Keberadaan
Advokat Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU)
Oleh
:
DOMINGGUS SILABAN, SH.MH., Hakim Pengadilan
Negeri Medan.
Pendahuluan
Advokat merupakan salah satu unsur lembaga / pranata yang turut berperan penting
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), hal mana disebabkan undang-undang ini telah
memberikan kewenangan secara khusus (keistimewaan) kepada lembaga Advokat. Secara jelas dan tegas Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
telah mengatur peran dan keberadaan Advokat, walaupun sebaliknya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013 Tentang Advokat, tidak terdapat sesuatu hal yang menjadi kontribusi atas Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) melalui aturan dalam pasal-pasalnya .
Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan Advokat, dalam tatanan hukum
Indonesia semakin dibutuhkan, tidak hanya untuk melakukan pembelaan diri
terdakwa dalam sebuah perkara pidana, tetapi juga dapat berperan sebagai Kuasa
Hukum bagi para pihak (Penggugat / Tergugat) dalam perkara perdata, dan
ternyata peran sedemikian juga telah memasuki ranah didalam perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) .
Adapun pengaturan hukum
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai pintu
masuk kedalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), adalah sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan :
“Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini“.
Adapun jasa hukum dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1)
diatas adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, yang dilakukan dengan
iktikad baik untuk menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan
hukum untuk membela kepentingan kliennya, dalam setiap tingkat pengadilan di
semua lingkungan peradilan.
Sementara itu secara tegas juga diatur dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan :
“
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal
207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat “.
Dalam prakteknya, Advokat juga dapat bertindak sebagai Kurator dan atau
Pengurus, sepanjang Advokat dimaksud telah memenuhi ketentuan Pasal
2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01-HT.05.10 Tahun 2005
tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus (Permenhukham) [1];
Permasalahan.
Dalam setiap makalah pada umumnya, demikian juga halnya pada makalah
ini, tentunya terdapat permasalahan yang akan dilakukan pembahasan secara
detail, sehingga atas jawaban permasalahan dapat dilakukan sebagai suatu hasil
kajian ilmiah, dan sedapat mungkin dapat bermanfaat bagi berbagai kalangan baik
akademis maupun dalam praktisi serta masyarakat luas pada umumnya .
Adapun permasalahan yang akan dilakukan pembahasannya dalam
makalah ini adalah :
“ Sejauhmana penggunaan jasa Advokat, sebagai suatu keharusan
(mutlak) pada setiap berlangsungnya proses hukum Kepailitan dan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, dan bagaimana
pengaturan hukum atas Advokat dimaksud ? “
Hal ini menjadi sebuah permasalahan, karena undang-undang Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU), hanya memberikan batasan hukum bahwa
pengajuan permohonan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) harus
diajukan oleh seorang Advokat. Sehingga untuk menjawab permasalahan diatas,
penulis menggunakan penelitian melalui
bahan-bahan kepustakaan, meliputi aturan-aturan hukum dan referensi buku-buku
yang terkait (data sekunder).
Pembahasan .
I.
Pengertian
umum Advokat, Kepailitan, dan Upaya
Hukum.
A.
Pengertian
Advokat
Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan
fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan
tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Untuk mewakili
kepentingan klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat
harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik
profesi. Dalam kode etik Advokat terdapat adanya ketentuan, bahwa advokat boleh
menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya,
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan
kepada klien. Disisi lain, advokat juga memiliki peran dalam proses kepailitan
dalam kaitannya dengan debitor, maupun perseroan terbatas diantaranya adalah
peran kebebasan, dimana kebebasan tersebut dimaksudkan agar advokat dapat
bertindak luwes dalam menjalankan tugas.
Apabila
dalam perkara pidana, sesuai dengan KUHAP advokat yang menerima kuasa
kedudukannya sebagai penasehat hukum terdakwa, sementara dalam perkara perdata
kedudukannya menurut HIR/R.Bg. sebagai kuasa hukum.
Oleh
karena itu dalam membela perkara pidana di tingkat penyidikan sebagai penasehat
hukum, dapatlah bersikap aktif ketika mendampingi terdakwa di sidang
pengadilan, selanjutnya di persidangan dalam membela hak-hak terdakwa dapat
mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan, mengajukan pertanyaan terhadap
para saksi, mengajukan saksi yang menguntungkan terdakwa (a de charge), dan
mengajukan pembelaan. Berbeda halnya dalam persidangan perkara perdata sebagai
kuasa hukum, seorang advokat baik mewakili penggugat atau tergugat bersikap
aktif, karena pihak berperkara dapat tidak menghadiri sidang, sehingga aktif
mulai menyusun surat gugatan, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan.
B. Pengertian
Kepailitan.
Mengenai kepailitan atau pailit dalam kamus besar bahasa
Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut, sedangkan dalam kamus hukum ekonomi
menyebutkan bahwa, liquidation atau likuidasi adalah pembubaran perusahaan
diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan
utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah “bangkrut”
manakala perusahaan tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas,
sedangkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak memberikan
definisi oleh Undang-Undang Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan
mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Undang-Undang
Kepailitan dapat diketahui bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal
debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan
dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan
kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 Undang-Undang
Kepailitan Jo. Pasal 228 ayat [5] Undang-Undang Kepailitan).
Permohonan kepailitan dapat diajukan oleh kreditor
atau dapat juga diajukan debitor, dan syarat
yang harus di penuhi seperti yang tertera pada Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor
37 Tahun 2004, yaitu :
-
Pertama,
adanya dua atau lebih kreditor.
-
Kedua,
debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih.
Oleh karena itu secara hukum, maupun prakteknya syarat
pengajuan permohonan pailit yang harus dipenuhi oleh pemohon kepailitan, yaitu pertama syarat administratif,
dan kedua syarat substantif
[2] .
1. Syarat
Administratif, adalah menyangkut kelengkapan berkas permohanan pailit sebelum
berkas diterima dan diberi nomor oleh kepaniteraan pengadilan niaga, sehingga
apabila kepailitan diajukan oleh Debitor sebagai orang perseorangan, badan
hukum perseroan, badan hukum sosial (yayasan perkumpulan), berkasnya terdiri
atas:
1) Surat
permohonan pailit bermaterai yang ditandatangani oleh advokat sebagai kuasa
hukum debitor.
2) Fotocopy
kartu/izin advokat yang dilegalisir.
3) Surat
kuasa khusus.
4) Fotocopy
Kartu Tanda Penduduk pemohon, Surat tanda daftar perusahaan yang dilegalisir,
keputusan Rapat Pengurus yang menyetujui pengajukan permohonan pailit.
5) Surat
persetujuan suami/istri, akta keputusan rapat umum pemegang saham terakhir,
akta pendirian atau perubahan anggaran dasar yang dibuat oleh notaris.
6) Daftar
Harta kekayaan.
7) Neraca
pembukuan terhadap perusahaan.
8) Nama
dan alamat Kreditor.
9) Fotocopy
surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
2.
Syarat substantif, yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan yaitu:
a. Ada
utang.
b. Utang
telah jatuh tempo.
c. Ada
dua atau lebih kreditor, dan
d. Debitor
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (PKPU)
menyatakan:
“
Debitor yang mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih Kreditornya “.
Demikian pula halnya menurut ketentuan Pasal 222
Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (PKPU) yang menyatakan :
“
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih
dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor “.
C. Upaya Hukum.
C.1.
Upaya Hukum Terhadap Perkara Pailit.
Terhadap putusan pengadilan niaga yang menyatakan
pailit, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah langsung kasasi, tanpa melalui
banding, sedangkan terhadap putusan pailit yang memperoleh kekuatan hukum
tetap, dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
Upaya
hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung “.
Pasal
14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
Terhadap
putusan atas permohonan pernyataan
pailit yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Pasal
295 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
1. Terhadap
putusan atas permohonan pernyataan
pailit yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
2. Permohonan
peninjauan kembali dapat diajukan, apabila :
a. Setelah
perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu
perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, atau
b. Dalam
putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
C.2. Upaya Hukum Terhadap Perkara
PKPU.
Terhadap putusan PKPU, tidak ada upaya hukum yang
dapat diajukan, kecuali kasasi oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum
sebagaimana diatur dalam:
Pasal
293 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 :
1. Terhadap
putusan pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya
hukum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
2. Upaya
hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung, demi kepentingan hukum
Dalam prakteknya, pada proses pemeriksaan perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), ada dikenal upaya hukum, yang antara lain :
1.
Dalam hal Kepailitan.
a .Gugatan lain-lain, antara lain :
a.1 Actio pauliana
a.2 Perlawanan pihak ketiga terhadap
pernyataan pailit.
a.3 Gugatan terhadap harta pailit oleh
pihak ketiga.
a.4 Gugatan kurator terhadap direksi
yang menyebabkan suatu perseroan pailit.
b. Keberatan lain-lain, antara lain
:
b.1 Perlawanan
Terhadap Daftar Pembagian (Pasal 193 (1) UUK-PKPU).
b.2 Keberatan
untuk penggantian kurator/pengurus.
b.3 Keberatan
atas penetapan besarnya fee kurator.
(point b.2 dan b.3
tidak dapat diajukan upaya hukum).
2.
Dalam
hal Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
- Pengesahan Perdamaian dalam PKPU (Pasal 285.4).
- Pembatalan Perjanjian Perdamaian dalam PKPU Pasal 291 jo Pasal 170,
Pasal 171.
- Pengakhiran PKPU Pasal 255 jo Pasal 256.
b.
Putusan Dalam Proses PKPU
Yang Tidak Dapat Diajukan Upaya Hukum :
- Putusan PKPU Sementara Pasal 235.
- Putusan Debitor dinyatakan pailit dalam hal, tidak diajukan
rencana perdamaian dalam PKPU Sementara.
- Putusan PKPU Tetap.
- Perpanjangan PKPU Tetap, tidak disetujui Kreditor.
- Debitor dinyatakan pailit dalam hal, Rencana Perdamaian diajukan
akan tetapi tidak disetujui Kreditor.
- Putusan Penolakan Pengesahan Perdamaian dalam PKPU Pasal 285 (4).
II. Korelasi peran atau keberadaan
Advokat dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU).
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, secara tegas diatur peran dan
keberadaan Advokat, yaitu :
1. Pasal 7 ayat (1) menyatakan :
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal
207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.
2. Pasal 127 ayat (2) menyatakan :
Advokat yang mewakili para pihak harus Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7.
3. Pasal 128 ayat (2) menyatakan :
Debitor dapat mengambil alih perkara yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai pengganti Kurator berdasarkan surat-surat perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan diwakili oleh seorang Advokat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga telah mengatur
tentang peran dan keberadaan Kuasa, yaitu :
1. Pasal 123 menyatakan : Dalam rapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, Kreditor dapat menghadap sendiri atau
mewakilkan kepada Kuasanya.
2. Pasal 125 ayat (1) menyatakan :
Pengucapan sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dan ayat (4)
wajib dilakukan oleh Kreditor sendiri atau wakilnya yang khusus dikuasakan
untuk itu, baik pada rapat termaksud, maupun pada hari lain yang telah
ditentukan oleh Hakim Pengawas.
3. Pasal 228 ayat (1) menyatakan : Pada
hari siding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1), Pengadilan harus
mendengar Debitor, Hakim Pengawas,
Pengurus, dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk
berdasarkan surat kuasa.
4. Pasal 269 ayat (3) menyatakan : Kreditor dapat menghadap sendiri atau diwakili
oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa.
Mencermati keberadaan pasal-pasal diatas, yang tidak
secara tegas mengatur batasan atau kapasitas “ Kuasa “ yang ditunjuk sebagai mewakili Kreditor, dalam
arti bisa saja Advokat atau boleh juga siapa saja yang dipercaya oleh Kreditor
sebagai Kuasanya (dalam praktek disebut sebagai Kuasa insidentil atas ijin
Ketua Pengadilan).
Tentunya sangat menarik untuk dibahas, oleh karena
dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
terdapat upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali (sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 UUK-PKPU), sebab dalam perkara-perkara
kepailitan dan PKPU dapat dan sangat berpotensi untuk diajukan upaya
hukum.
Dalam
kondisi perkara kepailitan diajukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali, sementara
dalam Pasal 7 UUK-PKPU yang meliputi Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 UUK-PKPU yang
mensyaratkan bahwa upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali haruslah diajukan
oleh seorang Advokat, tentunya keberadaan Kuasa Kreditor yang semula telah menunjuk
Kuasa insidentil atas ijin Ketua Pengadilan, sebagai “ Kuasa “ menjadi tidak
berlaku atau tidak bermanfaat, karena secara hukum pengajuan upaya hukum
dimaksud haruslah diajukan oleh seorang Advokat. Kondisi ini, tentunya akan
merugikan pihak berperkara karena harus mencari Advokat dengan segera mungkin,
mengingat tenggang waktu dalam mengajukan upaya hukum mempunyai jangka waktu
yang terbatas, dan dampak berdampak gagal untuk mengajukan upaya hukum.
Disisi lainnya, yang tidak kalah
penting dibahas adalah keberadaan Advokat didalam proses hukum Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga, haruslah mempunyai
tujuan dapat mewujudkan pencapaian kinerja secara
maksimal. Tentunya semua elemen yang
terlibat dalam penyelesaian Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) di persidangan Pengadilan
Niaga, baik itu Hakim Pemutus, Hakim Pengawas, Kurator / Pengurus, Advokat,
Kreditor maupun Debitor harus memiliki pemahaman yang saling bersinergi. Adapun
beberapa faktor yang perlu dipahami dalam pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang :
- Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam
waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.
- Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa
memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
- Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.
Misalnya,
Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang
Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan
curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Selain itu,
diharapkan juga agar seluruh elemen yang terlibat diatas, harus memahami Hukum
Acara untuk Pengadilan Niaga, antara lain :
- Pasal
299 UUK. Kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini maka hukum acara yang
berlaku adalah Hukum Acara Perdata
- Pasal
112 RV jo Pasal 115 RV. Pemeriksaan perkara dengan acara pembacaan gugatan,
jawaban jawaban kembali (replik) dan tanggapan jawaban kembali (duplik).
- Perkara
permohonan, pemohon wajib membuktikan permohonannya dan tidak mengenal acara
jawaban, replik, duplik maupun kesimpulan.
- Hukum
acara perkara permohonan pernyataan pailit tidak mengenal acara eksepsi, Konpensi,
Rekonpensi, Intervensi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan.
- Amar
putusan perkara permohonan pernyataan pailit bersifat declaration dan bukan constitutif
maupun condemnatoir, juga tidak mengenal “ asas ne bis in idem “.
Harapan diatas tentu tidak dengan serta-merta
dapat dengan mudah untuk diwujudkan, untuk itu sebaiknya bagi Advokat yang
ditunjuk untuk menangani perkara-perkara Kepailitan dan PKPU, dituntut adanya pemilikan
sertifikat dengan keahlian secara khusus dibidang hukum niaga yang diterbitkan melalui sebuah lembaga pendidikan
dan pelatihan yang telah mendapat pengakuan / akreditasi oleh pemerintah /
negara.
III.
Kesimpulan dan Saran.
A.
Kesimpulan.
1. Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU harus
menegaskan bahwa dalam hal bertindak mewakili para pihak (Kreditor atau Debior)
dalam penyelesaian perkara niaga adalah Advokat yang memiliki sertifikat hukum
niaga.
2. Advokat sebagai lembaga penegak hukum, harus memiliki kinerja yang
maksimal dan bersinergi dengan elemen hukum lainnya, khususnya dalam proses
persidangan di Pengadilan Niaga.
B.
Saran-saran.
1. Lembaga Advokat, sebaiknya mengadakan pendidikan dan pelatihan
yang dilakukan secara berjenjang dan berkelanjutan bagi para Advokat, untuk
mendapatkan Sertifikat Hukum Niaga.
2. Lembaga Advokat, harus dapat bertindak tegas terhadap Advokat yang
melakukan pelanggaran Etika Profesi, baik dalam menjalankan profesi dalam
proses hukum di persidangan maupun terhadap klien.
Daftar
Pustaka :
1. Hukum Kepailitan Indonesia, penerbit PT.Tatanusa Jakarta Indonesia 2012,
Dr.Syamsudin Manan Sinaga, SH.MH.
2. Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Advokat.
4. Materi
Pelatihan Hakim Niaga : Upaya Hukum Dan Perkembangan Putusan Mahkamah Agung
Tentang Kepailitan dan PKPU oleh : Rahmi Mulyati, SH., MH. Hakim
Tinggi/Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung RI.
[1] Hukum Kepailitan Indonesia,
penerbit PT.Tatanusa Jakarta Indonesia 2012, Dr.Syamsudin Manan Sinaga, SH.MH.
halaman 361.
[2] ibid halaman 86.
[3]
Materi
Pelatihan Hakim Niaga : Upaya Hukum Dan Perkembangan Putusan Mahkamah Agung
Tentang Kepailitan dan PKPU oleh : Rahmi Mulyati, SH., MH.
Hakim Tinggi/Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung RI.