semua berbicara bebas tentang hukum... bebas argumen, tapi harus mempunyai dasar
Senin, 24 Mei 2010
Dapatkah saksi pelapor tindak pidana korupsi ditangkap/ditahan/diproses pidana dalam kaitan dengan kasus yang dilaporkannya ?
kasus yang dilaporkannya ?
Penulis : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH.
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi.
A. Pendahuluan.
Adakalanya terhadap suatu kejahatan yang pelakunya sulit diungkap apalagi untuk ditangkap, dan telah diupayakan untuk membongkar kejahatan tersebut tetapi hasilnya tetap nihil, hal ini sering terjadi atas kasus jaringan pengedar narkotika yang juga sulit tertangkap, dan dapat juga terjadi dalam upaya mengungkap tindak pidana Korupsi.
Maka tidak jarang sebuah institusi penegak hukum (contoh : Kepolisian) melakukan penyamaran dengan memasukkan satu atau beberapa orang agennya kedalam suatu jaringan/kelompok kejahatan, dengan tujuan agar dapat memberi kemudahan dalam mengungkap, menangkap, menindak pelaku-pelaku kejahatan yang sulit diterobos itu.
Sungguh tidak mudah melaksanakannya dalam praktek, sebab untuk membongkar suatu kejahatan (seperti Narkotika), maka agen yang diselundupkan/disamarkan juga harus ikut terjun sebagai pengguna dan bahkan sebagai pengedar narkotika, lantas apakah dengan cara sedemikian agen tersebut harus dijadikan terdakwa atas kasus yang diungkapnya, demikian juga halnya dengan tindak pidana korupsi.
Ini adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan, pengungkapan suatu kejahatan.
Kondisi praktek ini dapat dilakukan dalam hal untuk mengungkap kasus-kasus yang sulit, yang antara lain :
- Pengawas pajak.
Yang menerima suap untuk mengurangi apa yang seharusnya dibayarkan oleh pembayar pajak kepada Negara, dan memeras uang dari wajib pajak yang tidak bersalah.
- Petugas Bea Cukai.
Yang mengizinkan Import barang gelap dengan imbalan sejumlah uang, sedangkan Import legal dipajaki dibawah tarif resmi.
- Pengadaan Barang.
Kontraktor berkolusi dalam melakukan penawaran sehingga harga menjadi sangat tinggi, dengan cara mengubah perkiraan-perkiraan biaya dari yang seharusnya.
ROBERT KLITGAARD dalam bukunya telah menuliskan suatu ungkapan yang beredar di Hong Kong atas maraknya tindak pidana korupsi, sebagai berikut:
1. “ Masuklah dalam Bus ” artinya : kalau anda mau menerima korupsi bergabunglah bersama kami.
2. “ Berlarilah disamping Bus ” artinya : seandainya anda tidak ingin menerima korupsi, tidak mengapa, tetapi jangan mengganggu.
3. “ Jangan pernah berdiri didepan Bus “ artinya : kalau anda mencoba melaporkan korupsi, bus itu akan menabrak anda, dan anda akan terluka atau bahkan mati atau usaha anda akan hancur. Kami akan menghajar anda, entah bagaimanapun caranya.
Dari kondisi permasalahan diatas, maka yang akan dibahas dalam keterkaitan dengan topik ini penulisan ini adalah :
1. Apakah urgensinya keberadaan daripada Pelapor dalam suatu tindak pidana “ ?
2. Mengapa “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya ?
3. Dapatkah pelapor terhindar dari jeratan status tersangka atau status terdakwa, atas laporan tindak pidana yang dilaporkannya ?
Ad.1. Apakah urgensinya keberadaan daripada Pelapor dalam suatu tindak pidana “ ?
Tentunya keberadaan “ Pelapor “sangat diperlukan sekali dalam menindaklanjuti adanya suatu perbuatan tindak pidana, dan peran serta “ Pelapor “ sebaiknya dimulai dari kesadaran diri pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana. Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terlebih lagi dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain peran serta “ Pelapor “ (berupa peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah merupakan upaya pencegahan/preventif disamping tindakan penindakan/represif, yang meliputi reformasi birokrasi, menata ulang dan mengkaji serta memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan negara maupun melakukan optimalisasi lembaga-lembaga pengawasan disetiap lembaga-lembaga pemerintah.
Untuk membahas kata “ Pelapor “ maka kita harus lebih dahulu menyesuaikan padanan kata “Pelapor “ dengan kata “Laporan” yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menyatakan :
Laporan adalah pemberitahuan yang di¬sampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terja¬dinya peristiwa pidana.
Selanjutnya Pasal 1 angka 26 KUHAP, menyatakan Saksi adalah orang yang dapat memberi¬kan keterangan guna kepentingan penyi¬dikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sen¬diri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dan Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia ¬lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari pengertian laporan sebagaimana diutarakan diatas bermakna adanya suatu “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidana. Dalam hal ini orang yang berhak untuk menyampaikan laporan adalah :
- Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa pidana kepada penyelidik atau penyidik;
- Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman atau keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
- Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugasnya yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
Selain daripada pengertian “ pelapor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ternyata masih dikenal lagi ketentuan hukum yang mengatur tentang keberadaan "pelapor", yang antara lain terdapat pada :
1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
2. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
3. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Menurut Pasal 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban yaitu yang dimaksud dengan ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri” dan ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan ”Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban”
Menurut Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat 2 (dua) kualifikasi tentang yang dimaksudkan dengan “ pelapor “, yaitu :
1. Setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; atau
2. Setiap orang yang secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU.
Sedangkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.
3. Selanjutnya dalam Pasal 2 PP No.57/2003 secara tegas dinyatakan, bahwa setiap Pelapor dan Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Perlindungan khusus dimaksud dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada bagian Penjelasannya Pasal 3 ayat (1), menguraikan pengertian “ Pelapor “ adalah : orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Dalam kesempatan ini secara lengkap akan kami uraikan keberadaan Pasal 2 dan Pasal 3 dari Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 sebagai berikut :
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tersebut, menyatakan:
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.
(2) Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan :
(1) Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai :
a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan
b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
(2) Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.
Dari uraian diatas, penulis bermaksud untuk menguraikan bagaimana jaminan dan perlindungan serta penghargaan yang akan diterima oleh “ Pelapor “ dalam mengungkap suatu tindak pidana/kejahatan korupsi, dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dasar hukumnya diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum sebagai berikut :
Pasal 41 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma lainnya.
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi;
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah;
Perlu sekali lagi disampaikan ada beberapa ketentuan hukum yang membahas tentang keberadaan “pelapor“ yang meliputi perlindungan atas keberadaan pelapor tersebut, sebagaimana diuraikan dibawah ini, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
- Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
- Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
- Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Dari beberapa ketentuan hukum diatas ternyata hanya Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi, yang sangat memperhatikan perlunya pemberian perlindungan baik terhadap pelapor maupun saksi. Dan pemberian jaminan perlindungan tersebut mestinya sudah harus diberikan pada saat adanya pelaporan, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Secara materiil, pengaturan mengenai perlindungan bagi korban dan saksi pada tindak pidana Pencucian Uang menurut UU Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak hanya sebatas pada perlindungan fisik tetapi juga perlindungan hukum yang berupa perlindungan kepada pelapor dan saksi dari adanya gugatan atau tuntutan baik secara perdata atau pidana.
Hal ini menunjukkan bahwa secara khusus UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kaitannya dengan perlindungan bagi pelapor dan saksi Tindak Pidana Pencucian Uang, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 4 (empat) bab dan 13 (tiga belas) Pasal. Dalam Bab I dimuat beberapa pengertian, antara lain pengertian mengenai Perlindungan Khusus, Pelapor, dan Saksi.
Perlindungan khusus didefinisikan sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap Pelapor atau Saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Berdasarkan definisi tersebut, tampak jelas lingkup pengaturan mengenai perlindungan yang mencakup baik terhadap pelapor maupun saksi.
Pengaturan mengenai perlindungan bagi pelapor dan saksi dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam bab tersendiri (Bab VII).
Ada 5 (lima) pasal yang mengatur mengenai permasalahan tersebut, yaitu Pasal 39 s/d Pasal 43 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Kewajiban untuk merahasiakan indentitas pelopor baik oleh PPATK, penyidik, penuntut umum, maupun hakim. Adapun pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menimbulkan hak bagi pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan Pasal 39 ayat (1) dan (2);
2. Kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya, Pasal 40 ayat (1);
3. Pelarangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor di sidang pengadilan. Bahkan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan adanya pelarangan tersebut kepada saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, Pasal 41 ayat (1) dan (2);
4. Kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus oleh negara terhadap setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan TPPU, baik dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya, Pasal 42 ayat (1); dan
5. Pemberian jaminan kepada pelapor dan/atau saksi sehingga tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan, Pasal 43.
Menurut Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 ini, ada 5 (lima) bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan, yaitu:
1. perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental;
2. perlindungan terhadap harta Pelapor dan Saksi;
3. perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi; dan/atau
4. pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara.
Perlindungan khusus oleh Polri dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarga Pelapor dan Saksi sebagai akibat:
1. Disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai oleh Pelapor atau PPATK karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2. Disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang oleh Pelapor atau PPATK secara sukarela; atau
3. Ditetapkannya seseorang sebagai Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003, maka dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau seseorang ditetapkan sebagai Saksi, Polri akan melakukan klarifikasi atas kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
4. Pemberian perlindungan khusus sebagaimana tersebut diatas diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan/atau Saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan. Adapun segala biaya yang berkaitan dengan pemberian perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, dibebankan pada anggaran Polri tersendiri.
Ad.2. Kalau demikian mengapa “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya ?
Menjawab pertanyaan diatas maka lebih dahulu harus dipahami tentang Prinsip umum dalam tindak pidana umum yang menyatakan, “ bahwa norma hukum pidana, adalah berlaku umum “, oleh karena itulah dipergunakan frase "barang siapa" atau "setiap orang" yang ditempatkan diawal rumusan perbuatan yang dilarang. Pelanggaran hukum pidana dapat dilakukan oleh subjek hukum pidana, yaitu orang dan korporasi. Dengan menggunakan frase tersebut sebagai bentuk pemberlakuan asas umum dalam hukum pidana, yaitu asas perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pada Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam pembahasan tulisan ini, ternyata mengenai saksi pelapor sebagaimana Pasal 174 KUHAP menyatakan :
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disang¬ka palsu, hakim ketua sidang memper¬ingatkan dengan sungguh-sungguh kepa¬danya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatan¬nya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjut¬nya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan si¬dang yang memuat keterangan saksi de¬ngan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut keten¬tuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menang¬guhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana ter¬hadap saksi itu selesai;
Sementara itu dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.
(2) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.
(3) Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.
Sehingga secara normatif maka posisi “ pelapor “ masih dapat dijadikan tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang dilaporkannya, hal ini disebabkan hukum pidana di-Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan. Maka dengan demikian terhadap suatu tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana akan memperoleh makna yang jelas. Ketentuan pasal ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana. Perbuatan yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan perbuatan tidak melakukan (pasif) termasuk perbuatan lalai (nalaten) dalam rangka mencegah terjadinya akibat yang merupakan unsur suatu tindak pidana.
a. Penggunaan terminologi hukum "barang siapa" atau "setiap orang" menunjukkan bahwa hukum pidana berlaku untuk semua perbuatan yang dilakukan siapa saja, dalam konteks hukum adalah subjek hukum (memiliki kedudukan yang sama).
b. Hukum pidana pidana berlaku terhadap semua perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum hukum pidana, orang dan korporasi.
c. Hukum pidana tidak ditujukan kepada orang tertentu atau orang yang menjalankan profesi tertentu.
Ad.3. Dapatkah pelapor terhindar dari jeratan status tersangka atau status terdakwa, atas laporan tindak pidana yang dilaporkannya ?
Penulis mencoba melakukan pembahasannya melalui Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum pidana.
Terdapat 2 (dua) masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah :
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
2. sanksi apa yang sebaiknva digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas dapat dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Selanjutnya Prof. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau di¬tanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan "perbuatan yang tidak dikehendaki" yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;
c. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip "biaya dan hasil" (cost-benefit principle).
d. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Menurut Prof. Mr. Moeljatno, alasan yang dapat menghapuskan pidana adalah :
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan pidana ;
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan Terdakwa (menurut Prof. Nico Keijzer adalah menghapuskan tercelanya perbuatan Terdakwa) ;
3. Alasan penghapus penuntutan, artinya tidak memikirkan sifat perbuatan dan sifat pelakunya (tercelanya), tetapi pemerintah menganggap atas dasar utilitas atau kemanfaatannya bagi kepentingan masyarakat, sebaiknya tidak dilakukan penuntutan, yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan umum ;
Kesimpulan dan Saran.
- Agar “pelapor” (yang laporannya dilakukan secara lisan melalui media massa) sedapat mungkin mendapat perlindungan hukum, dengan tujuan agar ianya dapat menerangkan dengan sebenar-benarnya, dan jangan sampai ia mencabut kesaksiannya dalam persidangan, keberadaan saksi atau pelapor dalam proses pidana sangat penting untuk memberi kesaksian;
- Bahkan sedapat mungkin dilakukan pelarangan untuk menyebut nama atau alamat pelapor (yang laporannya dilakukan secara tertulis dan tertutup), yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor di sidang pengadilan, dan hakim wajib mengingatkan adanya pelarangan tersebut kepada saksi-saksi, dan penuntut umum.
- Pelapor wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang dilaporkan berkekuatan hukum;
- Pelapor bukan hanya dilindungi akan tetapi lebih dari itu ia layak memperoleh penghargaan serta pengganti biaya kepada pelapor dalam hal perolehan data-data alat bukti yang mungkin ia dapatkan.
- Apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan, maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), atas dasar utilitas atau kemanfaatannya bagi kepentingan masyarakat sebab tidak mudah untuk mengungkap apalagi menjadi “pelapor” dalam suatu tindak pidana yang menyangkut kepentingan umum khususnya yang menyangkut keuangan Negara;
Daftar Pustaka :
1. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
2. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
3. Peraturan Pemerintah No.57 tahun 2003 tentang Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang;
4. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Robert Klitgaard, dalam bukunya “Membasmi Korupsi”, penerbit Yayasan Obor Indonesia tahun 2001.
6. M.Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini.
7. Prof DR.Muladi,SH., dan Prof. Dr.Barda Nawawi Arief,SH. dalam bukunya “Teori-teori dan kebijakan pidana”.
Selasa, 23 Maret 2010
PEMBEKALAN HAKIM KARIR MENYONGSONG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PEMBEKALAN HAKIM KARIR
MENYONGSONG PEMBENTUKAN PENGADILAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH.
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi.
Pendahuluan.
Bahwa sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, maka keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar pembentukannya ditentukan dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [1], yang berbunyi:
“Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”
telah dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945;
Hal ini sebagaimana termuat pada konsideran, “menimbang pada huruf c” menyatakan:
“bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar pembentukannya ditentukan dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang yang baru “;
Kemudian dibentuklah Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi [2], yang diundangkan dan disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009, dan sebagaimana pada Pasal 40 UU No.46 tahun 2009 tersebut menyatakan Undang Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
Sebagai amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tersebut, yang pada dasarnya sejalan dengan UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang undang tersendiri;
Demikian pula halnya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No.47 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
° ayat (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
° ayat (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang;
Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah, “ Apa yang menjadi landasan dan tolok ukur/kriteria, yang akan diterapkan oleh Mahkamah Agung RI untuk menetapkan/menunjuk atau memilih para Hakim Karir untuk dapat mengemban tugas sebagai Hakim Tipikor tersebut “
Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah terbentuknya Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5;
Dan sejauhmana kewenangannya juga diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No.46 tahun 2009, yang menyatakan :
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara :
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi;
Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :
Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini;
Dalam undang-undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur syarat-syarat keberadaan Hakim Karir yang dapat ditetapkan sebagai Hakim Tindak pidana korupsi (Tipikor), dan juga keberadaan Hakim Ad Hoc yang masih diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas Tindak Pidana Korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah;
Pembekalan Para Hakim Karir.
Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), merupakan lembaga Internasional yang telah sukses mengadakan “Conference of the States Parties to the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Nusa Dua, Bali, beberapa waktu lalu dengan mengusulkan kepada negara anggota UNCAC agar berkonsentrasi dalam tiga hal dalam memberantas korupsi, yaitu:
§ Langkah pertama adalah hal apa yang telah dilakukan oleh negara anggota (state parties) untuk memberantas korupsi dalam melaksanakan UNCAC Convention.
§ Langkah kedua adalah hal apa yang diperlukan dalam memberantas korupsi, termasuk perlunya bantuan teknis (technical assistance).
§ Langkah ketiga adalah pengembangan atas mekanisme penilaian (review mechanism) agar penyebaran korupsi dapat dikontrol dengan meninjau kembali upaya pemberantasan korupsi sehingga tidak menyebar lebih luas dan di luar kontrol.
Sehubungan dengan itu, Mahkamah Agung RI terlihat serius bahkan telah bekerjasama dengan organisasi Internasional yaitu United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) untuk memberdayakan jajarannya sehubungan untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia/SDM para Hakim karir di lingkungan peradilan umum, hal ini guna mempersiapkan diri dalam menyongsong dibentuknya disetiap ibu kota kabupaten/kota, pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana.
Hingga saat ini Mahkamah Agung RI telah melangsungkan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan bagi para Hakim karir untuk tingkat pertama dan tingkat Banding, di Pusdiklat Litbang Kumdil Mahkamah Agung RI yang berlokasi di daerah Megamendung Ciawi Bogor, dengan menunjuk para pengajar yang dianggap ahli dibidangnya meliputi Para Hakim Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Komisi Yudisial, Ketua PPATK, dan lain-lain. Dari pendidikan dan pelatihan Hakim Tipikor yang dilangsungkan oleh Mahkamah Agung RI., tersebut telah menyelesaikan 8 (delapan) angkatan yang jumlah keseluruhannya adalah + 800 (delapan ratus) Hakim Karir, dan kesemuanya telah memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang diantaranya akan ditetapkan menjadi Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 11 huruf e undang-undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
Kesemua peserta yang ditunjuk untuk mendapat pendidikan dan pelatihan serta pembekalan tersebut, diharuskan telah :
- berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;
- berpengalaman menangani perkara pidana;
- jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;
- tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan atau terlibat dalam perkara pidana;
- telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pengadilan Tipikor ini, pada tahap awal direncanakan akan dibentuk pada 7 (tujuh) Ibu kota Propinsi, yang dapat diperkirakan akan menyerap sebanyak + 100 (seratus) Hakim Karir, dari jumlah + 800 (delapan ratus) orang Hakim Karir yang telah mendapat sertifikasi khusus sebagai Hakim Tipikor;
Hanya saja ukuran/kriteria apa, yang akan diterapkan oleh Mahkamah Agung RI untuk menetapkan/menunjuk atau memilih + 100 (seratus) Hakim Karir untuk dapat mengemban tugas sebagai Hakim Tipikor, dalam mewujudkan konsiderans Undang-Undang RI No.46 tahun 2009 butir b, yang menyatakan :
“Bahwa tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam system hukum nasional”;
Belajar dari pengalaman sejak dibentuk pertama kalinya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, disusun dengan komposisi Majelis Hakim berjumlah 5 orang, terdiri dari 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Hakim Karir) dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc (lihat Pasal 58 ayat (2) UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);
Pada komposisi Majelis Hakim sebagaimana Pasal 58 ayat (2) UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, keberhasilan putusan Pengadilan Tipikor telah menjadi suatu kebanggaan yang diakui oleh berbagai lapisan masyarakat, berbeda apabila dibandingkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri yang dirasakan tidak membawa perubahan apa-apa, bahkan sangat menjengkelkan banyak pihak;
Bagi sebagian besar masyarakat memberi anggapan atas keberhasilan Pengadilan Tipikor, adalah karena keberadaan Hakim Ad Hoc bukan karena keberadaan Hakim Karir;
Saat ini susunan majelis hakim tersebut, telah terjadi perubahan sebagaimana tertuang pada Pasal 26 Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
ayat (1).
“Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan Majelis Hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang Hakim, terdiri dari Hakim Karir dan hakim Ad Hoc”;
ayat (2).
“Dalam hal Majelis Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang Hakim, maka komposisi Majelis Hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua), dan dalam hal majelis Hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu)”;
Terhadap susunan majelis Hakim Tipikor pada undang-undang yang baru dibentuk diatas, telah mengkhawatirkan banyak pihak didalam masyarakat, seolah-olah sudah tidak ada tempat dihati masyarakat bagi Hakim Karir untuk menangani kasus / tindak pidana korupsi, apakah hal sedemikian tidak memalukan bagi lembaga peradilan di Indonesia maupun di dunia Internasional;
Sehingga atas pandangan/opini sebagian besar masyarakat tersebut, sudahkah Mahkamah Agung RI sebagai puncak tertinggi untuk peradilan di Republik Indonesia telah melakukan analisa untuk membangun kembali rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, atau cukup hanya sekedar bersikap monoton/skeptis, dan tidak menginginkan adanya perubahan/inovasi yang signifikan;
Konon Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menilai, kejahatan tindak pidana korupsi tidak termasuk kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, karena itu sebaiknya pengadilan ad hoc tidak perlu dikembangkan. Dan mengatakan, “landasan hukum pemberantasan tindak kejahatan korupsi itu ya itu-itu saja, KUHP dan UU Antikorupsi, tidak ada yang aneh karena sifat dari kejahatan itu sendiri dari dulu sudah terjadi”. Munculnya berbagai pengadilan ad hoc tersebut adalah karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap peranan hukum di Indonesia. Turunnya kepercayaan itu dapat disebabkan berbagai macam, seperti adanya intervensi pihak lain kepada pengadilan, adanya desakan dari kelompok penguasa atau adanya publik opini yang digalang melalui pemberitaan (Republika, 10 April 2007)[3]
Kita wajib merasa prihatin atas keadaan ini, sebagaimana penelitian / riset kami terdahulu (yaitu penjatuhan putusan/pemidanaan kasus korupsi) yang kemudian kami jadikan sebagai dasar penulisan artikel terdahulu (Pemidanaan dan Disparitas), ternyata sangat banyak penjatuhan putusan/pemidanaan atas kasus korupsi yang dijatuhi pidana ringan, bebas, ontslaag, dan atau pidana hukuman percobaan, sekalipun diantaranya itu terdapat kasus-kasus korupsi yang bernilai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah;
Sehingga masyarakat berpandangan, bahwa hukuman bagi koruptor tidak jauh berbeda dengan hukuman terhadap pelaku pencuri Kakao, Randu dan lain-lain;
Adalah suatu kesan yang buruk apabila kita sepaham dengan hanya mengatakan bahwa secara philosofis undang-undang Tipikor menginginkan pengembalian kerugian keuangan Negara yang dirampok oleh para koruptor, dan bukan semata-mata hanya untuk memenjarakan para koruptor, pendapat ini sungguh sangat klise, karena pada prakteknya pengembalian hasil korupsi sudah tidak utuh lagi, sebab telah dihambur-hamburkan oleh pelaku koruptor;
Tolok ukur yang harus digunakan untuk menghukum pelaku koruptor adalah kemampuan untuk memenuhi/mengutamakan kepentingan dan keadilan masyarakat guna menciptakan tertib sosial - politik dan bukan sekedar tertib hukum semata;
Bahwa masyarakat saat ini sudah bisa membedakan antara penjahat berkerah putih (White Collar Crime), Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) dengan penjahat kampungan/konpensional, disinilah peradilan ini seharusnya dapat bercermin muka untuk dapat bersikap menjadi yang terbaik demi kepentingan bangsa dan negara;
Oleh karena itu kepada Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung RI, diharuskan untuk dapat dengan selektif menunjuk Hakim Tipikor dan atau membekali kembali para Hakim Tipikor yang sudah ada maupun yang akan ditetapkan, agar tidak dengan mudahnya memberikan penjatuhan putusan/pemidanaan atas kasus korupsi dengan suatu pidana ringan, pidana bebas (Vrijspraak), pidana ontslag van Alle Vervolging, dan atau pidana hukuman percobaan, hal ini berakibat amat sangat melukai perasaan hati masyarakat banyak, bahkan pasti berdampak semakin menyengsarakan rakyat, malah dapat menjadikan kehancuran bangsa dimasa mendatang;
Para Hakim Tipikor harus pula secara tegas berjanji/bersumpah untuk memberantas korupsi, dan tidak hanya terbuai dengan retorika “membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka” akan tetapi tidak memiliki sense anti korupsi, sehingga tidak hanya menciptakan putusan berdasarkan akademisi, akan tetapi juga memenuhi persyaratan filosofis dan sosiologis ;
Keberhasilan Hakim Tipikor untuk menghukum para Koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya dan upaya pengembalian uang Negara yang telah diperolehnya akan membawa Efek yang menggetarkan bagi para Koruptor dan calon koruptor, baik koruptor kelas kakap (Grand corruption) dan koruptor kelas teri (petty corruption);
Strategi pemberantasan Tipikor dan upaya pelaksanaannya dapat digunakan dengan bermacam cara, namun tujuan harus jelas terarah dan terkordinasi, agar kinerja peradilan Tipikor memiliki manfaat dan tidak mubazir/sia-sia;
Untuk itu para Ketua Pengadilan/Humas Pengadilan Tipikor tidak cukup hanya membuat laporan hasil kinerja Para Hakim Tipikor (Hakim Karir dan atau Hakim Ad Hoc) kepada Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung RI, akan tetapi secara khusus disampaikan kepada masyarakat luas, per triwulan atau semester baik melalui media cetak maupun elektronik, sehingga laporan kinerja yang sedemikian maka keberadaan dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan mudah untuk segera diawasi;
Laporan dimaksud antara lain memuat perkara-perkara yang diputus Bebas (Vrijspraak), Terbukti melakukan akan tetapi bukan pidana (Ontslaag van Alle Vervolging), putusan yang menyatakan perkara Tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk verklaard), penjatuhan hukuman ringan, hukuman berat, hukuman mati dan lain-lain, dengan mengacu pada alasan-alasan hukumnya, demikian juga tentang adanya Disenting Oppinion (pendapat hukum yang berbeda) antara Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc sangatlah diperlukan untuk mengetahui tingkat keseriusan dan kepercayaan (trust) serta melihat yang mana yang bersemangat untuk memberantas Tipikor diantara kubu tersebut;
Kita seyogianya mesti sedih dan merasa tidak adil dikala kita melihat pencopet yang tertangkap tangan babak belur dihajar massa, namun sebaliknya para koruptor khususnya kelas kakap, dengan mudah mendapat alasan perlindungan/proteksi melalui asas praduga tak bersalah, ataupun karena alasan masih termasuk ranah hukum administrasi/hukum perdata, lalu dibebaskan dan atau dihukum ringan, sementara keuangan negara ini tetap juga mengalami kehilangan;
Kesimpulan .
Untuk itu dapatlah dipahami pendapat sebagai berikut :
- Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini untuk keluar dari kemiskinan atau keluar dari kehancuran, kecuali dengan memerangi korupsi secara All Out;
- Tidak perlu ada rasa belas kasihan kepada para koruptor, karena mereka pun tidak mempunyai belas kasihan atas keterpurukan bangsa ini;
- Kwik Kian Gie mengatakan : Corruption is the root of the evil, bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah;
- Hidayat Nur Wahid jua menegaskan : Corruption is the Terrorist, Koruptorlah yang merupakan teroris sejati yang harus dihabisi, Koruptor yang menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kefakiran;[4]
Daftar referensi / Pustaka :
1. Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
3. DR.EGGI SUDJANA, SH.M.Si Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati, halaman 179 penerbit JP Books .
4. Denny Indrayana “Negara Dalam Darurat Korupsi” tulisan yang dimuat dalam buku Jihad Melawan Korupsi, halaman 95, penerbit Buku Kompas.
[1] Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[2] Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
[3] DR.EGGI SUDJANA, SH.M.Si Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati, halaman 179 penerbit JP Books .
[4] Denny Indrayana “Negara Dalam Darurat Korupsi” tulisan yang dimuat dalam buku Jihad Melawan Korupsi, halaman 95, penerbit Buku Kompas.