing) sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas-limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan terren recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Undang-undang memang mewajibkan hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dan perspektif masyarakat, agar dihukumnya para pelaku korupsi sebanyak-banyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil.
Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu :
a. faktor perundang-undangan;
b. faktor aparat/badan penegak hukum; dan
c. faktor kesadaran hukum.
Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi Hukum pidana materiel (hukum pidana substantif), hukum pidana formil meliputi acara pidana maupun hukum pelaksanaan pidana. Untuk faktor perundang-undangan inipun terkait dengan tahapan­tahapan kebijakan formulatif (legislatif), kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekutif). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulasi adalah merupakan penegakan hukum "in abstracto", yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto:' (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi).
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu :
1) tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan
3) tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila pada tahap kebijakan formulatif ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksesnya eksekusi pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana "in abstracto" akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum "in concreto”
Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia penggunaan pidana sebagai bagian dari politik/kebijakan harus sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hanya dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia, dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihannya atau penentuannya. Dari bermacam produk perundang-undangan pidana di Indonesia akhir-akhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum khusus dan pidana minimum khususnya, baik perumusan alternatif, atau kumulatif, atau juga kumulatif-alternatif. Selanjutnya dalam tataran aplikasi, pada delik-delik tertentu sebagaimana didakwakan Penuntut Umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah batas/limit ancaman pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada hal sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tersebut adalah bukan tanpa maksud dan tujuan.
Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga didalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis. Akhirnya banyak timbul wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan aksi dan sikap kritis terhadap "beragamnya" strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana disparity of sentencing diantara delik-delik tertentu tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari Hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan), yang dilatarbelakangi oleh faktor :
a) pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan
b) kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delik­delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta
c) ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.

B. Disparitas Putusan Hakim
Disparitas pidana (disparity of sentencing) maksudnya adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas .
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan "correction administration". Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban "the judicial caprice", akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Tentunya akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Masalah disparitas pidana adalah salah satu subsistem dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana, sehingga disparitas pidana juga menjadi bagian dari masalah pemidanaan, dan dapat dikatakan bahwa disparitas pidana yang bersumber dari hukum positif/peraturan perundang-undangan, antara lain adalah karena belum diaturnya pedoman penjatuhan pidana (statutory guidelines for sentencing atau straftoemetingsheidraad), sedangkan yang bersumber dari Hakim, antara lain karena adanya pemahaman idiologis yang beragam terhadap the philosophy of punishment, setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik atau aliran modern) dan selanjutnya dalam hukum pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (stafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana didalam undang-undang .
Prof. Sudarto, S.H. menyatakan sebagai berikut:
"KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad), yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang¬-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels)" .
Holmes, bekas Hakim Agung Amerika Serikat yang terkenal, pernah memberikan perumusan tentang hakekat hukum yang kemudian menjadi terkenal, yaitu: " hukum itu adalah apa yang menurut perkiraan orang diputuskan oleh pengadilan ". Jadi menurut Holmes, hukum itu adalah bukannya yang tercantum di dalam perundang-undangan, melainkan perkiraan orang mengenai apa yang nantinya akan diucapkan oleh Hakim dalam putusannya. Pendapat Holmes ini berharga untuk diperhatikan dalam rangka pembicaraan mengenai efektifitas peraturan hukum ini. Sebab, apa yang dikemukakan oleh Holmes itu mengandung arti, bahwa ada hubungan antara tafsiran orang mengenai apa yang merupakan hukum dengan keputusan-keputusan Hakim. Sekalipun misalnya perbuatan itu diancam dengan pidana 10 (sepuluh) tahun, akan tetapi Hakim " hanya " menjatuhkan pidana 5 (lima) bulan, maka hal ini akan mampu " membuat hukum baru di dalam pemikiran orang-orang ", bahwa perbuatan atau kejahatan itu sebetulnya pidananya adalah 5 bulan. Mereka akan memperhitungkan, bahwa batas ancaman hukuman pidana 120 (seratus dua puluh) bulan itu pada akhirnya hanya dijatuhi hukuman 5 (lima) bulan saja. Dengan menambahkan masalah konsistensi dalam pelaksanaan hukum tersebut dalam hubungan dengan efektivitas peraturan hukum, maka muncul pula peranan Hakim sebagai salah satu mata rantai yang penting dalam turut membina efektifitas tersebut.
Perihal disparitas pidana yang bersumber dari Hakim, juga pernah dikemukan oleh Roem Dhamdusdi, seorang Hakim senior pada Pengadilan Pidana Thailand, yang mangatakan: " Sebaiknya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan atas tindak pidana yang “serupa” haruslah sama, akan tetapi tampaknya dalam praktik hal ini sukar dilaksanakan, disebabkan masing-masing hakim mempunyai “ide” sendiri dalam penjatuhan pidana".
Loebby Luqman juga mengatakan, bahwa bagaimana " kualitas " putusan Hakim atas suatu perkara yang di¬tanganinya adalah tidak terlepas dari "pribadi" Hakim dan "lingkungan" yang membentuk pribadi Hakim yang bersangkutan.
Lebih jauh Muladi mengatakan, bahwa terhadap delik-delik berkarakter tersebut di atas, utamanya yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan negara, maka hukum pidana harus tampil sebagai premium remidium.
Selanjutnya menurut H. G. De Biint, hukum pidana berperan sebagai premium remidium, apabila:
1. korban sangat besar;
2. terdakwa residivis; dan
3. kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).
Menurut Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana sebagai premium remidium hanya diterapkan pada delik-delik tertentu yang memerlukan cara yang luar biasa untuk mencegah dan mengatasinya.
Menurut Loebby Loqman, tujuan penjatuhan pidana in concrete tersebut adalah untuk norm-handhaving, yakni merealisasikan/menerapkan ancaman hukuman (sanksi pidana) yang ada dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana kaidah hukum, maka suatu putusan pidana, idealnya juga harus memenuhi ketiga¬ macam unsur yaitu, secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Hakim akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum dari perkara yang ditanganinya . Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama, yaitu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pendekatan filosofis, yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis, yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat.
Perihal pentingnya suatu putusan pidana harus memenuhi tiga unsur, yaitu : yuridis, sosiologis, dan filosofis sebagaimana Soerjono Soekamto mengemukakan alasannya sebagai berikut:
1) apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak hidup,
2) apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana pemaksa dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya menjadi tidak realistik.
Menurut Cheang, disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan disini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offence comparable seriousness) tanpa disertai dasar pertimbangan/penalaran yang sahih (valid reason). Selanjutnya Jackson menambahkan, bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua orang atau lebih terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama (co’defendant).
Faktor yang menimbulkan variasi / disparitas putusan pidana, antara lain:
a) Pertama-tama faktor yang mungkin menonjol, adalah masalah kepribadian Hakim, (termasuk di dalamnya adalah masalah mentalitas). Memang perlu diakui, bahwa banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi kepribadian seorang Hakim. Faktor faktor tersebut mungkin merupakan “raw-input”, “instrumental- input” dan “environmental-input”. Kalau masalahnya dibatasi pada “raw-input” saja, maka persoalannya tidaklah sesederhana yang diduga. Agama, suku bangsa, pendidikan informal dan lain- lain faktor mungkin berpengaruh secara terpisah atau secara simultan.
b) Yang kedua adalah masalah lingkungan, yang terutama menyangkut lingkungan sosial. Faktor ini tidak hanya mempengaruhi kepribadian Hakim, akan tetapi juga terhadap penjatuhan hukuman. Dalam arti yang sangat luas, maka lingkungan sosial dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Lingkungan sosial mungkin mencakup faktor politik, ekonomi, dan seterusnya. Seorang Hakim sangat sulit untuk secara sempurna menutup diri terhadap pengaruh faktor-faktor tersebut. Kadang kadang, bahkan faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang sangat dominan di dalam penjatuhan hukuman.
c) Kecuali dari hal yang dijelaskan diatas, maka faktor ketiga adalah unsur-unsur yang berkaitan langsung dengan proses peradilan. Masing-masing unsur mempunyai kepribadian tersendiri dan mungkin ada pengaruh yang kuat dari atasan yang sangat menentukan pelaksanaan peranannya dalam proses peradilan tersebut. Kenyataan tersebut sulit untuk disangkal, dan harus dipertimbangkan secara saksama, oleh karena merupakan salah satu penyebab terjadinya variasi dalam penjatuhan hukuman.
Dalam tahapan aplikasi sedemikian, permasalahan disparitas pidana ini telah menjadi keprihatinan dikalangan para Hakim, setidaknya hal ini pernah mengemuka dalam:
a) Munas VII IKAHI ( Ikatan Hakim Indonesia) di Pandaaan, Jawa Timur tahun 1975;
b) Munas VIII IKAHI di Jakarta tahun 1984.
c) Rapat Kerja Teknis Gabungan tahun 1985 tentang Patokan Pemidanaan (sentencing standard);
d) Simposium terbatas pemidanaan oleh Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1992.
Pada Munas Ikahi ke VII yang berlangsung pada bulan Juli 1975 di Pandaan, Jawa Timur telah diadakan simposium terbatas yang membicarakan soal "penghukuman”, mencari suatu pemikiran yang tidak teoretis, akan tetapi sasarannya adalah suatu hasil yang bisa diterapkan dalam praktek, sedangkan tujuannya adalah agar dapat dicapai "keseragaman pemidanaan terhadap tindak pidana yang sejenis". Hasil dari Lokakarya ini menurut Pengurus Pusat IKAHI akan diserahkan kepada Mahkamah Agung, dengan maksud agar benar¬-benar dapat digunakan oleh para Hakim di seluruh Indonesia dalam tugasnya mengadili perkara-perkara pidana. Masalah pemidanaan adalah merupakan "masalah yang sangat pribadi bagi seorang Hakim" sehingga ditemukan kesulitan untuk menarik garis yang "seragam" antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lainnya mengenai berat-ringannya hukuman, meski hal itu menyangkut suatu perkara yang sejenis. Kendala yang terjadi bukan semata-mata tergantung pada Hakim yang menjatuhkan pidana, akan tetapi juga pada terpidananya yang masing-masing berbeda-beda dalam menerima pidana itu, sehingga dalam menjatuhkan pidana Hakim harus selalu memperhatikan kepribadian, kedudukan sosial, dan lain sebagainya dari terpidana.
Menurut H.Adi Andojo Soetjipto (mantan Hakim Agung), mengatakan dalam hal demikian maka tidak bisa kita berbicara soal "keseragaman" pemidanaan, yang bisa kita pikirkan untuk dibahas dalam Lokakarya ini hanyalah : “bagaimana kita bisa mencarikan jalan bagi para Hakim kita agar dalam menjatuhkan pidana yang bergerak dalam batas minimum dan maksimum ancaman pidana, bisa dicapai suatu "keserasian dalam pertimbangan" (consonant of consideration) yang menghasilkan suatu "kesamaan dalam pemidanaan" (parity in sentence)”. Selanjutnya yang perlu dipahami, bahwa arti kata "sama" adalah berbeda dengan arti kata "seragam". "Keseragaman" pemidanaan cenderung membuat seorang Hakim menjadi tumpul rasa keadilannya dan perannya bisa berubah menjadi seorang "tukang hukum profesional". Sedangkan " kesamaan " pemidanaan masih tetap didasarkan pada pertimbangan yang serasi, dalam arti serasi dengan putusan-putusan terdahulu yang sudah pernah ada, serasi dengan putusan-putusan Hakim lain mengenai tindak pidana yang sama/sejenis, serasi dengan rasa keadilan masyarakat dan serasi pula dengan rasa keadilan si terpidana. Di sini masih ada "kebebasan" yang dimiliki Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan Hakim Pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi (consistency of sentences). Akan tetapi, bukanlah uniformitas mutlak yang dimaksudkan karena dapat bertentangan dengan prinsip kebebasan Hakim, aturan batas maksima dan minima dari hukuman dan bertentangan dengan rasa keadilan maupun " keyakinan Hakim“. Faktor yang diperlukan adalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan pula rasa keadilan si-terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan "checking points". yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikut sertakan ahli-ahli yang disebut "behaviour scientist". Istilah uniformitas pemidanaan dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya diusulkan istilah lain yakni "ketepatan dan keserasian pemidanaan".
Harus diakui bahwa diparitas yang menyolok dalam pemidanaan selain menimbulkan rasa ketidak-puasan di kalangan masyarakat, juga menimbulkan, masalah yang serius dalam administrasi pemasyarakatan. Narapidana yang mendapatkan pemidanaan yang relatif lebih lama dari nara¬pidana yang lain yang melakukan tindak pidana yang sejenis, akan merasa telah diperlakukan tidak adil. Akibatnya dia akan bersikap memusuhi pejabat-pejabat penegak hukum, sehingga sangat menyulitkan bagi rencana pembinaannya oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan.

C. Pemikiran Untuk Mengurangi Terjadinya Disparitas Pemidanaan di Indonesia.

Bertolak dari tujuan pemidanaan yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional kita yang akan datang, masih akan mengalami kesulitan usaha untuk mengurangi timbulnya disparitas pemidanaan, di pengadilan. Misalnya mengenai penggunaan standar pemidanaan yang dibagi menjadi "base term", "mitigated term" dan "aggravated term ".
Kesulitan di Indonesia yaitu untuk menentukan standar pemidanaan itu, misalnya saja untuk tindak pidana "korupsi" berapa standar pemidana¬an yang dirasa "baik" bagi seorang pelaku korupsi yang telah merugikan keuangan negara. Mengingat bahwa tujuan pemidanaan adalah "bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia".
Apakah standar 1 tahun (mitigated term), 4 tahun (base term), dan 7 tahun (aggravated term) dapat dikatakan "baik"? Artinya "baik" ini adalah dalam hubungannya dengan apakah sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan, apakah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, apakah sesuai dengan ke¬bebasan Hakim dan apakah sesuai dengan Pancasila, Undang¬undang Dasar 1945, GBHN dan dapat menunjang pembangunan bangsa di segala bidang ?
Untuk mengatasi disparitas yang menyolok ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, dalam bukunya yang berjudul "Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana" menguraikan beberapa tehnik untuk mengurangi disparitas tersebut, yaitu antara lain:
1. dengan menggunakan data-data pemidanaan,
2. dengan menggunakan "Checking List" atau "tabel pemidanaan",
3. dengan menggunakan "prediction table" atau "tabel peramal" ataupun
4. dengan menggunakan "patokan pidana".
Tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan terdakwa yang harus seragam dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa lain yang melakukan kejahatan yang sejenis dengan ihwal yang sama. Perundang-undangan selanjutnya juga berpendapat dan menyatakan bahwa untuk menghilangkan disparitas dan memberikan keseragaman dalam penghukuman dapat dicapai dengan cara menetapkannya dalam undang-undang jumlah hukuman yang pasti/fixed, yang harus diterapkan oleh pengadilan sesuai dengan beratnya kejahatan yang ditetapkan dalam undang-undang itu pula. Maka oleh karena itu Ketua Pengadilan dalam menentukan standar pemidanaan itu tidak dapat melakukannya sepihak saja. Pertama-tama dia harus mengumpulkan data-data mengenai hukuman yang pemah dijatuhkan untuk satu jenis tindak pidana itu yang pernah dijatuhkan oleh Hakim-Hakim dalam wilayah hukumnya dalam jangka ("kurun") waktu tertentu. Kemudian data-data yang sudah terkumpul itu diajukan dalam suatu rapat majelis dengan seluruh Hakim-Hakim dalam wilayah hukum pengadilan itu. Dalam rapat majelis itu harus satu persatu Hakim tersebut didengar pendapatnya me¬ngenai segi-segi yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan, rasa keadilan, dan sebagainya yang kesemuanya harus di "uji "kan terhadap data-data yang sudah dikumpulkan tadi. Kalau sudah dapat dicapai kata sepakat mengenai standar pemidanaan itu, maka standar pemidanaan yang akan ditetapkan oleh Ketua Peng¬adilan tersebut merupakan keputusan bersama antara seluruh Hakim-Hakim dalam wilayah hukum pengadilan tersebut. Di sini berarti bahwa apa yang dinamakan kebebasan Hakim itu, apabila standard pemidanaan sudah menjadi keputusan, menjadi agak sedikit dibatasi, dalam arti Hakim itu hanya dapat bergerak di antara mitigated term, base term dan aggravated term saja. Kebebasan Hakim yang sebenarnya adalah pada waktu masing-masing Hakim itu mengutarakan pendapat serta rasa keadilannya dalam rapat majelis ketika membicarakan penetapan standar pemidanaan ber¬dasarkan data-data hukuman yang sudah dikumpulkan di atas.
Mengingat sangat kompleksnya segi-segi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan standar pemidanaan ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja berpendapat, sebagai langkah pertama kita terpaksa harus mulai per- Pengadilan Negeri dahulu. Apabila standar pe¬midanaan yang ditetapkan di masing-masing pengadilan negeri tersebut sudah berjalan beberapa tahun, baru kita bisa menetap-kan standar pemidanaan untuk satu wilayah pengadilan tinggi. Apabila standar pemidanaan itu sudah mulai dapat ditetapkan per-Pengadilan Tinggi, di sinilah sistem yang dipergunakan di Jepang dapat diikuti dalam rangka menetapkan standar pemidanaan untuk seluruh Indonesia. Yakni melaksanakan mutasi Hakim secara teratur dan secara tepat, sehingga pengalaman-¬pengalaman di tempat-tempat yang lama dapat di terapkan di tempat-tempat yang baru (khusus mengenai penghukuman ini), mengadakan latihan-latihan bagi para Hakim, dan sebagainya. Untuk menetapkan alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman, tentunya tidak sesulit pada waktu ia harus menetapkan standar pemidanaan. Oleh karena itu untuk menetapkan alasan-alasan ini tidak perlu ditempuh cara-cara seperti pada waktu akan menetapkan standar pemidanaan tersebut, akan tetapi dapat ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Penegakan hukum menurut Hikmahanto Juwana, merupakan faktor penting dalam kehidupan hukum Indonesia, tanpa penegakan hukum yang kuat, hukum tidak akan dipersepsikan sebagai ada oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak dapat bahwa tanpa penegakan hukum yang kuat, maka hukum tidak akan dapat menjalankan fungsi yang diharapkan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan ekonomi tanpa penegakan hukum dan institusinya tidak akan dapat menjamin pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

D. Sistem Pidana Minimum Khusus
Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Ini berarti, pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus.
Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka tampak hal-hal berikut:
1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan tahun dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran miliaran rupiah.
2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum, pidana kurungan minimum khusus, dan pidana denda minimum. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan, bahwa delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualijizierte delikte).
3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.
4. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus, adalah bersumber pada belum adanya "pola pemidanaan" yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya berpotensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi.
Apabila ketika faktor-faktor yang memperingan pidana demikian dominan, maka kepada Hakim juga dituntut untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan. Namun demikian yang dapat menimbulkan permasalahan adalah seberapa jauh memberi peluang kebebasan kepada Hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing-sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang juga "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas-limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis.
Sebagaimana menurut rencana dalam KUHP Nasional yang akan datang juga akan ada ketentuan yang mengatur soal "straftoemetingsregel" yang memuat hal-hal yang memperingan dan memperberat pidana. Penetapan mengenai alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman ini adalah sangat penting dalam rangka keserasian dalam pertimbangan putus¬an Hakim. Dengan berpedoman pada penetapan ini maka antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lain dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana yang dijatuhkan akan terdapat keserasian, sehingga pidana yang akan dijatuhkannya pun akan sama satu sama lain. Demikian artikel ini tunggu artikel berikutnya.

2 komentar: