Kamis, 16 Juli 2015

Advokat Sangat Rentan Dengan Tindak Pidana Suap, Didalam Menjalankan Profesinya

Advokat Sangat  Rentan Dengan Tindak Pidana Suap,
Didalam Menjalankan Profesinya
oleh : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH
Ketua Pengadilan Negeri Kayu Agung.

A. Latar Belakang .
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan demikian advokat telah dimasukkan secara resmi berstatus sebagai  penegak hukum (Pasal 5 ayat 1). Sistem Hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan didepan hukum (equality before the law). Sehingga hak untuk didampingi Advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam system hukum Indonesia. Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat dengan prinsip-prinsip hukum yaitu equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all).
Bagi para advokat, hal pertama yang harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa profesi ini bersumber dari perasaan kemanusiaan yang mendambakan keadilan. Dikarenakan oleh itu landasan kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan hukum lahir dari panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat itu, para dermawan terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya. Diperjuangkannya nasib kaum buta hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut haknya dalam peradilan. Sejak itu pula, konsep bantuan hukum tersebut berkembang hingga saat ini.
Peran Advokat memiliki arti penting dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak saksi, tersangka maupun terdakwa. Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi terdakwa dalam menghadapi tekanan penegak hukum yang lain terhadap terdakwa. Posisi terdakwa yang berhadapan langsung dengan unsur negara (dalam hal ini diwakili oleh polisi dan kejaksaan) sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan baik dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang antara terdakwa dan negara (dapat diibaratkan seperti David dan Goliath) menyebabkan muncul pemikiran untuk memberikan kepada terdakwa hak-hak antara lain: hak untuk tidak menjawab, hak untuk didampingi advokat dan lain-lain.
Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi abuse of power yang dilakukan oleh penegak hukum yang memegang kuasa jika abuse of power dibarengi dengan judicial corruption maka dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi terdakwa ataupun saksi di dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang dituduh bersalah dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu tentang kasus korupsi ataupun bawahan dari rantai korupsi yang ada, ataupun adapula kejadian orang yang melaporkan kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang dilaporkan. Oleh sebab itu adanya pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat kepada para saksi, terdakwa atau terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam proses penegakan hukum. Walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan secara luar biasa akan tetapi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip due process of law dan presumption of innocent. Namun pada saat ini, sangat disayangkan terdapat beberapa kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para advokat dapat membuat aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi, perbuatan Korupsi dimaksud adalah perbuatan “Suap “ .           
Perbuatan “ Suap “ itu secara universal dianggap memalukan, dan tak ada satu negeripun di dunia ini yang tidak memperlakukan suap sebagai tindak kejahatan dalam buku undang-undangnya. Dan tak ada negara satupun dimana orang-orang yang menerima suap berbicara terbuka mengenai soal penyuapan mereka, atau dimana pemberi suap mengumumkan uang suap yang mereka bayar. Tak ada media yang mendata mereka, dan tak ada satupun yang mengiklankan bahwa ia dapat mengatur sebuah drama penyuapan. Tak ada satu pun orang yang dihormati karena dia seorang penyuap besar atau seorang yang menerima banyak suap.
Bukan sekedar hukum pidana, sebab transaksi itu telah terjadi sejak dahulu kala, dan waktu menyebabkannya tak mungkin dituntut ke Pengadilan , melainkan suatu rasa takut bawaan karena dianggap menjijikkan akan menghambat si penyuap dan si penerima suap untuk mengumumkan transaksi mereka.
Ironisnya, seringkali orang Eropah dengan prasangka etnosentrismenya menuduh bahwa sebuah masyarakat modern Asia atau Afrika tidak menganggap tindak penyuapan itu memalukan seperti anggapan orang Eropah.
Rasa malu dan kemunafikan dalam menggunakan bahasa merupakan ujian kejahatan terhadap keutamaan. Rasa malu barangkali terkondisi secara budaya. Rasa malu yang sedemikian kuat dan sedemikian universal itu merupakan pengakuan bahwa ada sesuatu yang pantas dijauhi dalam tingkah laku yang melampaui rasa sekedar tidak sopan dan sekadar tidak legal. Rasa malu tidak secara meyakinkan menentukan, melainkan menunjuk pada segi moral masalah tersebut ;
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan pembahasan makalah dengan topik “Advokat Sangat  Rentan Dengan Tindak Pidana Suap, Didalam Menjalankan Profesinya  “
B.  Identifikasi Masalah.
Dengan topik permasalahan yang dihubungkan dengan hal-hal yang sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa perlu untuk memperhatikan dan sangat penting untuk melakukan pembahasan tentang hal sebagai berikut :
1.    Bagaimana pengaturan  jasa seorang Advokat didalam melaksanakan tugas profesinya  diatur secara hukum ?
2.    Bagaimanakah pengaturannya, untuk mengantisipasi  terhadap seorang Koruptor yang dihukum membayar uang pengganti, namun kekayaannya telah habis atau tidak cukup disebabkan kekayaannya telah dipakai untuk membayar jasa Advokat ;
C. Kerangka  Pemikiran.
Bahwa Advokat tidak masuk pada pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka jelas tidak mungkin dapat didakwakan dan dipidana menerima gratifikasi dalam hal menerima suap dan penyuap Pasal 6 ayat (1).
Berbeda dengan hakim, karena hakim menurut hukum pidana korupsi, adalah seorang pegawai negeri yang sekaligus sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 UU No. 28/1999). Maka hakim dapat melakukan korupsi menerima gratifikasi Pasal 12B dalam hal menerima sesuatu dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Hakim yang menerima suap dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a dipastikan bahwa sesuatu yang diterimanya itu adalah untuk mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkan sebagaimana dikehendaki oleh ayat (1) huruf a. Hakim yang menerima sesuatu, misalnya uang Rp 100 juta, dipastikan uang itu ada hubungannya dengan mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkannya. Hubungan dengan putusan yang hendak dijatuhkan adalah merupakan bagian dari unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” dalam Pasal 12B ayat (1).
Sebagaimana ketentuan hukum yang diuraikan dibawah ini :
Pasal 14 UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya didalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan .
Pasal 15  UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan .
Pasal 16  UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 1 ayat (2) UU No.18 tahun 2004 tentang Advokat.
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan :
-       Konsultasi Hukum, Bantuan Hukum,
-       Menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
-       dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Namun demikian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seorang Advokat juga dapat dikenakan tindak pidana Korupsi sebagaimana hal tersebut diatur mengenai  perbuatan Advokat Menerima Hadiah atau Janji (Pasal 12 huruf d) ;
Pasal 12 huruf d merumuskan sebagai berikut :
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Advokat untuk menghadiri sidang Pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili;
Korupsi Advokat menerima suap yang dimuat pada Pasal 12 huruf d tersebut, yang dioper dari Pasal 420 ayat (1) sub 2 KUHP dengan perubahan seperlunya.
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka tampak unsur-unsurnya sebagai beikut :
Unsur-unsur Objektif  :
a). Pembuatnya             :   Advokat yang menghadiri sidang di Pengadilan.
b). Perbuatannya           :   1).  menerima (hadiah) ;
                                           2).  menerima (janji) ;
c). Objeknya                  :    1).  hadiah ; atau
                                           2).  janji ;
Unsur Subjektif :
             d). (1) diketahui atau (2) patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili ;
Unsur kesalahan korupsi suap dalam pasal 12 huruf d, yang terdiri dari 2 (dua) macam, ialah :
-          Kesalahan bentuk kesengajaan dalam hal pengetahuan, dan
-          Kesalahan dalam bentuk culpa atau kealpaan yang ditujukan pada unsur hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat Advokat tersebut untuk diberikan pada Majelis Hakim dalam rangka Hakim mengambil kesimpulan untuk memutuskan perkara yang sedang diperiksa ;
Unsur kesalahan advokat menerima suap disini ada hubungannya dengan unsur kesalahan dari korupsi menyuap advokat menurut Pasal 6 ayat (2).
Maksudnva, kesadaran advokat atau patut menduga terhadap hadiah yang diterimanya dari penyuap adalah berupa kesadaran terhadap maksud si penyuap. Artinya, baik maksud si penyuap maupun maksud advokat yang menerima suap haruslah sama ditujukan untuk mempengaruhi pendapat atau nasihat advokat tersebut.
Memberikan pendapat, atau mengarahkan pendapat advokat yang sedang menangani perkara di pengadilan tidaklah dilarang. Bahkan, baik dilakukan oleh siapa saja asalkan tidak dilakukan dengan menyuap. Advokat lawan dalam perkara perdata, atau jaksa penuntut umum dalam perkara pidana dalam kegiatan bersidang pada dasarnya adalah mempengaruhi atau mengarahkan pendapat hakim, malahan tindakan ini merupakan kewajiban, bukan larangan. Barulah menjadi larangan apabila dilakukan dengan menyuap.
Logika larangan menyuap advokat pada Pasal 6 (1) huruf b, atau larangan menerima suap sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 12 huruf d, ditujukan kepentingan hukum orang yang dibelanya atau orang yang mempercayakan penanganan perkara kepadanya agar tidak dirugikan oleh adanya pendapat yang salah atau keliru disebabkan suap tersebut. Sifat pengaruh ini tidak terbatas pada pendapat yang benar ataukah salah yang jelas pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh  yang akan merugikan kliennya sendiri.
Kini bagaimana para praktisi menghadapi tumpang tindihnya rumusan tindak pidana korupsi suap pasif tersebut. Hal tumpang-tindihnya rumusan tindak pidana,  tidak menyebabkan hukum tidak dapat dijalankan. Para praktisi tidak perlu risau. Ambil saja hikmahnya ialah para praktisi terutama jaksa penuntut umum dapat  mendakwakan semuanya. Tidak menimbulkan akibat hukum batalnya dakwaan asalkan dibuat dengan memenuhi syarat materiel dan formil surat dakwaan dalam Pasal 143 KUHAP dan syarat-syarat lain dalam praktik, logika serta doktrin hukum.
Dengan maksud dapat digunakannya sistem beban pembuktian terbalik, yarg dianggap lebih menguntungkan jaksa, maka pada setiap suap pasif agar didakwakan pula suap menerima gratifikasi Pasal 12B. Bentuk surat dakwaan dapat dibuat kumulatif antara dua atau lebih tindak pidana (ketentuan hukum pidana) atas suatu perbuatan (perbarengan peraturan, Pasal 63 KUHP) atau primer subsider. Jika kumulatif, jaksa akan membuktikan semuanya, tentu terbukti satu lainnya juga dipastikan terbukti, karena pada dasarnya dua tindak pidana tersebut adalah sama. Namun, yang dituntut adalah tindak pidana yang terberat ancaman. pidananya ;
Pasal 12 d.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000.-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.- (satu milyar rupiah);
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi  nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili ;



D. Pembahasan Masalah .
             Pada bagian pembahasan masalah ini,  tentunya akan dilakukan uraian bahasan dengan mengacu dan berdasarkan pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan  juga menggunakan literature kepustakaan .
Untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu tentang “ Bagaimana pengaturan  jasa seorang Advokat didalam melaksanakan tugas profesinya  diatur secara hukum ? “
Maka terhadap hal ini dapat kita lihat pada ketentuan hukum pasal 21 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat.
1). Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada kliennya;
2). Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Adapun pengertian daripada “Honorarium” menurut  Pasal 1  ayat (7)  Undang-Undang No.18 tahun 2003 adalah  imbalan atas jasa hukum yang diterima Advokat berdasarkan kesepakatan dengan klien .  
Yang dimaksud dengan “secara wajar” menurut penjelasan atas Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat, adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan ).
Dalam Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat tersebut, jelas tidak kita dapatkan maksud daripada si pembuat Undang-Undang tentang kriteria berapa besaran nilai nominal Honorarium atas jasa  hukum Advokat yang dimaksudkan oleh Undang-Undang  adalah “ secara wajar “ ;
Bahwa karena pasal dari ketentuan perundangan-undangan dimaksud tidak jelas mengatur batasan nilai besaran nominal Honorarium atas jasa  hukum Advokat, maka oleh karena itu dapatlah kita menafsirkan  ketentuan tersebut dengan mempergunakan interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis.

Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis.
Adapun penggunaan Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis, dilakukan apabila terhadap setiap gejala social yang senantiasa terjadi interdepedensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan) dengan gejala-gejala social yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut. Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan system perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis.
Bahwa keterkaitan dengan Undang-Undang Advokat No.18 tahun 2003 khususnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dapat dikatakan tidak jelas / tidak tegas dalam penafsirannya, yang dapat berakibat ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan, sementara dalam praktek sehari-hari dan sewaktu-waktu ketentuan itu akan dibutuhkan.
Untuk melakukan kajian terhadap ketentuan tersebut , terlebih dahulu diperlukan pemahaman dengan jelas,  bagaimana kita dapat mengetahui hubungan antara Advokat dengan kliennya dalam membela dan atau membantu dalam menangani permasalahan hukum di persidangan diikat dengan suatu penberian Surat Kuasa Khusus.
Bahwa suatu surat Pemberian Kuasa, tentunya tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku (Burgerlijk Wetboek), sehingga penafsiran atas pembahasan permasalahan pada makalah ini, akan pula berkaitan dengan Hukum Perdata dimaksud. 
Sebagaimana kita ketahui tentang Pemberian Kuasa telah diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
-          Pasal 1794 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si Kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali .
-          Pasal 1795 KUHPerdata ;
Pemberian Kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si Pemberi Kuasa.
-          Pasal 411 KUHPerdata ;
Semua wali, kecuali Bapak  atau Ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga per seratus (3 %) daripada segala pendapatan, dua per seratus (2 %) daripada segala pengeluaran dan satu setengah per seratus (1,5 %) daripada jumlah-jumlah uang modal  yang mereka terima, kecuali mereka lebih suka menerima upah yang kiranya disajikan bagi mereka dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 ; dalam hal yang demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih;
Dengan berpatokan kepada Pasal 1794 KUHPerdata, pasal 1795 KUHPerdata serta Pasal 411 KUHPerdata tentunya dapatlah dipergunakan sebagai ukuran besarnya nilai nominal Honorarium yang dimaksudkan secara Wajar, atas Jasa Hukum yang telah diberikan seorang Advokat kepada kliennya.
Hal mana pembahasan ini sangat diperlukan adalah untuk menghindari suatu tindakan terselubung yang dapat dilakukan antara seorang Advokat dengan kliennya, yaitu  dengan cara-cara pemberian Honorarium Jasa Advokat yang nominalnya besar hanyalah karena tidak adanya pembatasan yang dilakukan oleh Undang-Undang No.18 tahun 2003 tersebut.  Tentunya kontruksi hukum Interpretasi sistematis atau  interpretasi dogmatis sedemikian dapatlah dipergunakan untuk menjerat para Advokat yang nakal, yang patut diduga telah bersepakat dengan seorang kliennya yang dijerat dengan kasus tindak pidana korupsi, sementara uang pemberian Honorarium oleh terdakwa berasal dari hasil korupsi uang negara, dan apalagi dapat dimungkinkan siterdakwa setelah dinyatakan terbukti melakukan pidana Korupsi oleh persidangan, ianya tidak dapat mengembalikan uang hasil perbuatan korupsi tersebut, sementara Advokat yang melakukan pembelaan telah memperoleh penerimaan pembayaran Honorarium atas jasa hukum yang diberikannya, pembayaran Honorarium tersebut adalah hasil korupsi uang negara yang dikorupsi oleh si terpidana .
Daftar  Kepustakaan :
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.    Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3.    Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.    R. WIYONO,SH, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerbit Sinar Grafika tahun 2005.