Selasa, 23 Maret 2010

PEMBEKALAN HAKIM KARIR MENYONGSONG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PEMBEKALAN HAKIM KARIR

MENYONGSONG PEMBENTUKAN PENGADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh : DOMINGGUS SILABAN, SH.MH.

Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi.

Pendahuluan.

Bahwa sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, maka keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar pembentukannya ditentukan dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [1], yang berbunyi:

“Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”

telah dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945;

Hal ini sebagaimana termuat pada konsideran, “menimbang pada huruf c” menyatakan:

“bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar pembentukannya ditentukan dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang yang baru “;

Kemudian dibentuklah Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi [2], yang diundangkan dan disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009, dan sebagaimana pada Pasal 40 UU No.46 tahun 2009 tersebut menyatakan Undang Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan;

Sebagai amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tersebut, yang pada dasarnya sejalan dengan UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang undang tersendiri;

Demikian pula halnya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No.47 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :

° ayat (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

° ayat (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang;

Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah, “ Apa yang menjadi landasan dan tolok ukur/kriteria, yang akan diterapkan oleh Mahkamah Agung RI untuk menetapkan/menunjuk atau memilih para Hakim Karir untuk dapat mengemban tugas sebagai Hakim Tipikor tersebut “

Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah terbentuknya Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5;

Dan sejauhmana kewenangannya juga diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No.46 tahun 2009, yang menyatakan :

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara :

a. tindak pidana korupsi;

b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi;

Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini;

Dalam undang-undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur syarat-syarat keberadaan Hakim Karir yang dapat ditetapkan sebagai Hakim Tindak pidana korupsi (Tipikor), dan juga keberadaan Hakim Ad Hoc yang masih diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas Tindak Pidana Korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah;

Pembekalan Para Hakim Karir.

Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), merupakan lembaga Internasional yang telah sukses mengadakan “Conference of the States Parties to the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Nusa Dua, Bali, beberapa waktu lalu dengan mengusulkan kepada negara anggota UNCAC agar berkonsentrasi dalam tiga hal dalam memberantas korupsi, yaitu:

§ Langkah pertama adalah hal apa yang telah dilakukan oleh negara anggota (state parties) untuk memberantas korupsi dalam melaksanakan UNCAC Convention.

§ Langkah kedua adalah hal apa yang diperlukan dalam memberantas korupsi, termasuk perlunya bantuan teknis (technical assistance).

§ Langkah ketiga adalah pengembangan atas mekanisme penilaian (review mechanism) agar penyebaran korupsi dapat dikontrol dengan meninjau kembali upaya pemberantasan korupsi sehingga tidak menyebar lebih luas dan di luar kontrol.

Sehubungan dengan itu, Mahkamah Agung RI terlihat serius bahkan telah bekerjasama dengan organisasi Internasional yaitu United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) untuk memberdayakan jajarannya sehubungan untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia/SDM para Hakim karir di lingkungan peradilan umum, hal ini guna mempersiapkan diri dalam menyongsong dibentuknya disetiap ibu kota kabupaten/kota, pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana.

Hingga saat ini Mahkamah Agung RI telah melangsungkan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan bagi para Hakim karir untuk tingkat pertama dan tingkat Banding, di Pusdiklat Litbang Kumdil Mahkamah Agung RI yang berlokasi di daerah Megamendung Ciawi Bogor, dengan menunjuk para pengajar yang dianggap ahli dibidangnya meliputi Para Hakim Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Komisi Yudisial, Ketua PPATK, dan lain-lain. Dari pendidikan dan pelatihan Hakim Tipikor yang dilangsungkan oleh Mahkamah Agung RI., tersebut telah menyelesaikan 8 (delapan) angkatan yang jumlah keseluruhannya adalah + 800 (delapan ratus) Hakim Karir, dan kesemuanya telah memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang diantaranya akan ditetapkan menjadi Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 11 huruf e undang-undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

Kesemua peserta yang ditunjuk untuk mendapat pendidikan dan pelatihan serta pembekalan tersebut, diharuskan telah :

- berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;

- berpengalaman menangani perkara pidana;

- jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;

- tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan atau terlibat dalam perkara pidana;

- telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Pengadilan Tipikor ini, pada tahap awal direncanakan akan dibentuk pada 7 (tujuh) Ibu kota Propinsi, yang dapat diperkirakan akan menyerap sebanyak + 100 (seratus) Hakim Karir, dari jumlah + 800 (delapan ratus) orang Hakim Karir yang telah mendapat sertifikasi khusus sebagai Hakim Tipikor;

Hanya saja ukuran/kriteria apa, yang akan diterapkan oleh Mahkamah Agung RI untuk menetapkan/menunjuk atau memilih + 100 (seratus) Hakim Karir untuk dapat mengemban tugas sebagai Hakim Tipikor, dalam mewujudkan konsiderans Undang-Undang RI No.46 tahun 2009 butir b, yang menyatakan :

“Bahwa tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam system hukum nasional”;

Belajar dari pengalaman sejak dibentuk pertama kalinya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, disusun dengan komposisi Majelis Hakim berjumlah 5 orang, terdiri dari 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Hakim Karir) dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc (lihat Pasal 58 ayat (2) UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);

Pada komposisi Majelis Hakim sebagaimana Pasal 58 ayat (2) UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, keberhasilan putusan Pengadilan Tipikor telah menjadi suatu kebanggaan yang diakui oleh berbagai lapisan masyarakat, berbeda apabila dibandingkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri yang dirasakan tidak membawa perubahan apa-apa, bahkan sangat menjengkelkan banyak pihak;

Bagi sebagian besar masyarakat memberi anggapan atas keberhasilan Pengadilan Tipikor, adalah karena keberadaan Hakim Ad Hoc bukan karena keberadaan Hakim Karir;

Saat ini susunan majelis hakim tersebut, telah terjadi perubahan sebagaimana tertuang pada Pasal 26 Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

ayat (1).

“Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan Majelis Hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang Hakim, terdiri dari Hakim Karir dan hakim Ad Hoc”;

ayat (2).

“Dalam hal Majelis Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang Hakim, maka komposisi Majelis Hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua), dan dalam hal majelis Hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu)”;

Terhadap susunan majelis Hakim Tipikor pada undang-undang yang baru dibentuk diatas, telah mengkhawatirkan banyak pihak didalam masyarakat, seolah-olah sudah tidak ada tempat dihati masyarakat bagi Hakim Karir untuk menangani kasus / tindak pidana korupsi, apakah hal sedemikian tidak memalukan bagi lembaga peradilan di Indonesia maupun di dunia Internasional;

Sehingga atas pandangan/opini sebagian besar masyarakat tersebut, sudahkah Mahkamah Agung RI sebagai puncak tertinggi untuk peradilan di Republik Indonesia telah melakukan analisa untuk membangun kembali rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, atau cukup hanya sekedar bersikap monoton/skeptis, dan tidak menginginkan adanya perubahan/inovasi yang signifikan;

Konon Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menilai, kejahatan tindak pidana korupsi tidak termasuk kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, karena itu sebaiknya pengadilan ad hoc tidak perlu dikembangkan. Dan mengatakan, “landasan hukum pemberantasan tindak kejahatan korupsi itu ya itu-itu saja, KUHP dan UU Antikorupsi, tidak ada yang aneh karena sifat dari kejahatan itu sendiri dari dulu sudah terjadi”. Munculnya berbagai pengadilan ad hoc tersebut adalah karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap peranan hukum di Indonesia. Turunnya kepercayaan itu dapat disebabkan berbagai macam, seperti adanya intervensi pihak lain kepada pengadilan, adanya desakan dari kelompok penguasa atau adanya publik opini yang digalang melalui pemberitaan (Republika, 10 April 2007)[3]

Kita wajib merasa prihatin atas keadaan ini, sebagaimana penelitian / riset kami terdahulu (yaitu penjatuhan putusan/pemidanaan kasus korupsi) yang kemudian kami jadikan sebagai dasar penulisan artikel terdahulu (Pemidanaan dan Disparitas), ternyata sangat banyak penjatuhan putusan/pemidanaan atas kasus korupsi yang dijatuhi pidana ringan, bebas, ontslaag, dan atau pidana hukuman percobaan, sekalipun diantaranya itu terdapat kasus-kasus korupsi yang bernilai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah;

Sehingga masyarakat berpandangan, bahwa hukuman bagi koruptor tidak jauh berbeda dengan hukuman terhadap pelaku pencuri Kakao, Randu dan lain-lain;

Adalah suatu kesan yang buruk apabila kita sepaham dengan hanya mengatakan bahwa secara philosofis undang-undang Tipikor menginginkan pengembalian kerugian keuangan Negara yang dirampok oleh para koruptor, dan bukan semata-mata hanya untuk memenjarakan para koruptor, pendapat ini sungguh sangat klise, karena pada prakteknya pengembalian hasil korupsi sudah tidak utuh lagi, sebab telah dihambur-hamburkan oleh pelaku koruptor;

Tolok ukur yang harus digunakan untuk menghukum pelaku koruptor adalah kemampuan untuk memenuhi/mengutamakan kepentingan dan keadilan masyarakat guna menciptakan tertib sosial - politik dan bukan sekedar tertib hukum semata;

Bahwa masyarakat saat ini sudah bisa membedakan antara penjahat berkerah putih (White Collar Crime), Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) dengan penjahat kampungan/konpensional, disinilah peradilan ini seharusnya dapat bercermin muka untuk dapat bersikap menjadi yang terbaik demi kepentingan bangsa dan negara;

Oleh karena itu kepada Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung RI, diharuskan untuk dapat dengan selektif menunjuk Hakim Tipikor dan atau membekali kembali para Hakim Tipikor yang sudah ada maupun yang akan ditetapkan, agar tidak dengan mudahnya memberikan penjatuhan putusan/pemidanaan atas kasus korupsi dengan suatu pidana ringan, pidana bebas (Vrijspraak), pidana ontslag van Alle Vervolging, dan atau pidana hukuman percobaan, hal ini berakibat amat sangat melukai perasaan hati masyarakat banyak, bahkan pasti berdampak semakin menyengsarakan rakyat, malah dapat menjadikan kehancuran bangsa dimasa mendatang;

Para Hakim Tipikor harus pula secara tegas berjanji/bersumpah untuk memberantas korupsi, dan tidak hanya terbuai dengan retorika “membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka” akan tetapi tidak memiliki sense anti korupsi, sehingga tidak hanya menciptakan putusan berdasarkan akademisi, akan tetapi juga memenuhi persyaratan filosofis dan sosiologis ;

Keberhasilan Hakim Tipikor untuk menghukum para Koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya dan upaya pengembalian uang Negara yang telah diperolehnya akan membawa Efek yang menggetarkan bagi para Koruptor dan calon koruptor, baik koruptor kelas kakap (Grand corruption) dan koruptor kelas teri (petty corruption);

Strategi pemberantasan Tipikor dan upaya pelaksanaannya dapat digunakan dengan bermacam cara, namun tujuan harus jelas terarah dan terkordinasi, agar kinerja peradilan Tipikor memiliki manfaat dan tidak mubazir/sia-sia;

Untuk itu para Ketua Pengadilan/Humas Pengadilan Tipikor tidak cukup hanya membuat laporan hasil kinerja Para Hakim Tipikor (Hakim Karir dan atau Hakim Ad Hoc) kepada Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung RI, akan tetapi secara khusus disampaikan kepada masyarakat luas, per triwulan atau semester baik melalui media cetak maupun elektronik, sehingga laporan kinerja yang sedemikian maka keberadaan dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan mudah untuk segera diawasi;

Laporan dimaksud antara lain memuat perkara-perkara yang diputus Bebas (Vrijspraak), Terbukti melakukan akan tetapi bukan pidana (Ontslaag van Alle Vervolging), putusan yang menyatakan perkara Tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk verklaard), penjatuhan hukuman ringan, hukuman berat, hukuman mati dan lain-lain, dengan mengacu pada alasan-alasan hukumnya, demikian juga tentang adanya Disenting Oppinion (pendapat hukum yang berbeda) antara Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc sangatlah diperlukan untuk mengetahui tingkat keseriusan dan kepercayaan (trust) serta melihat yang mana yang bersemangat untuk memberantas Tipikor diantara kubu tersebut;

Kita seyogianya mesti sedih dan merasa tidak adil dikala kita melihat pencopet yang tertangkap tangan babak belur dihajar massa, namun sebaliknya para koruptor khususnya kelas kakap, dengan mudah mendapat alasan perlindungan/proteksi melalui asas praduga tak bersalah, ataupun karena alasan masih termasuk ranah hukum administrasi/hukum perdata, lalu dibebaskan dan atau dihukum ringan, sementara keuangan negara ini tetap juga mengalami kehilangan;

Kesimpulan .

Untuk itu dapatlah dipahami pendapat sebagai berikut :

- Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini untuk keluar dari kemiskinan atau keluar dari kehancuran, kecuali dengan memerangi korupsi secara All Out;

- Tidak perlu ada rasa belas kasihan kepada para koruptor, karena mereka pun tidak mempunyai belas kasihan atas keterpurukan bangsa ini;

- Kwik Kian Gie mengatakan : Corruption is the root of the evil, bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah;

- Hidayat Nur Wahid jua menegaskan : Corruption is the Terrorist, Koruptorlah yang merupakan teroris sejati yang harus dihabisi, Koruptor yang menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kefakiran;[4]

Daftar referensi / Pustaka :

1. Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

3. DR.EGGI SUDJANA, SH.M.Si Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati, halaman 179 penerbit JP Books .

4. Denny Indrayana “Negara Dalam Darurat Korupsi” tulisan yang dimuat dalam buku Jihad Melawan Korupsi, halaman 95, penerbit Buku Kompas.



[1] Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[2] Undang-Undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

[3] DR.EGGI SUDJANA, SH.M.Si Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati, halaman 179 penerbit JP Books .

[4] Denny Indrayana “Negara Dalam Darurat Korupsi” tulisan yang dimuat dalam buku Jihad Melawan Korupsi, halaman 95, penerbit Buku Kompas.