By Dominggus Silaban,SH.MH
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi
A. Pola Pemidanaan.
Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup "pola pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut "pedoman legislatif" atau "pedoman formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan" adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim ("pedoman yudikatif” / "pedoman aplikatif") Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat.
Memang sudah ada undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses/prosedur penyiapan, pembahasan, teknis penyusunan dan pemberlakuannya. Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang "pemidanaan", setidaknya hal-hal yang berkaitan tentang jenis pidana (strafsoort), kriteria sedikit-lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus) .
Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, mantan Ketua Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan, mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum (substantive justice), tata cara penegakan hukum (procedural justice).
Meski Indonesia belum memiliki "pola pemidanaan" yang berkaitan dengan kriteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus, namun bila menyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan/atau melakukan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana Negara lain, yang sudah mengatur hal itu adalah salah satu solusinya.
Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, delikdelik tertentu yang dapat ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut :
1. delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat;
2. delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) .
Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, belum ada bahan rujukan yang baku, sehingga salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana "minimum khusus di beberapa KUHP negara lain.
Masalah pokoknya di Indonesia adalah bahwa sampai sekarang belum terjawab, sejauhmana kewenangan kebebasan yang dimiliki oleh hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dan itu tidak lain adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetings regelistraftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing) sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas-limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan terren recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Undang-undang memang mewajibkan hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dan perspektif masyarakat, agar dihukumnya para pelaku korupsi sebanyak-banyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil.
Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu :
a. faktor perundang-undangan;
b. faktor aparat/badan penegak hukum; dan
c. faktor kesadaran hukum.
Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi Hukum pidana materiel (hukum pidana substantif), hukum pidana formil meliputi acara pidana maupun hukum pelaksanaan pidana. Untuk faktor perundang-undangan inipun terkait dengan tahapantahapan kebijakan formulatif (legislatif), kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekutif). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulasi adalah merupakan penegakan hukum "in abstracto", yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto:' (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi).
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement” yang fungsionalisasi/ operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu :
1) tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan
3) tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Letak strategisnya adalah karena garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat eksekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila pada tahap kebijakan formulatif ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksesnya eksekusi pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana "in abstracto" akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum "in concreto”
Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia penggunaan pidana sebagai bagian dari politik/kebijakan harus sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hanya dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia, dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihannya atau penentuannya. Dari bermacam produk perundang-undangan pidana di Indonesia akhir-akhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum khusus dan pidana minimum khususnya, baik perumusan alternatif, atau kumulatif, atau juga kumulatif-alternatif. Selanjutnya dalam tataran aplikasi, pada delik-delik tertentu sebagaimana didakwakan Penuntut Umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah batas/limit ancaman pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada hal sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tersebut adalah bukan tanpa maksud dan tujuan.
Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga didalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis. Akhirnya banyak timbul wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan aksi dan sikap kritis terhadap "beragamnya" strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana disparity of sentencing diantara delik-delik tertentu tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari Hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan), yang dilatarbelakangi oleh faktor :
a) pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan
b) kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delikdelik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta
c) ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.
B. Disparitas Putusan Hakim
Disparitas pidana (disparity of sentencing) maksudnya adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas .
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan "correction administration". Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban "the judicial caprice", akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Tentunya akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Masalah disparitas pidana adalah salah satu subsistem dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana, sehingga disparitas pidana juga menjadi bagian dari masalah pemidanaan, dan dapat dikatakan bahwa disparitas pidana yang bersumber dari hukum positif/peraturan perundang-undangan, antara lain adalah karena belum diaturnya pedoman penjatuhan pidana (statutory guidelines for sentencing atau straftoemetingsheidraad), sedangkan yang bersumber dari Hakim, antara lain karena adanya pemahaman idiologis yang beragam terhadap the philosophy of punishment, setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik atau aliran modern) dan selanjutnya dalam hukum pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (stafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana didalam undang-undang .
Prof. Sudarto, S.H. menyatakan sebagai berikut:
"KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad), yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang¬-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels)" .
Holmes, bekas Hakim Agung Amerika Serikat yang terkenal, pernah memberikan perumusan tentang hakekat hukum yang kemudian menjadi terkenal, yaitu: " hukum itu adalah apa yang menurut perkiraan orang diputuskan oleh pengadilan ". Jadi menurut Holmes, hukum itu adalah bukannya yang tercantum di dalam perundang-undangan, melainkan perkiraan orang mengenai apa yang nantinya akan diucapkan oleh Hakim dalam putusannya. Pendapat Holmes ini berharga untuk diperhatikan dalam rangka pembicaraan mengenai efektifitas peraturan hukum ini. Sebab, apa yang dikemukakan oleh Holmes itu mengandung arti, bahwa ada hubungan antara tafsiran orang mengenai apa yang merupakan hukum dengan keputusan-keputusan Hakim. Sekalipun misalnya perbuatan itu diancam dengan pidana 10 (sepuluh) tahun, akan tetapi Hakim " hanya " menjatuhkan pidana 5 (lima) bulan, maka hal ini akan mampu " membuat hukum baru di dalam pemikiran orang-orang ", bahwa perbuatan atau kejahatan itu sebetulnya pidananya adalah 5 bulan. Mereka akan memperhitungkan, bahwa batas ancaman hukuman pidana 120 (seratus dua puluh) bulan itu pada akhirnya hanya dijatuhi hukuman 5 (lima) bulan saja. Dengan menambahkan masalah konsistensi dalam pelaksanaan hukum tersebut dalam hubungan dengan efektivitas peraturan hukum, maka muncul pula peranan Hakim sebagai salah satu mata rantai yang penting dalam turut membina efektifitas tersebut.
Perihal disparitas pidana yang bersumber dari Hakim, juga pernah dikemukan oleh Roem Dhamdusdi, seorang Hakim senior pada Pengadilan Pidana Thailand, yang mangatakan: " Sebaiknya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan atas tindak pidana yang “serupa” haruslah sama, akan tetapi tampaknya dalam praktik hal ini sukar dilaksanakan, disebabkan masing-masing hakim mempunyai “ide” sendiri dalam penjatuhan pidana".
Loebby Luqman juga mengatakan, bahwa bagaimana " kualitas " putusan Hakim atas suatu perkara yang di¬tanganinya adalah tidak terlepas dari "pribadi" Hakim dan "lingkungan" yang membentuk pribadi Hakim yang bersangkutan.
Lebih jauh Muladi mengatakan, bahwa terhadap delik-delik berkarakter tersebut di atas, utamanya yang berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan negara, maka hukum pidana harus tampil sebagai premium remidium.
Selanjutnya menurut H. G. De Biint, hukum pidana berperan sebagai premium remidium, apabila:
1. korban sangat besar;
2. terdakwa residivis; dan
3. kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).
Menurut Romli Atmasasmita, penggunaan hukum pidana sebagai premium remidium hanya diterapkan pada delik-delik tertentu yang memerlukan cara yang luar biasa untuk mencegah dan mengatasinya.
Menurut Loebby Loqman, tujuan penjatuhan pidana in concrete tersebut adalah untuk norm-handhaving, yakni merealisasikan/menerapkan ancaman hukuman (sanksi pidana) yang ada dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana kaidah hukum, maka suatu putusan pidana, idealnya juga harus memenuhi ketiga¬ macam unsur yaitu, secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Hakim akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum dari perkara yang ditanganinya . Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama, yaitu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pendekatan filosofis, yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis, yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat.
Perihal pentingnya suatu putusan pidana harus memenuhi tiga unsur, yaitu : yuridis, sosiologis, dan filosofis sebagaimana Soerjono Soekamto mengemukakan alasannya sebagai berikut:
1) apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak hidup,
2) apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana pemaksa dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya menjadi tidak realistik.
Menurut Cheang, disparitas pidana (disparity of sentencing) yang dimaksudkan disini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offence comparable seriousness) tanpa disertai dasar pertimbangan/penalaran yang sahih (valid reason). Selanjutnya Jackson menambahkan, bahwa disparitas pidana juga dapat terjadi pada pemidanaan yang berbeda terhadap dua orang atau lebih terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama (co’defendant).
Faktor yang menimbulkan variasi / disparitas putusan pidana, antara lain:
a) Pertama-tama faktor yang mungkin menonjol, adalah masalah kepribadian Hakim, (termasuk di dalamnya adalah masalah mentalitas). Memang perlu diakui, bahwa banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi kepribadian seorang Hakim. Faktor faktor tersebut mungkin merupakan “raw-input”, “instrumental- input” dan “environmental-input”. Kalau masalahnya dibatasi pada “raw-input” saja, maka persoalannya tidaklah sesederhana yang diduga. Agama, suku bangsa, pendidikan informal dan lain- lain faktor mungkin berpengaruh secara terpisah atau secara simultan.
b) Yang kedua adalah masalah lingkungan, yang terutama menyangkut lingkungan sosial. Faktor ini tidak hanya mempengaruhi kepribadian Hakim, akan tetapi juga terhadap penjatuhan hukuman. Dalam arti yang sangat luas, maka lingkungan sosial dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Lingkungan sosial mungkin mencakup faktor politik, ekonomi, dan seterusnya. Seorang Hakim sangat sulit untuk secara sempurna menutup diri terhadap pengaruh faktor-faktor tersebut. Kadang kadang, bahkan faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang sangat dominan di dalam penjatuhan hukuman.
c) Kecuali dari hal yang dijelaskan diatas, maka faktor ketiga adalah unsur-unsur yang berkaitan langsung dengan proses peradilan. Masing-masing unsur mempunyai kepribadian tersendiri dan mungkin ada pengaruh yang kuat dari atasan yang sangat menentukan pelaksanaan peranannya dalam proses peradilan tersebut. Kenyataan tersebut sulit untuk disangkal, dan harus dipertimbangkan secara saksama, oleh karena merupakan salah satu penyebab terjadinya variasi dalam penjatuhan hukuman.
Dalam tahapan aplikasi sedemikian, permasalahan disparitas pidana ini telah menjadi keprihatinan dikalangan para Hakim, setidaknya hal ini pernah mengemuka dalam:
a) Munas VII IKAHI ( Ikatan Hakim Indonesia) di Pandaaan, Jawa Timur tahun 1975;
b) Munas VIII IKAHI di Jakarta tahun 1984.
c) Rapat Kerja Teknis Gabungan tahun 1985 tentang Patokan Pemidanaan (sentencing standard);
d) Simposium terbatas pemidanaan oleh Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1992.
Pada Munas Ikahi ke VII yang berlangsung pada bulan Juli 1975 di Pandaan, Jawa Timur telah diadakan simposium terbatas yang membicarakan soal "penghukuman”, mencari suatu pemikiran yang tidak teoretis, akan tetapi sasarannya adalah suatu hasil yang bisa diterapkan dalam praktek, sedangkan tujuannya adalah agar dapat dicapai "keseragaman pemidanaan terhadap tindak pidana yang sejenis". Hasil dari Lokakarya ini menurut Pengurus Pusat IKAHI akan diserahkan kepada Mahkamah Agung, dengan maksud agar benar¬-benar dapat digunakan oleh para Hakim di seluruh Indonesia dalam tugasnya mengadili perkara-perkara pidana. Masalah pemidanaan adalah merupakan "masalah yang sangat pribadi bagi seorang Hakim" sehingga ditemukan kesulitan untuk menarik garis yang "seragam" antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lainnya mengenai berat-ringannya hukuman, meski hal itu menyangkut suatu perkara yang sejenis. Kendala yang terjadi bukan semata-mata tergantung pada Hakim yang menjatuhkan pidana, akan tetapi juga pada terpidananya yang masing-masing berbeda-beda dalam menerima pidana itu, sehingga dalam menjatuhkan pidana Hakim harus selalu memperhatikan kepribadian, kedudukan sosial, dan lain sebagainya dari terpidana.
Menurut H.Adi Andojo Soetjipto (mantan Hakim Agung), mengatakan dalam hal demikian maka tidak bisa kita berbicara soal "keseragaman" pemidanaan, yang bisa kita pikirkan untuk dibahas dalam Lokakarya ini hanyalah : “bagaimana kita bisa mencarikan jalan bagi para Hakim kita agar dalam menjatuhkan pidana yang bergerak dalam batas minimum dan maksimum ancaman pidana, bisa dicapai suatu "keserasian dalam pertimbangan" (consonant of consideration) yang menghasilkan suatu "kesamaan dalam pemidanaan" (parity in sentence)”. Selanjutnya yang perlu dipahami, bahwa arti kata "sama" adalah berbeda dengan arti kata "seragam". "Keseragaman" pemidanaan cenderung membuat seorang Hakim menjadi tumpul rasa keadilannya dan perannya bisa berubah menjadi seorang "tukang hukum profesional". Sedangkan " kesamaan " pemidanaan masih tetap didasarkan pada pertimbangan yang serasi, dalam arti serasi dengan putusan-putusan terdahulu yang sudah pernah ada, serasi dengan putusan-putusan Hakim lain mengenai tindak pidana yang sama/sejenis, serasi dengan rasa keadilan masyarakat dan serasi pula dengan rasa keadilan si terpidana. Di sini masih ada "kebebasan" yang dimiliki Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan Hakim Pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi (consistency of sentences). Akan tetapi, bukanlah uniformitas mutlak yang dimaksudkan karena dapat bertentangan dengan prinsip kebebasan Hakim, aturan batas maksima dan minima dari hukuman dan bertentangan dengan rasa keadilan maupun " keyakinan Hakim“. Faktor yang diperlukan adalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan pula rasa keadilan si-terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan "checking points". yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikut sertakan ahli-ahli yang disebut "behaviour scientist". Istilah uniformitas pemidanaan dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya diusulkan istilah lain yakni "ketepatan dan keserasian pemidanaan".
Harus diakui bahwa diparitas yang menyolok dalam pemidanaan selain menimbulkan rasa ketidak-puasan di kalangan masyarakat, juga menimbulkan, masalah yang serius dalam administrasi pemasyarakatan. Narapidana yang mendapatkan pemidanaan yang relatif lebih lama dari nara¬pidana yang lain yang melakukan tindak pidana yang sejenis, akan merasa telah diperlakukan tidak adil. Akibatnya dia akan bersikap memusuhi pejabat-pejabat penegak hukum, sehingga sangat menyulitkan bagi rencana pembinaannya oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan.
C. Pemikiran Untuk Mengurangi Terjadinya Disparitas Pemidanaan di Indonesia.
Bertolak dari tujuan pemidanaan yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional kita yang akan datang, masih akan mengalami kesulitan usaha untuk mengurangi timbulnya disparitas pemidanaan, di pengadilan. Misalnya mengenai penggunaan standar pemidanaan yang dibagi menjadi "base term", "mitigated term" dan "aggravated term ".
Kesulitan di Indonesia yaitu untuk menentukan standar pemidanaan itu, misalnya saja untuk tindak pidana "korupsi" berapa standar pemidana¬an yang dirasa "baik" bagi seorang pelaku korupsi yang telah merugikan keuangan negara. Mengingat bahwa tujuan pemidanaan adalah "bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia".
Apakah standar 1 tahun (mitigated term), 4 tahun (base term), dan 7 tahun (aggravated term) dapat dikatakan "baik"? Artinya "baik" ini adalah dalam hubungannya dengan apakah sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan, apakah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, apakah sesuai dengan ke¬bebasan Hakim dan apakah sesuai dengan Pancasila, Undang¬undang Dasar 1945, GBHN dan dapat menunjang pembangunan bangsa di segala bidang ?
Untuk mengatasi disparitas yang menyolok ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, dalam bukunya yang berjudul "Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana" menguraikan beberapa tehnik untuk mengurangi disparitas tersebut, yaitu antara lain:
1. dengan menggunakan data-data pemidanaan,
2. dengan menggunakan "Checking List" atau "tabel pemidanaan",
3. dengan menggunakan "prediction table" atau "tabel peramal" ataupun
4. dengan menggunakan "patokan pidana".
Tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan terdakwa yang harus seragam dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa lain yang melakukan kejahatan yang sejenis dengan ihwal yang sama. Perundang-undangan selanjutnya juga berpendapat dan menyatakan bahwa untuk menghilangkan disparitas dan memberikan keseragaman dalam penghukuman dapat dicapai dengan cara menetapkannya dalam undang-undang jumlah hukuman yang pasti/fixed, yang harus diterapkan oleh pengadilan sesuai dengan beratnya kejahatan yang ditetapkan dalam undang-undang itu pula. Maka oleh karena itu Ketua Pengadilan dalam menentukan standar pemidanaan itu tidak dapat melakukannya sepihak saja. Pertama-tama dia harus mengumpulkan data-data mengenai hukuman yang pemah dijatuhkan untuk satu jenis tindak pidana itu yang pernah dijatuhkan oleh Hakim-Hakim dalam wilayah hukumnya dalam jangka ("kurun") waktu tertentu. Kemudian data-data yang sudah terkumpul itu diajukan dalam suatu rapat majelis dengan seluruh Hakim-Hakim dalam wilayah hukum pengadilan itu. Dalam rapat majelis itu harus satu persatu Hakim tersebut didengar pendapatnya me¬ngenai segi-segi yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan, rasa keadilan, dan sebagainya yang kesemuanya harus di "uji "kan terhadap data-data yang sudah dikumpulkan tadi. Kalau sudah dapat dicapai kata sepakat mengenai standar pemidanaan itu, maka standar pemidanaan yang akan ditetapkan oleh Ketua Peng¬adilan tersebut merupakan keputusan bersama antara seluruh Hakim-Hakim dalam wilayah hukum pengadilan tersebut. Di sini berarti bahwa apa yang dinamakan kebebasan Hakim itu, apabila standard pemidanaan sudah menjadi keputusan, menjadi agak sedikit dibatasi, dalam arti Hakim itu hanya dapat bergerak di antara mitigated term, base term dan aggravated term saja. Kebebasan Hakim yang sebenarnya adalah pada waktu masing-masing Hakim itu mengutarakan pendapat serta rasa keadilannya dalam rapat majelis ketika membicarakan penetapan standar pemidanaan ber¬dasarkan data-data hukuman yang sudah dikumpulkan di atas.
Mengingat sangat kompleksnya segi-segi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan standar pemidanaan ini, H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja berpendapat, sebagai langkah pertama kita terpaksa harus mulai per- Pengadilan Negeri dahulu. Apabila standar pe¬midanaan yang ditetapkan di masing-masing pengadilan negeri tersebut sudah berjalan beberapa tahun, baru kita bisa menetap-kan standar pemidanaan untuk satu wilayah pengadilan tinggi. Apabila standar pemidanaan itu sudah mulai dapat ditetapkan per-Pengadilan Tinggi, di sinilah sistem yang dipergunakan di Jepang dapat diikuti dalam rangka menetapkan standar pemidanaan untuk seluruh Indonesia. Yakni melaksanakan mutasi Hakim secara teratur dan secara tepat, sehingga pengalaman-¬pengalaman di tempat-tempat yang lama dapat di terapkan di tempat-tempat yang baru (khusus mengenai penghukuman ini), mengadakan latihan-latihan bagi para Hakim, dan sebagainya. Untuk menetapkan alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman, tentunya tidak sesulit pada waktu ia harus menetapkan standar pemidanaan. Oleh karena itu untuk menetapkan alasan-alasan ini tidak perlu ditempuh cara-cara seperti pada waktu akan menetapkan standar pemidanaan tersebut, akan tetapi dapat ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Penegakan hukum menurut Hikmahanto Juwana, merupakan faktor penting dalam kehidupan hukum Indonesia, tanpa penegakan hukum yang kuat, hukum tidak akan dipersepsikan sebagai ada oleh masyarakat. Akibatnya hukum tidak dapat bahwa tanpa penegakan hukum yang kuat, maka hukum tidak akan dapat menjalankan fungsi yang diharapkan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan ekonomi tanpa penegakan hukum dan institusinya tidak akan dapat menjamin pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
D. Sistem Pidana Minimum Khusus
Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Ini berarti, pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus.
Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka tampak hal-hal berikut:
1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan tahun dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran miliaran rupiah.
2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum, pidana kurungan minimum khusus, dan pidana denda minimum. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan, bahwa delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualijizierte delikte).
3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.
4. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus, adalah bersumber pada belum adanya "pola pemidanaan" yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya berpotensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi.
Apabila ketika faktor-faktor yang memperingan pidana demikian dominan, maka kepada Hakim juga dituntut untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan. Namun demikian yang dapat menimbulkan permasalahan adalah seberapa jauh memberi peluang kebebasan kepada Hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing-sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang juga "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas-limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis.
Sebagaimana menurut rencana dalam KUHP Nasional yang akan datang juga akan ada ketentuan yang mengatur soal "straftoemetingsregel" yang memuat hal-hal yang memperingan dan memperberat pidana. Penetapan mengenai alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman ini adalah sangat penting dalam rangka keserasian dalam pertimbangan putus¬an Hakim. Dengan berpedoman pada penetapan ini maka antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lain dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana yang dijatuhkan akan terdapat keserasian, sehingga pidana yang akan dijatuhkannya pun akan sama satu sama lain. Demikian artikel ini tunggu artikel berikutnya.
semua berbicara bebas tentang hukum... bebas argumen, tapi harus mempunyai dasar
Rabu, 11 November 2009
Selasa, 10 November 2009
PEMAHAMAN UNSUR MEMPERKAYA, DAN ATAU MENGUNTUNGKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
-->
By Dominggus Silaban,SH.MH
Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi
A. Latar Belakang.
Korupsi merupakan tindak pidana yang memiliki dimensi amat luas, perbuatan korupsi merupakan salah satu penyebab kehancuran strata sosial masyarakat dan hajat hidup orang banyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia. Korupsi saat ini harus dilihat sebagai tindakan yang luar biasa (extraordinary) dan tidak bertanggung jawab yang bersifat sistemik, endemik dan "flagrant".
Kenyataan pada praktiknya, penjatuhan hukuman yang sangat ringan dibanding dengan ancaman pidananya, menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya kejahatan adalah disebabkan karena para Hakim memberikan hukuman ringan atas pelaku koruptor, sementara yang seyogianya tindakan yang diambil pengadilan adalah merupakan “Ultimum remedium” terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi.
Contoh kasus, sebagai bahan perbandingan putusan pidana dalam kasus korupsi:
1. Putusan Mahkamah Agung RI [1] dalam perkara pidana korupsi No. 752 K/Pid/2007 tertanggal 16 Mei 2007, atas nama terpidana Drs.Idris Achmad, dkk. dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp.953.632.531,50. (sembilan ratus lima puluh tiga juta enam ratus tiga puluh dua ribu enam ratus tiga puluh satu rupiah lima puluh sen) dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun.
2. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana korupsi No.95 K/Pid/2006 tertanggal 14 Pebruari 2006, atas nama terpidana Suhardi Spd. Bin Umar Sahari, dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah) dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun.
3. Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana korupsi No.64 K/Pid/2006 tertanggal 22 Maret 2006 , atas nama terpidana H.M.Mawardie Madani, SH Bin H.Abd Muis Madani, dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp.218.055.400,-(dua ratus delapan belas juta lima puluh lima ribu empat ratus rupiah) dan dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.
Memperhatikan contoh kasus pidana korupsi diatas ternyata pada prakteknya masih terdapat hal-hal yang terabaikan, karena pada pertimbangan putusan Hakim yang tidak secara jelas dan tegas membedakan nilai nominal kerugian negara yang hilang akibat perbuatan terpidana, dalam arti-kata bahwa Hakim belum melakukan pembedaan atas pengertian/definisi daripada unsur memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, atas setiap kasus pidana korupsi yang diputuskannya, sehingga mengakibatkan penjatuhan hukuman menjadi tidak proporsional. Selain itu juga Hakim dalam putusannya tidak pula mempertimbangkan keberadaan antara tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan tindak pidana korupsi yang akan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbedaan sedemikian seharusnya dikemukakan oleh Hakim dalam putusannya, sehingga terlihat jelas klasifikasi antara suatu tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (kerugian negara secara nyata telah terjadi atau keuangan negara sudah berkurang), dengan tindak pidana korupsi yang akan merugikan Negara (kerugian negara belum terjadi atau keuangan negara masih tetap seperti sedia kala, tidak berkurang).
Untuk itulah masalah penjatuhan hukuman tidak hanya penting bagi Hakim dan proses peradilan belaka. Pola penjatuhan hukuman tersebut sangat penting bagi proses hukum secara menyeluruh terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu unsur yang harus dipegang agar proses penegakan hukum berjalan lancar, adalah kepercayaan dan penghargaan yang tinggi terhadap hukum. Kemungkinan besar hal itu tidak akan tercapai apabila penjatuhan hukuman terlalu-besar variasinya. Hal ini juga menyangkut masalah keadilan (“kesebandingan”), yang biasanya diharapkan akan datang dari pengadilan sebagai lembaga atau peradilan sebagai suatu proses. Selama lembaga tersebut tidak memperhatikan akibat dan penjatuhan hukuman, maka akan sulit untuk melembagakan kepercayaan warga masyarakat kepada pengadilan. Yang diharapkan oleh bagian terbesar dan warga masyarakat adalah, bahwa hukuman yang dijatuhkan benar-benar menimbulkan perubahan yang signifikan dalam menghadapi persoalan kasus-kasus Korupsi yang telah memporak-porandakan sendi-sendi dalam bermasyarakat dan bernegara .
B. Identifikasi Masalah.
Permasalahan yang timbul sehubungan dengan hal-hal yang sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa perlu untuk memperhatikan dan sangat penting untuk melakukan pemahaman dan kajian tentang hal sebagai berikut :
1. Apakah ketidakjelasan pengertian dan pengaturan mengenai kriteria memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dalam tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 20 tahun 2001, menyebabkan timbulnya disparitas putusan Hakim ?
2. Bagaimana pengertian dan pengaturan mengenai kriteria “memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi“ agar ada kesamaan pedoman bagi Hakim, sehingga tidak terjadi disparitas putusan Hakim yang mencolok ?
C. Pengertian Unsur Memperkaya Dalam Tindak Pidana Korupsi.
Pembahasan mengenai tindak pidana korupsi selayaknya menguraikan hal-hal mengenai kriteria/pengertian memperkaya dan atau menguntungkan, yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undang-undang nomor 20 tahun 2001. Perlu ditegaskan bahwa pembahasan yang dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini secara khusus adalah terbatas mengenai “unsur memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi“, dalam arti bahwa terhadap unsur lain yang terdapat/termuat pada Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undang-undang nomor 20 tahun 2001 harus telah terlebih dahulu dipertimbangkan dan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terhadap unsur-unsur korupsi lainnya tersebut, hanya akan dibahas seperlunya;
Pada prinsipnya terdapat 2 (dua) rumusan penting dalam memahami persoalan tindak pidana korupsi tersebut, antara lain:
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi.
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi.
Berdasarkan hal diatas, maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Perbuatan memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum.
b. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
Untuk rumusan diatas, maka pemahaman batasan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus diartikan sebagai telah mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Menurut undang-undang tindak pidana korupsi, pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi haruslah dikaitkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) undang-undang nomor 31 tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) undang-undang nomor 20 tahun 2001 :
1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan, yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3) Pasal ini merupakan alat bukti “petunjuk” dalam perkara korupsi, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi : (Pasal 38B ayat (1) undang-undang nomor 20 tahun 2001)
Sehingga apabila terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketentuan undang-undang ini merupakan beban pembuktian terbalik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2) undang-undang nomor 20 tahun 2001. Walaupun menurut ketentuan hukum, tidak semua delik korupsi dapat dikenakan uang pengganti, kecuali hanya rumusan delik yang berunsurkan atau bagian intinya ada kerugian negara atau perekonomian negara. Terhadap delik suap tidak ada kerugian negara, sehingga tidak ada penghukuman uang pengganti. Pidana tambahan berupa uang pengganti khusus hanya berlaku bagi delik yang tersebut pada Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi. Demikian juga terhadap delik penggelapan oleh pegawai negeri eks Pasal 415 KUHP, yang sekarang tercantum di dalam Pasal 8 undang-undang tindak pidana korupsi dapat diterapkan uang pengganti jika uang yang digelapkan itu adalah uang negara, lain halnya apabila uang yang digelapkan itu uang swasta yang disimpan karena jabatan oleh pegawai negeri itu, misalnya panitera pengadilan yang menggelapkan uang konsinyasi milik swasta.
Menurut undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kriteria suatu perbuatan korupsi adalah:
a) adanya unsur kerugian bagi negara, tetapi pada kenyataannya unsur kerugian bagi negara itu sulit pembuktiannya karena deliknya delik materiel. Namun, didalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 unsur kerugian negara tetap ada, namun kemudian rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian atau tidak bagi keuangan negara.
b) adanya perbuatan yang menguntungkan dan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan meliputi karena adanya penyalahgunaan wewenang atau kesempatan. Kriteria ini sudah diperluas karena ada istilah karena jabatan, kedudukan, dan seterusnya, termasuk juga suap-menyuap, baik antara bukan pegawai negeri maupun pegawai negeri. Begitu juga dengan pemberian hadiah dan janji pada undang undang yang baru, kriterianya sudah diperluas.
Apa yang dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, yang menjadi persoalan adalah apakah yang dimaksudkan itu adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan mengenai “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud itu adalah perbuatan aktif”. [2]
Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya, jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut, maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.
Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001) dan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001), merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.
Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis, unsur “memperkaya diri” sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Secara umum, tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu, maka variabel utama dalam korupsi adalah kekuasaan, dengan kata lain mereka yang memiliki kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik akan berpeluang besar untuk melakukan perbuatan korupsi, sedangkan dalam konteks otonomi daerah, tindak pidana korupsi terjadi mengikuti kekuasaan yang terdesentralisasi ke tingkat lokal.
Mencermati ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, maka secara khusus dalam Pasal 2 ayat (1) diatur mengenai unsur “memperkaya”, dan pada Pasal 3 mengenai unsur “menguntungkan”. Hanya saja pada bagian penjelasan atas undang-undang korupsi tersebut sama sekali tidak menjelaskan kriteria dari pada unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan”, kecuali hanya menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang korupsi ini memuat ketentuan pidana yang menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati. Hal ini memperlihatkan bahwasanya Hakim memiliki suatu kewenangan untuk melakukan diskresi dalam menentukan hukuman bagi pelaku korupsi atas unsur “memperkaya” antara hukuman minimal 4 (empat) tahun dan maksimal seumur hidup atau hukuman mati. Begitu juga dengan dendanya mengikuti denda maksimal sesuai dengan ketentuan di atas. Dengan demikian penerapan penjatuhan hukuman pidana dengan ancaman minimal dan maksimal, yang sudah semestinya memiliki sifat yang imperatif bila ditinjau dari undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi pada prakteknya memiliki sifat yang limitatif, yang berakibat pencapaian tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi mengalami kesulitan. Apalagi bila mencermati redaksi pasal-pasal seperti unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” didalam undang-undang dimaksud, yang belum diatur secara jelas tentang kriteria/definisi/pengertiannya, sehingga dapat berdampak multitafsir. Hingga saat ini sangat banyak ditemukan putusan-putusan Hakim pidana tindak pidana korupsi yang tidak memuat pertimbangan hukum secara jelas, khususnya mengenai pembedaan kriteria unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” .
Memperhatikan sejarah undang-undang korupsi yang pernah ada, hampir dapat dipastikan kesemuanya tidak pernah memuat / menguraikan secara tegas tentang kriteria/pengertian unsur memperkaya, selain hanya dalam penjelasan Pasal (1) undang-undang nomor 3 tahun 1971 dikatakan bahwa perkataan “memperkaya” dapat dihubungkan dengan Pasal 18 undang undang nomor 3 tahun 1971, yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga penambahan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya dapat digunakan untuk memperkuat saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Walaupun pada praktiknya, Pengadilan Negeri tidak berkewajiban pula untuk senantiasa menghubungkannya dengan Pasal 18 tersebut apabila terdakwa telah mengakui sendiri telah mendapat uang negara tersebut.
Memori penjelasan tersebut, bermaksud hendak menghubungkan larangan untuk "memperkaya diri" sehubungan pada undang-undang tindak pidana korupsi dengan kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan atas permintaan Hakim. Kewajiban tersebut tidak ada, apabila Hakim tidak memintakannya, sehingga penambahan kekayaannya yang tidak wajar dapat diredusir dari keterangannya dan dipandang sebagai petunjuk dari adanya perbuatan “memperkaya diri” yang harus diperkuat dengan alat bukti lain, seperti alat bukti kesaksian. Pemeriksaan terhadap seorang terdakwa, yang didakwa "memperkaya diri" sendiri (dengan melawan hukum) umumnya tidak menyebut dalam pertimbangannya apakah atas permintaan Hakim itu ia dapat memberikan keterangan sumber kekayaannya. Oleh karenanya dalam mengadili perkara-perkara tindak pidana korupsi tersebut, Hakim mengadakan penafsiran tersendiri tentang perbuatan untuk "memperkaya diri" sendiri, sehingga, ketidakberhasilan untuk memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim tidaklah dengan sendirinya, atau tidak secara otomatis telah membuktikan bahwa terdakwa telah "memperkaya diri" dalam perkara korupsi, melainkan harus ada keterangan saksi yang dapat menjelaskan bahwa terdakwa tersebut telah "memperkaya diri".
Memahami arti kata "memperkaya diri", dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan, bahwa memperkaya[3] berarti menjadikan lebih kaya, orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. Secara harfiah ”memperkaya”[4] artinya bertambah kaya, sedangkan kata ”kaya” artinya mempunyai banyak harta, uang dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. Dan penafsiran istilah ”memperkaya” adalah menunjukkan adanya perubahan kekayaan seseorang atau pertambahan kekayaan yang diukur dari penghasilan yang diperolehnya.
Memang sulit untuk menegaskan suatu dalil/rumusan sampai dimana dikatakan seseorang itu kaya, karena merupakan hal yang sangat subjektif sekali, namun demi kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum, maka perumusan unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” harus mendapat pengertian yang sah.
Oleh karenanya didalam materi ini, akan diinvetarisir pendapat-pendapat para pakar hukum, atau referensi lainnya untuk mengartikan unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan”.
Andi Hamzah[5], mengatakan bahwa perbuatan yang dipidanakan dengan sarana yang ditempuh yaitu memperkaya diri sendiri (atau orang lain atau suatu badan) dengan melawan hukum adalah demikian luas sifatnya sehingga banyak perbuatan yang dilakukan oleh seorang swasta dapat dimasukkan dalam perumusan yang sangat luas itu.
Hal ini dapat dilihat dalam perkara korupsi Endang Wijaya, bahwa ia dikeluarkan dari Pasal 1 huruf a undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagai dasar tuduhan, sedangkan dalam perkara pajak terhadap seorang Presiden Direktur berwarganegara Jepang ia pula dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging). Tidak diketahui, sebab apakah pelepasan dari segala tuntutan hukum tersebut, apakah ia tidak memenuhi unsur "memperkaya diri sendiri dan seterusnya", ataukah unsur lain "melawan hukum" ataukah ia dipandang tidak dapat bertanggungjawab pidana secara strict, secara pribadi.
Bahkan dikemukakan suatu pendapat lain mengenai pengertian "memperkaya diri sendiri" dalam Pasal 1 ayat (a) tersebut oleh pihak Kejaksaan (26 orang asisten operasi Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia dan 14 senior Jaksa, yang menghadiri pendidikan bidang operasi di Jakarta),[6] yang menyatakan bahwa istilah "memperkaya diri" harus diartikan:
"Adanya perubahan berupa tambahan kekayaan atau perubahan cara hidup seseorang seperti orang kaya".
Perluasan pengertian istilah "memperkaya diri” dari rumus semula dalam penjelasan undang-undang tindak pidana korupsi tersebut, masih merupakan suatu persoalan yuridis apakah dapat dibenarkan, terlepas dari tambahan ketentuan tentang "perubahan cara hidup seseorang seperti orang kaya" yang tampaknya tidak normatif sifatnya dan dari pertanyaan, apakah cara hidup dapat dimasukkan dalam penambahan kekayaan yang tidak wajar dan tidak seimbang itu.
Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, sebagai Pengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971, dikatakan bahwa perbuatan korupsi mengandung lima unsur ;
(1) melawan hukum atau pertentangan dengan hukum,
(2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
(3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
(4) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
(5) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
Demikian pula Andi Hamzah[7] menguraikan: ……. ketika telah nyata terdakwa terbukti telah mengambil uang atau menggelapkan uang dalam jumlah tertentu sehingga merugikan keuangan Negara, tidak perlu dihubungkan dengan Pasal 18 UUPTPK 1971 yaitu tentang apakah kekayaannya seimbang dengan penghasilan atau pendapatannya. Kemudian, dengan uang yang diambil itu apakah dipakai untuk membeli harta kekayaan ataukah tidak, menurut beliau bukan persoalan dalam unsur ini. Dengan demikian, perbuatan korupsi memperkaya diri tidak perlu berarti pembuat harus telah menjadi kaya dalam arti memiliki harta benda yang banyak. Selanjutnya oleh Andi Hamzah, menguraikan pertimbangan Pengadilan Negeri Medan mengenai relatifnya pengertian memperkaya diri, sebagai berikut :
” Menimbang, bahwa oleh karena itu menurut Majelis memperkaya juga berarti relatif, artinya suatu perbuatan/kegiatan menjadikan suatu kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu dijadikan lebih meningkat lagi dalam pengertian yang tetap relatif walaupun secara subjektif orang yang bersangkutan mungkin merasa belum kaya/tidak kaya ”;
Selanjutnya diuraikan oleh Andi Hamzah dalam bukunya tersebut pada halaman 184 yang mengutip pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dalam kasus Roni Hermawan, bahwa kata ”memperkaya” adalah dapat ditafsirkan bahwa orang yang sudah kaya masih menambah kekayaan atau orang lain tidak harus kaya kemudian menjadi kaya karena menambah kekayaannya ”;
Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah [8] :
1) Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2) Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
3) Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, oleh pembuat undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, akan tetapi hal ini dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (4) dimana terdakwa/tersangka berkewajiban memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan yang digunakan sebagai alat bukti.
Berbeda dengan pendapat Andi Hamzah mengenai unsur “ Memperkaya diri “ tersebut diatas, Oemar Seno Adji [9] telah menulis penafsiran sendiri mengenai pengertian tentang perbuatan “ Memperkaya diri “, yang sering terlihat dalam beberapa perkara dengan melepaskan hubungannya dengan Pasal 18 undang-undang nomor 3 tahun 1971 pada hakikatnya adalah diluar konteks perundang-undangan dan penjelasan resminya. Dari pendapat Oemar Seno Adji tersebut nampak bahwa beliau tidak mempermasalahkan kemungkinan timbulnya kasus Korupsi yang pada saat disidik harta kekayaan yang ratusan juta rupiah telah habis dipakai berjudi atau berfoya-foya oleh tersangka, kalau terjadi hal seperti itu dengan berpegang pada pendapat Oemar Seno Adji, apakah unsur “Memperkaya diri. “ masih dapat dibuktikan ?
Dalam kaitan antara unsur “memperkaya ”, diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan Pasal 18 undang-undang nomor 3 tahun 1971, penjelasan dan undang-Undang itu sendiri, menggunakan kata “ dapat dihubungkan “ berarti tidak mesti selalu harus dihubungkan, jadi bila terdapat cukup bukti bahwa tersangka/terdakwa atau orang lain atau suatu Badan “telah memperoleh” harta (uang/ barang) dan hasil perbuatan tersangka/terdakwa yang melawan hukum, maka pembuktian unsur ini sudah cukup;
Kata-kata “ telah memperoleh diberi tanda kutip, sebab hasil korupsi tersebut oleh Pasal 1 ayat (1) tidak hanya dari hasil “ Mengambil/Menggelapkan” tetapi juga dari sumber lain misalnya “menerima hasil dari suatu pertanggungjawaban fiktif. Demikian juga bahwa walaupun harta kekayaan tersebut tidak ada bekasnya lagi tetapi delik telah selesai, maka unsur ini pun tetap dapat dibuktikan adanya .
Sebagai kesimpulan, ternyata tidak satupun ditemukan adanya kesamaan rumusan/formula tentang pengertian "memperkaya diri" baik dalam pengaturan undang-undang maupun menurut pendapat para ahli didalam menentukan suatu jumlah nilai tertentu, atau kriteria/ukuran seseorang atau korporasi dapat dikatakan sebagai suatu hal memperkaya, kecuali hanya menyatakan adanya pertambahan harta bagi pelaku/orang lain/suatu korporasi.
Pengertian memperkaya tidaklah cukup hanya diartikan telah bertambahnya harta sipelaku/orang lain/suatu korporasi, hal ini dirasa perlu untuk lebih berhati-hati dalam mengantisipasi disparitas penjatuhan hukuman/pemidanaan bagi diri terdakwa apalagi bila memperhatikan/mencermati besaran harta yang bertambah oleh sipelaku tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerugian negara ada yang mencapai ratusan juta rupiah, milyaran rupiah, bahkan triliunan rupiah;
Unsur " memperkaya “ diri atau orang lain atau suatu korporasi lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan, namun secara teoritis, unsur " memperkaya “ diri...” sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya.
Undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, telah memberi kesempatan bagi Hakim untuk merumuskan hukum baru dalam penanganan kasus yang dihadapinya, dalam hal kasus tersebut tidak jelas aturan hukumnya sepanjang hal tersebut masih relevan dan tidak menyimpang dari maksud pembuat undang-undang serta demi tercapainya rasa keadilan dan kebenaran masyarakat. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin menemukan dan merumuskan hukum baru dengan mempedomani Yurisprudensi yang ada untuk menutupi kelemahan dan kekosongan hukum yang masih ada dalam undang-undang yang berlaku demi tercapainya rasa keadilan dan kebenaran dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat, akan tetapi nyatanya Hakim maupun penegak hukum lainnya yang oleh Negara diberi kepercayaan sebagai yang diharapkan dalam hal penanganan tindak pidana Korupsi masih belum terlihat adanya upaya yang maksimal .
Namun demikian penulis akan mengutip suatu pendapat hukum yang telah dijadikan tolok ukur atas unsur ” memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” dalam suatu tindak pidana Korupsi [10] adalah, ” ” seberapa besar kerugian negara telah disalahgunakan/ diselewengkan oleh perbuatan terdakwa tersebut ”, terlepas daripada penggunaan keuangan negara tersebut oleh kepentingan terdakwa sendiri atau kepentingan orang lain maupun untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki/tidak dikehendaki oleh terdakwa, sehingga tidak perlu harus memperhatikan bertambahnya kekayaan terdakwa, akan tetapi dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh kepada terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah, dan oleh karena itulah setiap tindak pidana korupsi bukan hanya dikategorikan sebagai White Collar Crime semata, akan tetapi lebih daripada itu disebut pula sebagai perbuatan yang bersifat Extra Ordinary Crime ;
Dalam pertimbangan hukum Putusan pidana kasus Korupsi Pengadilan Negeri Sukabumi No.31/Pid.B/2008/PN.Smi atas nama terpidana DRS. ENDIN SAMSUDIN, MM., tertanggal 03 Juli 2008, halaman 385, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.334/Pid/2008/PT.Bdg, tertanggal 01 September 2008 Majelis Hakim dalam kesempatan tersebut telah memberikan batasan kerugian negara senilai Rp.100.000.000.-(seratus juta rupiah), untuk dapat memudahkan kategori/ukuran nilai ”memperkaya” sebagai suatu kriteria dalam menentukan batas dan tolok ukur yang membedakan antara kriteria unsur ”memperkaya” dengan kriteria unsur ”menguntungkan”;
Dengan perkataan lain memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak harus berarti terdakwa menjadi kaya atau bertambah kekayaannya atas perolehan keuangan negara tersebut.
Selanjutnya, dalam pengertian kaya yang harus diperhatikan bukan saja si pelaku menjadi bertambah kekayaannya di luar apa yang semestinya ia dapatkan secara sah/resmi, akan tetapi juga menyangkut nilai / substansi dari jumlah uang yang ia terima sehingga dapat dikatakan si pelaku tersebut karenanya menjadi kaya. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji [11] tentang memperkaya dapatlah dikutip sebagai berikut:
a. Jika tindak pidana Korupsi jenis pertama ini kita teliti maka disitu ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu :
1) Melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.
2) Perbuatan memperkaya ini diartikan berbuat apa saja, seperti mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga karena perbuatannya tadi sipelaku bertambah kekayaannya.
3) Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum. Melawan hukum disini diartikan secara formal dan material, dan harus dibuktikan karena dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik.
4) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau perbuatan itu diketahui atau patut diduga oleh sipembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Perbuatan ini yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara itu harus dibuktikan adanya secara objektif,
b. Jenis pidana korupsi yang kedua unsur-unsurnya adalah :
1) Kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan.
2) Tujuan menguntungkan diri sendiri orang lain atau suatu badan ;
3) Adanya suatu perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ;
B. Pengertian Unsur Menguntungkan Dalam Tindak Pidana Korupsi.
Setelah pembahasan pengertian unsur "memperkaya“ diri atau orang lain atau suatu korporasi (vide Pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001), kemudian dilakukan pembahasan pengertian unsur dengan tujuan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001), yang adalah merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu apakah sipelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi, karena cukuplah si pelaku telah " memperkaya “ orang lain atau menguntungkan orang lain.
Sehingga unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, mengandung arti bahwa padanya terdapat fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.
Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak.
Tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau suatu badan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah merupakan unsur bathin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan tersebut. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka itu (ante factum dan post factum).
Mengutip pendapat R. Wiyono, yang menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “menguntungkan” sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.” Dengan demikian pengertian ”menguntungkan” adalah ”menguntungkan” dalam arti finansial, bukan dalam arti non finansial.
Oleh karenanya berdasarkan teori-teori diatas, diantara kedua unsur tersebut memiliki pengertian yang multitafsir, sebagai berikut :
1. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1)) dan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3), merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.
2. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis, unsur “memperkaya diri” sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya padanya ada fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.
Sehingga jika terjadi perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan “keuangan negara” (termasuk keuangan BUMN/BUMD yang tercampur dengan keuangan masyarakat melalui go public) maka termasuk perbuatan korupsi. Sedangkan jika itu termasuk keuangan swasta atau bukan Negara maka dengan sendirinya masuk hukum perdata yang dapat dilakukan gugatan ganti kerugian melalui Pasal 1365 BW atau onrechtmatige daad.
3. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3) yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Di sini tidak ada perhitungan sebelum menjabat dan sesudah menjabat. Subyeknya dijelaskan ialah pejabat publik bukan orang swasta.
Perhitungan jumlah kerugian negara juga harus dengan akuntan publik dan berapa besar uang pengganti yang harus dibayar memerlukan perhitungan yang cermat dibuktikan dengan alat bukti yang ada. Jika dilihat penjelasan Pasal 32 ayat (1) maka juga harus dengan perhitungan oleh akuntan publik. Hakim pun harus memakai pertimbangan obyektif dengan hati nuraninya, dengan memperhatikan apa yang telah terbukti di sidang pengadilan.
Sebagaimana dari seluruh uraian dan penjelasan tersebut, ternyata dari rumusan pengertian tersebut, tidak terdapat formulasi khusus mengenai kriteria, seberapa besarkah ukuran/nilai kerugian negara yang telah diakibatkan pelaku dapat diklasifikasikan/dikategorikan telah “memperkaya“ serta untuk menentukan ukuran / nilai “ menguntungkan “.
Wirjono Prodjodikoro, menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum.[12]
Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang dan semua hukum yang terdapat pada undang-undang, hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. Akan tetapi bilamana ternyata kemudian bahwa undang-undang itu tidak jelas, dan andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin dapat dibuat secara lengkap dan tuntas. Sebab tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas dapat mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Oleh karenanya melalui interpretasi atau penafsiran suatu undang-undang akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.
Hanya saja menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann, mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.[13]
Kesimpulan :
1. Agar dapat memberantas korupsi secara berdaya guna perlu adanya ketentuan perundangan yang minimal memenuhi syarat sebagai berikut:
a. mempunyai redaksional yang jelas dan mudah dimengerti oleh siapapun serta terukur nilai nominal daripada kerugian negara tersebut;
b. ancaman pidana harus rasional dan proporsional, artinya ancaman pidananya harus disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana itu sendiri;
2. Penyempurnaan/revisi perundang-undangan tindak pidana Korupsi masih sangat penting dilakukan secara khusus menetapkan tolok ukur terhadap unsur “memperkaya dan atau menguntungkan”;
3. Revisi perundang-undangan tindak pidana korupsi dimasa mendatang, harus lebih bersifat menakutkan para calon koruptor dalam hal melakukan perbuatan pidana korupsi, antara lain dengan:
a. ancaman ancaman pidana mati terhadap pelaku korupsi yang merugikan keuangan Negara minimal Rp.1.000.000.000.-(satu milyar rupiah), dan atau setidak-tidaknya, dapat memberikan suatu
b. ancaman pidana tambahan berupa “ketidakcakapan bertindak dalam hukum” dalam setiap penjatuhan putusan pemidanaan yang dijatuhkan bagi para pelaku korupsi dalam jumlah ketugian Negara minimal Rp.500.000.000.-(lima ratus juta rupiah).
4. Untuk tahap awal diharapkan agar Lembaga yang berkompeten seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Edaran sebagai pedoman kepada lembaga jajarannya dalam mengatur hal-hal diatas;
5. Dibutuhkan “Political Will” bagi setiap elemen masyarakat, secara khusus kepada aparatur Negara yang diberi kepercayaan untuk bertindak mengelola keuangan Negara untuk tidak bersikap “ ceroboh dan rakus” .
[2] .Hamdan Zoelva, Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu, dikutip dari Internet tanggal 27 maret 2009.
[3] . Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Dep.Pendidikan Nasional, penerbit Balai Pustaka Jakarta 2007, halaman 519
[4] Moch Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pustaka Bandung 2004 halaman 91.
[5]. Oemar Seno Adji dan Padmo Wahyono, Dua Guru Besar berbicara tentang Hukum , Penerbit Alumni Bandung, halaman 49-52.
[6] . Ibid. halaman 51.
[7] .Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,Edisi Revisi, Penerbit PT.Raja Grafika Persada, 2006 halaman 185.
[8].Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerbit PT.Citra Aditya Bakti Bandung 2002, halaman 31.
[10]. Putusan pidana kasus Korupsi Pengadilan Negeri Sukabumi No.31/Pid.B/2008/PN.Smi atas nama terpidana DRS. ENDIN SAMSUDIN, MM., tertanggal 03 Juli 2008, halaman 385, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.334/Pid/2008/PT.Bdg, tertanggal 01 September 2008 (penulis sebagai Hakim Anggota pada tingkat pertama).
[11] Hermien Hadiati Koewadji, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti hal. 63 s/d hal 66.
[12] . Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum – Karangan Tersebar, penerbit Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hal. 28.
[13] . Ibid., hal 205-206.
Langganan:
Postingan (Atom)