“Advokat
Sangat Rentan Dengan Tindak Pidana Suap,
Didalam Menjalankan Profesinya
“
oleh : DOMINGGUS SILABAN,
SH.MH
Ketua Pengadilan Negeri Kayu
Agung.
A.
Latar Belakang .
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, dengan demikian advokat telah dimasukkan secara
resmi berstatus sebagai penegak hukum (Pasal
5 ayat 1). Sistem Hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan
didepan hukum (equality before the law). Sehingga hak untuk didampingi
Advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam system hukum Indonesia.
Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat dengan prinsip-prinsip hukum
yaitu equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin
keadilan bagi semua orang (justice for all).
Bagi para advokat, hal pertama yang
harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa profesi ini bersumber dari perasaan
kemanusiaan yang mendambakan keadilan. Dikarenakan oleh itu landasan
kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi seorang advokat dalam
menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan hukum lahir dari
panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat itu, para
dermawan terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya. Diperjuangkannya
nasib kaum buta hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut haknya dalam
peradilan. Sejak itu pula, konsep bantuan hukum tersebut berkembang hingga saat
ini.
Peran Advokat memiliki arti penting
dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak saksi, tersangka maupun terdakwa.
Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi terdakwa dalam menghadapi tekanan
penegak hukum yang lain terhadap terdakwa. Posisi terdakwa yang berhadapan
langsung dengan unsur negara (dalam hal ini diwakili oleh polisi dan kejaksaan)
sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan baik dalam pemeriksaan maupun
dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang antara terdakwa dan negara (dapat
diibaratkan seperti David dan Goliath) menyebabkan muncul pemikiran untuk
memberikan kepada terdakwa hak-hak antara lain: hak untuk tidak menjawab, hak
untuk didampingi advokat dan lain-lain.
Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi
abuse of power yang dilakukan oleh penegak hukum yang memegang kuasa
jika abuse of power dibarengi dengan judicial corruption maka
dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi terdakwa ataupun saksi di
dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang dituduh bersalah
dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu tentang kasus
korupsi ataupun bawahan dari rantai korupsi yang ada, ataupun adapula kejadian orang
yang melaporkan kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang dilaporkan. Oleh
sebab itu adanya pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada para
saksi, terdakwa atau terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam proses
penegakan hukum. Walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan secara luar
biasa akan tetapi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip due process of law dan
presumption of innocent. Namun pada saat ini, sangat disayangkan
terdapat beberapa kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut serta dalam
perbuatan korupsi seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para
advokat dapat membuat aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para
advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi, perbuatan Korupsi dimaksud
adalah perbuatan “Suap “ .
Perbuatan “ Suap “ itu secara universal dianggap memalukan, dan tak ada satu
negeripun di dunia ini yang tidak memperlakukan suap sebagai tindak kejahatan
dalam buku undang-undangnya. Dan tak ada negara satupun dimana orang-orang yang
menerima suap berbicara terbuka mengenai soal penyuapan mereka, atau dimana
pemberi suap mengumumkan uang suap yang mereka bayar. Tak ada media yang
mendata mereka, dan tak ada satupun yang mengiklankan bahwa ia dapat mengatur
sebuah drama penyuapan. Tak ada satu pun orang yang dihormati karena dia
seorang penyuap besar atau seorang yang menerima banyak suap.
Bukan sekedar hukum pidana, sebab
transaksi itu telah terjadi sejak dahulu kala, dan waktu menyebabkannya tak
mungkin dituntut ke Pengadilan , melainkan suatu rasa takut bawaan karena
dianggap menjijikkan akan menghambat si penyuap dan si penerima suap untuk
mengumumkan transaksi mereka.
Ironisnya, seringkali orang Eropah
dengan prasangka etnosentrismenya menuduh bahwa sebuah masyarakat modern Asia
atau Afrika tidak menganggap tindak penyuapan itu memalukan seperti anggapan
orang Eropah.
Rasa malu dan kemunafikan dalam
menggunakan bahasa merupakan ujian kejahatan terhadap keutamaan. Rasa malu
barangkali terkondisi secara budaya. Rasa malu yang sedemikian kuat dan
sedemikian universal itu merupakan pengakuan bahwa ada sesuatu yang pantas
dijauhi dalam tingkah laku yang melampaui rasa sekedar tidak sopan dan sekadar
tidak legal. Rasa malu tidak secara meyakinkan menentukan, melainkan menunjuk pada
segi moral masalah tersebut ;
Berdasarkan hal tersebut maka penulis
tertarik untuk melakukan pembahasan makalah dengan topik “Advokat Sangat Rentan Dengan
Tindak Pidana Suap, Didalam Menjalankan Profesinya “
B. Identifikasi Masalah.
Dengan topik permasalahan yang dihubungkan
dengan hal-hal yang sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa perlu
untuk memperhatikan dan sangat penting untuk melakukan pembahasan tentang hal
sebagai berikut :
1.
Bagaimana
pengaturan jasa seorang Advokat didalam
melaksanakan tugas profesinya diatur
secara hukum ?
2.
Bagaimanakah
pengaturannya, untuk mengantisipasi
terhadap seorang Koruptor yang dihukum membayar uang pengganti, namun
kekayaannya telah habis atau tidak cukup disebabkan kekayaannya telah dipakai
untuk membayar jasa Advokat ;
C.
Kerangka Pemikiran.
Bahwa Advokat tidak masuk pada
pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka jelas tidak mungkin
dapat didakwakan dan dipidana menerima gratifikasi dalam hal menerima
suap dan penyuap Pasal 6 ayat (1).
Berbeda dengan hakim, karena hakim
menurut hukum pidana korupsi, adalah seorang pegawai negeri yang sekaligus
sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 UU No. 28/1999). Maka
hakim dapat melakukan korupsi menerima gratifikasi Pasal 12B dalam hal menerima
sesuatu dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Hakim yang menerima suap dari penyuap
Pasal 6 ayat (1) huruf a dipastikan bahwa sesuatu yang diterimanya itu adalah
untuk mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkan sebagaimana dikehendaki oleh
ayat (1) huruf a. Hakim yang menerima sesuatu, misalnya uang Rp 100 juta,
dipastikan uang itu ada hubungannya dengan mempengaruhi putusan yang hendak
dijatuhkannya. Hubungan dengan putusan yang hendak dijatuhkan adalah merupakan
bagian dari unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya” dalam Pasal 12B ayat (1).
Sebagaimana ketentuan hukum yang
diuraikan dibawah ini :
Pasal
14 UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas mengeluarkan
pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya
didalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan .
Pasal 15 UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas dalam
menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan .
Pasal 16 UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya
dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 1 ayat (2) UU No.18 tahun 2004
tentang Advokat.
Jasa Hukum adalah jasa
yang diberikan Advokat berupa memberikan :
-
Konsultasi
Hukum, Bantuan Hukum,
-
Menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
-
dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Namun demikian dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi, seorang Advokat juga dapat dikenakan tindak pidana
Korupsi sebagaimana hal tersebut diatur mengenai perbuatan Advokat Menerima Hadiah atau Janji
(Pasal 12 huruf d) ;
Pasal 12 huruf d merumuskan sebagai
berikut :
Seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Advokat untuk
menghadiri sidang Pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada Pengadilan untuk diadili;
Korupsi Advokat menerima suap yang
dimuat pada Pasal 12 huruf d tersebut, yang dioper dari Pasal 420 ayat (1) sub
2 KUHP dengan perubahan seperlunya.
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka
tampak unsur-unsurnya sebagai beikut :
Unsur-unsur
Objektif :
a).
Pembuatnya :
Advokat yang menghadiri sidang di Pengadilan.
b). Perbuatannya :
1). menerima (hadiah) ;
2). menerima (janji) ;
c). Objeknya : 1). hadiah ; atau
2).
janji ;
Unsur
Subjektif :
d). (1) diketahui atau (2) patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
Pengadilan untuk diadili ;
Unsur kesalahan korupsi suap dalam
pasal 12 huruf d, yang terdiri dari 2 (dua) macam, ialah :
-
Kesalahan
bentuk kesengajaan dalam hal pengetahuan, dan
-
Kesalahan
dalam bentuk culpa atau kealpaan yang ditujukan pada unsur hadiah atau janji tersebut
diberikan sebagai untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat Advokat tersebut
untuk diberikan pada Majelis Hakim dalam rangka Hakim mengambil kesimpulan
untuk memutuskan perkara yang sedang diperiksa ;
Unsur kesalahan advokat menerima suap
disini ada hubungannya dengan unsur kesalahan dari korupsi menyuap advokat
menurut Pasal 6 ayat (2).
Maksudnva, kesadaran advokat atau
patut menduga terhadap hadiah yang diterimanya dari penyuap adalah berupa
kesadaran terhadap maksud si penyuap. Artinya, baik maksud si penyuap maupun
maksud advokat yang menerima suap haruslah sama ditujukan untuk mempengaruhi
pendapat atau nasihat advokat
tersebut.
Memberikan pendapat, atau mengarahkan
pendapat advokat yang sedang menangani perkara di pengadilan tidaklah dilarang.
Bahkan, baik dilakukan oleh siapa saja asalkan tidak dilakukan dengan menyuap.
Advokat lawan dalam perkara perdata, atau jaksa penuntut umum dalam perkara
pidana dalam kegiatan bersidang pada dasarnya adalah mempengaruhi atau
mengarahkan pendapat hakim, malahan tindakan ini merupakan kewajiban, bukan
larangan. Barulah menjadi larangan apabila dilakukan dengan menyuap.
Logika larangan menyuap advokat pada
Pasal 6 (1) huruf b, atau larangan menerima suap sebagaimana yang dimaksudkan
Pasal 12 huruf d, ditujukan kepentingan hukum orang yang dibelanya atau orang
yang mempercayakan penanganan perkara kepadanya agar tidak dirugikan oleh
adanya pendapat yang salah atau keliru disebabkan suap tersebut. Sifat pengaruh
ini tidak terbatas pada pendapat yang benar ataukah salah yang jelas pengaruh
yang dimaksud adalah pengaruh yang akan
merugikan kliennya sendiri.
Kini bagaimana
para praktisi menghadapi tumpang tindihnya rumusan tindak pidana korupsi suap
pasif tersebut. Hal tumpang-tindihnya rumusan tindak pidana, tidak menyebabkan hukum tidak dapat
dijalankan. Para praktisi tidak perlu risau. Ambil saja hikmahnya ialah para
praktisi terutama jaksa penuntut umum dapat
mendakwakan semuanya. Tidak menimbulkan akibat hukum batalnya dakwaan
asalkan dibuat dengan memenuhi syarat materiel dan formil surat dakwaan dalam
Pasal 143 KUHAP dan syarat-syarat lain dalam praktik, logika serta doktrin
hukum.
Dengan maksud dapat digunakannya
sistem beban pembuktian terbalik, yarg dianggap lebih menguntungkan jaksa, maka
pada setiap suap pasif agar didakwakan pula suap menerima gratifikasi Pasal 12B. Bentuk
surat dakwaan dapat dibuat kumulatif
antara dua atau lebih tindak pidana (ketentuan hukum pidana) atas
suatu perbuatan (perbarengan
peraturan, Pasal 63 KUHP) atau primer subsider. Jika kumulatif, jaksa akan membuktikan
semuanya, tentu terbukti satu lainnya juga dipastikan terbukti, karena pada
dasarnya dua tindak pidana tersebut adalah sama. Namun, yang dituntut
adalah tindak pidana yang terberat ancaman. pidananya ;
Pasal 12 d.
Dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000.-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.-
(satu milyar rupiah);
Seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili ;
D.
Pembahasan Masalah .
Pada bagian pembahasan masalah
ini, tentunya akan dilakukan uraian bahasan
dengan mengacu dan berdasarkan pada ketentuan dan perundang-undangan yang
berlaku, dan juga menggunakan literature
kepustakaan .
Untuk menjawab permasalahan pertama,
yaitu tentang “ Bagaimana
pengaturan jasa seorang Advokat didalam
melaksanakan tugas profesinya diatur
secara hukum ? “
Maka terhadap hal ini dapat kita lihat
pada ketentuan hukum pasal 21 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat.
1).
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
kliennya;
2).
Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Adapun pengertian daripada “Honorarium” menurut Pasal 1
ayat (7) Undang-Undang No.18
tahun 2003 adalah imbalan atas jasa
hukum yang diterima Advokat berdasarkan kesepakatan dengan klien .
Yang dimaksud dengan “secara wajar” menurut penjelasan atas
Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat, adalah dengan memperhatikan
resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan ).
Dalam Undang-Undang No.18 tahun 2003
tentang Advokat tersebut, jelas tidak kita dapatkan maksud daripada si pembuat
Undang-Undang tentang kriteria berapa besaran nilai nominal Honorarium atas
jasa hukum Advokat yang dimaksudkan oleh
Undang-Undang adalah “ secara wajar “ ;
Bahwa karena pasal dari ketentuan
perundangan-undangan dimaksud tidak jelas mengatur batasan nilai besaran
nominal Honorarium atas jasa hukum
Advokat, maka oleh karena itu dapatlah kita menafsirkan ketentuan tersebut dengan mempergunakan
interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis.
Interpretasi
sistematis atau interpretasi dogmatis.
Adapun
penggunaan Interpretasi sistematis atau
interpretasi dogmatis, dilakukan apabila terhadap setiap gejala social yang
senantiasa terjadi interdepedensi (saling ketergantungan atau saling
berhubungan) dengan gejala-gejala social yang lain. Konsekwensinya dalam hukum
bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan
hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan intern diantara
peraturan-peraturan tersebut. Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian
dari keseluruhan system perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan
undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis.
Bahwa keterkaitan dengan Undang-Undang
Advokat No.18 tahun 2003 khususnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dapat
dikatakan tidak jelas / tidak tegas dalam penafsirannya, yang dapat berakibat
ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan, sementara dalam praktek
sehari-hari dan sewaktu-waktu ketentuan itu akan dibutuhkan.
Untuk melakukan kajian terhadap
ketentuan tersebut , terlebih dahulu diperlukan pemahaman dengan jelas, bagaimana kita dapat mengetahui hubungan
antara Advokat dengan kliennya dalam membela dan atau membantu dalam menangani
permasalahan hukum di persidangan diikat dengan suatu penberian Surat Kuasa
Khusus.
Bahwa suatu surat Pemberian Kuasa,
tentunya tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku
(Burgerlijk Wetboek), sehingga penafsiran atas pembahasan permasalahan pada
makalah ini, akan pula berkaitan dengan Hukum Perdata dimaksud.
Sebagaimana kita ketahui tentang
Pemberian Kuasa telah diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
-
Pasal
1794 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa terjadi
dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang
terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si Kuasa tidak boleh meminta
upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali .
-
Pasal
1795 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau
lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si Pemberi Kuasa.
-
Pasal
411 KUHPerdata ;
Semua wali, kecuali
Bapak atau Ibu dan kawan wali,
diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga per seratus (3 %) daripada segala
pendapatan, dua per seratus (2 %) daripada segala pengeluaran dan satu setengah
per seratus (1,5 %) daripada jumlah-jumlah uang modal yang mereka terima, kecuali mereka lebih suka
menerima upah yang kiranya disajikan bagi mereka dengan surat wasiat, atau
dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 ; dalam hal yang demikian mereka
tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih;
Dengan berpatokan kepada Pasal
1794 KUHPerdata, pasal 1795 KUHPerdata serta Pasal 411 KUHPerdata tentunya
dapatlah dipergunakan sebagai ukuran besarnya nilai nominal Honorarium yang
dimaksudkan secara Wajar, atas Jasa Hukum yang telah diberikan seorang Advokat
kepada kliennya.
Hal mana pembahasan ini sangat
diperlukan adalah untuk menghindari suatu tindakan terselubung yang dapat
dilakukan antara seorang Advokat dengan kliennya, yaitu dengan cara-cara pemberian Honorarium Jasa Advokat
yang nominalnya besar hanyalah karena tidak adanya pembatasan yang dilakukan
oleh Undang-Undang No.18 tahun 2003 tersebut. Tentunya kontruksi hukum Interpretasi
sistematis atau interpretasi dogmatis
sedemikian dapatlah dipergunakan untuk menjerat para Advokat yang nakal, yang
patut diduga telah bersepakat dengan seorang kliennya yang dijerat dengan kasus
tindak pidana korupsi, sementara uang pemberian Honorarium oleh terdakwa
berasal dari hasil korupsi uang negara, dan apalagi dapat dimungkinkan
siterdakwa setelah dinyatakan terbukti melakukan pidana Korupsi oleh
persidangan, ianya tidak dapat mengembalikan uang hasil perbuatan korupsi
tersebut, sementara Advokat yang melakukan pembelaan telah memperoleh
penerimaan pembayaran Honorarium atas jasa hukum yang diberikannya, pembayaran
Honorarium tersebut adalah hasil korupsi uang negara yang dikorupsi oleh si
terpidana .
Daftar
Kepustakaan :
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
2.
Undang-Undang
No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.
Undang-Undang
No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
R.
WIYONO,SH, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
penerbit Sinar Grafika tahun 2005.