Senin, 14 Desember 2009

PENJATUHAN HUKUMAN DAN ANALISA DATA TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN KASUS KORUPSI (TERKAIT DENGAN PASAL 2 dan PASAL 3).


ntitled Document

PENJATUHAN HUKUMAN DAN ANALISA DATA TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN KASUS KORUPSI (TERKAIT DENGAN PASAL 2 dan PASAL 3).


  1. Penjatuhan Hukuman
Penjatuhan hukuman pidana tidak terlepas daripada asas presumption of innocence “ atau asas praduga tidak bersalah, sebagai suatu pedoman bagi aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip “akuisatur” dan menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang “inkuisitur” yang menempatkan tersangka/terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang dalam setiap tingkat pemeriksaan, sehingga seorang tersangka atau terdakwa harus dipandang tidak bersalah sampai terdakwa terbukti kesalahannya dipersidangan. Namun demikian, Hakim tidak boleh mempunyai sikap menghambat atau menghalangi pembuktian tersebut apalagi sampai melakukan cara-cara melemahkan dakwaan, atau secara diam-diam berkehendak membebaskan atau melepaskan terdakwa atau mungkin memperingan penjatuhan hukuman bagi terdakwa. Sehingga dalam upaya lebih menggugah atau meningkatkan perhatian Hakim dalam memberantas perbuatan yang menyangkut Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2001 yang berisi tentang himbauan dan ajakan kepada semua Pengadilan untuk secara sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap perkara-perkara korupsi, narkoba, utang piutang negara, kejahatan pencurian di laut, kejahatan pengrusakan hutan, dan perkosaan. Hakim sebagai bagian daripada penegak hukum harus konsisten dalam menjalankan tugasnya dengan memperhatikan adagium presumption of innocence, akan tetapi tidak berarti secara berlebihan, karena dapat berakibat menyesatkan dalam upaya penegakan hukum. Dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka/terdakwa menurut ketentuan hukum haruslah dengan adanya bukti-bukti permulaan yang cukup, maka dapat pula diduga bahwa tersangka/terdakwa telah melakukan kesalahan, dan sejak saat itu berlaku adalah asas presumption of guiltysehingga oleh karena itulah penyidik dan penuntut harus membuktikan kesalahan itu. Apabila yang selalu mendominasi hanyalah asas praduga tidak bersalah, maka dapat berakibat segala tindakan penyidikan/penuntutan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa meliputi tindakan Hakim dipersidangan hanyalah akan membuktikan tersangka/terdakwa tidak bersalah, dan bukan membuktikan kesalahan yang telah didakwakan. Hal sedemikian haruslah menjadi bahan penting dan berharga bagi Hakim untuk senantiasa memperhatikan asas presumption of innocence disatu pihak dan asas presumption of guilty dilain pihak, sehingga benar-benar putusan yang dijatuhkan memiliki nilai-nilai keadilan.


Dalam hukum Acara Pidana, penjatuhan putusan akhir atas suatu perkara tindak pidana, diserahkan kepada Hakim dan Hakim akan menjatuhkan putusannya dengan berdasarkan pada pembuktian secara hukum ditambah dengan keyakinannya. Idealnya, suatu putusan Hakim akan memberikan keadilan untuk semua pihak, bahkan sekaligus memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun fakta menunjukkan bahwa mengakomodir keadilan antara terdakwa dan masyarakat yang dirugikan sekaligus dalam putusan tidaklah mudah, karena keadilan berkaitan dengan "rasa subjektif" yang tolak ukurnya sangat relatif. Akan tetapi karena sulitnya mencari parameter yang tepat untuk menentukan keadilan yang hakiki, sekalipun didalam menjalankan kewenangannya untuk mengadili, Hakim mempunyai kebebasan/independensi yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Namun demikian, diperlukan suatu standard tindakan khusus untuk penanganan tindak pidana korupsi, karena implementasinya di lapangan akan berbeda-beda, dan semuanya tergantung pada independensi Hakim yang bersangkutan dalam menangani perkara korupsi tersebut. Pemahaman yang dapat dijadikan pedoman adalah ketentuan undang­undang kekuasaan kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan yang menggariskan bahwa putusan Hakim harus mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Dimana saat ini keadilan atau persepsi keadilan yang dikehendaki oleh rakyat, di antaranya adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang secara serius dan konsisten serta dengan berpedoman pada kondisi objektif bangsa saat ini yang mengalami kerugian keuangan negara dan menimbulkan penderitaan luar biasa di segala bidang sebagai akibat korupsi sebagaimana juga telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya, sehingga dengan mengacu pada hal-hal tersebut kita dapat menentukan titik berat antara keadilan bagi terdakwa dan keadilan bagi seluruh rakyat/masyarakat yang telah terampas hak-haknya untuk mencapai putusan yang tepat.

Karena itu, selain melakukan penilaian fakta-fakta hukum dipersidangan dengan mempertimbangkan berbagai hal menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik penjatuhan putusan selama ini, seyogianya dampak korupsi berupa kerugian hebat yang diderita masyarakat saat ini dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai titik tolak bagi pemikiran Hakim dalam setiap pengambilan putusan perkara korupsi. Perlu diketahui, bahwa putusan perkara korupsi yang dilandasi pemikiran untuk menitikberatkan pada keadilan masyarakat jangan sampai terjebak pada keinginan untuk mencari popularitas, dengan selalu memaksakan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan dalam setiap perkara korupsi, apapun fakta dan keadaannya hal ini sangat berbahaya karena akan berakhir dan terjerumus pada penyalahgunaan/arogansi kekuasaan. Sebaliknya, apabila dalam putusan perkara korupsi Hakim telah pula mempertimbangkan dengan seksama antara keadilan terdakwa dan keadilan masyarakat dan tetap berkesimpulan bahwa terdakwa harus dibebaskan, atau dipidana dengan pidana sekian lama, sepanjang penjatuhan putusan dilakukan secara adil, tentu saja hal tersebut tidak dianggap sebagai kegagalan Hakim dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, indikator keberhasilan peranan Hakim dalam pemberantasan korupsi bukan dari banyaknya terdakwa yang dihukum, tetapi lebih karena putusan yang adil setelah diantaranya mempertimbangkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas. Hal ini dirasa perlu karena upaya pemberantasan korupsi selama ini, kondisi neraca hukum berada pada ”kegagalan para penegak hukum” atau sebaliknya merupakan ”keberhasilan para pelaku koruptor”, oleh karenanya perlu dilakukan suatu koreksi. Semestinya pengadilan memihak kepada kepentingan negara/rakyat dengan mencanangkan adanya suatu inovasi bahwa pengadilan Indonesia adalah pengadilan yang memiliki nurani (conscience of the court) dan nurani itu adalah antikorupsi. Seorang hakim yang bersikap determinasi penuh untuk memberantas korupsi dengan mencermati fakta di persidangan secara berbeda daripada Hakim yang memiliki sikap menjaga status quo. Hal itu dapat terjadi apabila sejak semula Hakim bersikap progresif dan memiliki predisposisi psikologis berupa komitmen, determinasi, dan keberanian melawan korupsi yang telah merugikan keuangan negara sehingga dapat memberikan keadilan yang hakiki kepada masyarakat (delivery of justice). Sehingga predisposisi psikologis hakim dapat menentukan kualitas putusan. Putusan yang adil hanya dapat dicapai terutama apabila Hakim senantiasa mengasah hati nuraninya dan berpedoman kuat pada ajaran agama serta keyakinannya, semuanya harus dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Dampak yang diharapkan dari setiap putusan Hakim yang adil bukanlah sekedar untuk memperoleh citra positif tetapi lebih kepada tumbuh kembalinya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga peradilan dan instrumen-instrumennya.

Menurut Jeremy Pope, yang mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman juga harus didasarkan pada proses pengawasan oleh rakyat secara keseluruhan. Kinerja Hakim secara deskriptif haruslah mencerminkan poin-poin sebagai berikut :


  1. Hakim duduk dalam sidang yang terbuka untuk publik.

  2. Hakim dapat digugat, putusannya dapat dibawa ke Pengadilan lebih tinggi (naik banding).

  3. Putusan Hakim dapat ditinjau ulang putusannya diperiksa oleh lembaga yang berwenang menetapkan apakah sesuai dengan hukum atau tidak.

  4. Hakim diharuskan undang-undang memberikan alasan untuk putusan yang diambilnya dan menerbitkan alasan-alasan itu.

  5. Hakim harus mematuhi undang-undang tentang prasangka dan persepsi mengenai prasangka.

  6. Hakim dapat dikritik oleh media.

  7. Hakim dapat diturunkan dari jabatannya oleh legislatif (atau oleh Dewan Kehormatan peradilan).

  8. Hakim bertanggung jawab pada rekan-rekannya.

Bagi masyarakat, kepercayaan terhadap lembaga peradilan diperlukan untuk menghindari tindakan anarkisme masyarakat (main hakim sendiri) dan menciptakan tertib hukum, sedangkan bagi lembaga peradilan, kepercayaan masyarakat sangat penting selain sebagai wujud apresiasi atas pertanggungjawaban Hakim juga memberikan suasana nyaman yang kondusif bagi kinerja peradilan dan membangun kewibawaan peradilan sehingga pada akhirnya mendekatkan pada pada keinginan kita bersama untuk mewujudkan peradilan yang bersih, bermartabat dan kredibel. Karena jika Hakim hanya bersikap ”mengeja undang-undang” dan ”menjaga status quo”, maka segala putusan yang dijatuhkannya tidak akan mampu merespons dinamika masyarakat dalam hal ”pemberantasan korupsi”. Hal ini berarti sangat diperlukannya undang-undang anti korupsi yang tidak sekedar memadai untuk menjerat para koruptor dan menjatuhkan tindak pidana tetapi juga diharapkan mampu menjawab rasa keadilan itu sendiri. Hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara korupsi pun harus bebas dan terlepas dari pengaruh kekuasaan, tekanan dan campur tangan pihak lain diluar pengadilan bahkan sekalipun oleh kekuatan dan kekuasaan kepentingan politik. Hakim harus benar-benar bersih, berwibawa dalam hukum dan menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Hakim diruang pengadilan hendaknya dalam memutus perkara tidak hanya mendasarkan pada ketentuan hukum normatif yang masih jauh dari kesempurnaan, tetapi Hakim hendaknya mampu menciptakan kaidah-kaidah hukum baru yang senyawa dan sejiwa dengan kompleksitas akar dan bobot perkara yang diputus, atau “Judge made Law”. Hakim merupakan pengemban hukum praktis yang dalam menjalankan profesinya dituntun oleh etika profesi. Dalam pelaksanaannya, etika profesi belum berjalan efektif, disebabkan masih ditemukannya korupsi pada peradilan (judicial corruption) itu sendiri, dan untuk itu sangat dibutuhkan penguatan terhadap pengawasan internal dan eksternal terhadap Hakim sekaligus keterbukaan informasi di pengadilan sebagai upaya alternatif mengatasi krisis dalam profesi Hakim .


  1. Analisis Data Terhadap Beberapa Putusan Kasus Korupsi

Mensikapi hasil Munas IKAHI VIII sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada kenyataannya masih terdapat disparitas pemidanaan dan karenanya perlu dibuat patokan pemidanaan, yaitu patokan dasar/menengah (base term), lebih ringan (mitigated term) dan lebih berat (aggravated term).

Dibawah ini akan dipaparkan beberapa tabel data atas beberapa putusan/vonis pemidanaan, terhadap tindak pidana korupsi selama tahun 2006 dan tahun 2007 di Mahkamah Agung RI, berikut analisis yang dilakukan secara matematis, yaitu :



  1. Tabel data beberapa putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI pada tahun 2006, yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001.





  1. Tabel data beberapa putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI tahun 2006, yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001.









    1. Tabel data beberapa putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI tahun 2007, yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001.

    1. Tabel data beberapa putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI tahun 2007, yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001.



      1. Penjelasan tabel 1 .


    1. Jumlah kerugian Negara atas 21 perkara korupsi tersebut adalah Rp. 333.256.114.964.-

    2. Jumlah hukuman yang dijatuhkan atas 21 perkara korupsi tersebut adalah 116 tahun 6 bulan (1.398 bulan).

    3. Rata-rata kerugian Negara untuk setiap perkara adalah Rp. 333.256.114.964.- : 21 perkara = Rp. 15.869.338.807.-

    4. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan untuk setiap perkara adalah 1.398 bulan : 21 perkara = 66, 5 bulan (5 tahun 5 bulan).

    5. Rata-rata besaran kerugian Negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun penjara adalah Rp. 15.869.338.807.- : (66,5 X 12 bulan) = Rp.2.863.640.088.- atau rata-rata nilai Nominal kerugian Negara untuk hukuman 1 bulan penjara yang dijatuhkan hakim adalah Rp. 15.869.338.807.- : 66,5 = Rp. 238.636.674.-

    6. Kerugian Negara terendah adalah Rp. 79.950.800.-

    7. Kerugian Negara tertinggi adalah Rp. 66.625.000.000.-

    8. Hukuman yang terendah adalah 2 tahun.

    9. Hukuman yang tertinggi adalah 18 tahun.



    Setelah memperhatikan tabel data putusan pidana korupsi pada Mahkamah Agung RI tahun 2006 tersebut, tentunya akan menimbulkan pertanyaan sebagai berikut :

    Mengapa terhadap Pasal 2 masih dapat dikenakan hukuman pidana 2 tahun penjara, (terhadap terpidana Akhmad Hasyim Firmansyah, ST. pada putusan perkara pidana Korupsi No. 382 K/Pid/2006), sedangkan ancaman pidana minimum adalah penjara 4 (empat) tahun ?






      1. Penjelasan tabel 2 .


    1. Jumlah kerugian Negara atas 27 perkara korupsi tersebut adalah Rp. 103.043.164.009.-

    2. Jumlah hukuman yang dijatuhkan atas 21 perkara korupsi tersebut adalah 68 tahun,37 bulan (853 bln).

    3. Rata-rata kerugian Negara untuk setiap perkara adalah Rp. 103.043.164.009.- : 27 perkara = Rp. 3.816.413.485.-

    4. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan untuk setiap perkara adalah 853 bulan : 27 perkara = 31,6 bulan (2 tahun 6 bulan).

    5. Rata-rata besaran kerugian Negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun adalah Rp. 3.816.413.485.- : (31,6 x 12 bulan) = Rp.1.449.270.936.-, dan rata-rata Nominal kerugian Negara untuk hukuman 1 bulan penjara yang dijatuhkan hakim adalah Rp. 3.816.413.485.- : 31,6 = Rp. 120.772.578.-

    6. Kerugian Negara terendah adalah Rp. 7.000.000.-

    7. Kerugian Negara tertinggi adalah Rp. 51.160.635.125.-

    8. Hukuman yang terendah adalah 6 bulan.

    9. Hukuman yang tertinggi adalah 10 tahun.



    Setelah memperhatikan tabel data putusan pidana korupsi pada Mahkamah Agung RI tahun 2006 tersebut, tentunya akan menimbulkan pertanyaan sebagai berikut :

    Mengapa terhadap Pasal 3 masih dapat dikenakan hukuman pidana 6 (enam) bulan penjara, (terhadap terpidana Syamhardi Saleh Bin HM. Saleh pada putusan perkara pidana Korupsi No. 2359 K/Pid/2006), sedangkan ancaman pidana minimum adalah penjara 1 (satu) tahun ?






      1. Penjelasan tabel 3 .


    1. Jumlah kerugian Negara atas 8 perkara korupsi tersebut adalah Rp. 105.001.267.270.-

    2. Jumlah hukuman yang dijatuhkan atas 8 perkara korupsi tersebut adalah 56 tahun, 8 bulan (680 bln).

    3. Rata-rata kerugian Negara untuk setiap perkara adalah Rp. 105.001.267.270.- : 8 perkara = Rp. 13.125.158.408.-

    4. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan untuk setiap perkara adalah 680 bulan : 8 perkara = 85 bulan (7 tahun 1 bulan).

    5. Rata-rata besaran kerugian Negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun adalah Rp. 13.125.158.408.- : (85 X 12 bulan) = Rp.1.852.963.536.-, atau rata-rata Nominal kerugian Negara untuk hukuman 1 bulan yang dijatuhkan hakim adalah Rp. 13.125.158.408.- : 85 = Rp. 154.413.628.-

    6. Kerugian Negara terendah adalah Rp. Rp.979.011.888.-

    7. Kerugian Negara tertinggi adalah Rp. 51.954.361.201.-

    8. Hukuman yang terendah adalah 1 tahun 2 bulan.

    9. Hukuman yang tertinggi adalah 7 tahun.



    Setelah memperhatikan tabel data putusan pidana korupsi pada Mahkamah Agung RI tahun 2007 tersebut, tentunya akan menimbulkan pertanyaan sebagai berikut :

    Mengapa terhadap Pasal 2 masih dapat dikenakan hukuman pidana 1 tahun 2 bulan penjara, (terhadap terpidana Sumantri, dkk pada putusan perkara pidana Korupsi No.671 K/Pid/2007, dan 3 tahun 6 bulan terhadap terpidana Dudung Rusmana,SH Bin Sudinta Dkk pada putusan perkara pidana Korupsi No. 640 K/Pid/2007 sedangkan ancaman pidana minimum adalah penjara 4 (empat) tahun.






      1. Penjelasan tabel 4 .


    1. Jumlah kerugian Negara atas 12 perkara korupsi tersebut adalah Rp. 86.613.086.228,5-

    2. Jumlah hukuman yang dijatuhkan atas 12 perkara korupsi tersebut adalah 29 tahun, 6 bulan (354 bln).

    3. Rata-rata kerugian Negara untuk setiap perkara adalah Rp. 86.613.086.228,5.- : 12 perkara = Rp. 7.217.757.185.-

    4. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan untuk setiap perkara adalah 354 bulan : 12 perkara = 29,5 bulan (2 tahun 5 bulan).

    5. Rata-rata besaran kerugian Negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun adalah Rp. 7.217.757.185.- : (29,5 X 12 bulan) = Rp.2.936.036.820.-, atau rata-rata Nominal kerugian Negara untuk hukuman 1 bulan yang dijatuhkan hakim adalah Rp. 7.217.757.185.- : 29,5 = Rp. 244.669.735.-

    6. Kerugian Negara terendah adalah Rp. 18.811.441.

    7. Kerugian Negara tertinggi adalah Rp.70.687.012.006.-

    8. Hukuman yang terendah adalah 1 tahun.

    9. Hukuman yang tertinggi adalah 7 tahun.



    Dalam praktik persidangan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung (pada tingkat Kasasi dan atau upaya hukum Peninjauan Kembali), selalu memuat “kualifikasi” pemidanaan yang berbunyi sama dalam setiap amar putusannya, antara lain :





    1. kwalifikasi “Korupsi”, atau

    2. kualifikasi “Korupsi yang Dilakukan Secara Berlanjut”, dan atau

    3. kualifikasi “Korupsi yang Dilakukan Secara Bersama-sama dan Berlanjut”) ;



    terlepas atas kasus perbuatan korupsi dengan unsur “memperkaya” (vide Pasal 2 ayat 1 UU PTPK) maupun perbuatan korupsi dengan unsur “menguntungkan” (vide Pasal 3 UU PTPK).

    Kalau mencermati pendapat Van Hattum, bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur, adalah sekedar menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang, jadi laksana suatu etiket untuk apa yang terkandung dalam rumusan, akan tetapi dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi. Dalam hal-hal khusus, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi itu didasarkan atas alasan-alasan yang rasionil (masuk akal) ini dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana, dan mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan-perbuatan yang tidak dimaksudkan. Semestinya pada tindak pidana korupsi, dapat ditentukan kualifikasi pemidanaan yang membedakan antara perbuatan korupsi dengan unsur “memperkaya” maupun perbuatan korupsi dengan unsur “menguntungkan”, yang tidak lain untuk mempermudah bagi setiap khalayak umum untuk memahami kategori perbuatan terpidana/koruptor, serta dapat mengurangi disparitas putusan pada penjatuhan pidana penjara bagi terpidana .

    Selanjutnya berdasarkan uraian tabel-tabel data atas beberapa putusan perkara tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI tahun 2006 dan tahun 2007, yang dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001, selanjutnya dapat digambarkan tabel data sebagai berikut:





    1. Tabel data mengenai rata-rata penjatuhan hukuman dan rata-rata kerugian negara pada tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung RI untuk tahun 2006/2007 terhadap Pasal 2 ayat (1).



    1. Tabel data mengenai rata-rata penjatuhan hukuman dan rata-rata kerugian negara pada tahun 2006/2007 terhadap Pasal 3.



    Mencermati keberadaan daripada tabel data putusan korupsi diatas, maka terhadap putusan tindak pidana korupsi mengenai unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” yang dikemukakan tersebut diatas, setelah dilakukan pengkajian secara matematis, selanjutnya diperoleh pemidanaan sebagai berikut :





    1. Tahun 2006 dan tahun 2007 rata-rata besaran kerugian negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun atas Pasal (3) adalah antara nilai Rp.1.449.270.936.- sampai dengan nilai Rp. 2.936.036.820.- demikian pula untuk

    2. Tahun 2006 dan tahun 2007 rata-rata besaran kerugian negara untuk penjatuhan hukuman 1 tahun atas Pasal 2 ayat (1) adalah antara nilai Rp. 1.852.963.536.- sampai dengan nilai Rp. 2.863.640.088.-



    Dengan memperhatikan rata-rata besaran nominal kerugian negara yang hampir sama tersebut, maka sulit membedakan kriteria nominal unsur memperkaya (vide Pasal 2) dengan unsur menguntungkan (vide Pasal 3), selain itu juga Mahkamah Agung RI dalam menjatuhkan hukuman pidana atas tindak pidana korupsi masih ditemukan putusan berupa penjatuhan hukuman percobaan. Tidak berfungsinya hukuman minimal yang diatur oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, atau batas minimal penjatuhan hukuman yang tidak terkontrol adalah merupakan suatu akibat tidak diaturnya batas minimal nilai nominal dari arti “memperkaya”.

    Sejalan dengan keadaan itu Barda Nawawi Arief mengatakan, pencantuman pidana minimal khusus dalam perumusan delik merupakan suatu penyimpangan dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP. Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun seharusnya disertai dengan aturan penerapannya secara khusus, karena :





    1. Suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja diterapkan/dioperasionalkan hanya dengan dicantumkan dalam perumusan delik, pencantuman “ancaman pidana” hanya merupakan subsistem dari keseluruhan sistem pemidanaan.

    2. Untuk dapat diterapkan, harus ada aturan pemidanaan (straftoemetingsregel) nya lebih dahulu, sedangkan aturan penerapan pidana yang ada selama ini diatur dalam “aturan umum” KUHP (sebagai sistem induk).

    3. Aturan (pemidanaan) umum dalam KUHP semuanya berorientasi pada sistem maksimal, tidak pada sistem minimal.

    4. Oleh karena itu, apabila undang-undang diluar KUHP akan menyimpang dari sistem umum KUHP, maka undang-undang diluar KUHP seharusnya membuat aturan (pemidanaan) khusus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP.



    Sementara itu menurut Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran pengadilan empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia tahun 2007 tertanggal 4 September 2007 , menyatakan :





    1. Jika seorang Pejabat Pegawai Negeri didakwa dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undang-undang nomor 20 tahun 2001 secara subsidairitas, maka jika terbukti, terdakwa dikenakan Pasal 2 undang-undang tersebut karena “Setiap Orang” dalam pasal tersebut berarti siapapun, baik Pegawai Negeri/Pejabat ataupun Swasta.

    2. Ketentuan Pasal 14 huruf a KUHP hanya dapat diterapkan secara eksepsional terhadap tindak pidana korupsi.

    3. Bilamana didalam undang-undang ada diatur ketentuan batas minimal dan batas maksimal pemidanaan, maka ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi.



    Kondisi penjatuhan putusan pemberantasan korupsi sebagaimana diuraikan diatas, yang apabila diperbandingkan dengan nominal kerugian keuangan Negara yang sangat besar (antara Rp.1.449.270.936.- sampai dengan nilai Rp. 2.936.036.820.-(untuk rata-rata pidana penjara 1 tahun), tentunya penjatuhan hukuman sedemikian belum dapat dikatakan bermanfaat secara maksimal. Dengan perkataan lain kondisi sedemikian tidak banyak yang didapat manfaatnya oleh negara, sebaliknya negara akan tetap mengalami kesulitan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya, khususnya dalam tujuannya untuk menuju/mencapai masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan madani apalagi untuk melakukan pengentasan kemiskinan, maka dengan demikian upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan sangat jauh dari yang diharapkan dan hanya akan merupakan slogan semata.

    Tentunya keadaan sedemikian tidak boleh terlalu berlarut-larut dibiarkan berlangsung bagi bangsa Indonesia, untuk itulah pengambil kebijakan (stake holder) yaitu pemerintah (lembaga eksekutif) dan pembuat undang-undang (lembaga legislatif), serta pelaksana undang-undang (lembaga yudikatif) harus segera bertindak cepat dalam mengambil langkah berupa tindakan antisipatif, dengan melakukan koreksi, inovasi terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya ketentuan-ketentuan hukum tentang tindak pidana korupsi.

    Sementara itu bila memperhatikan Rancangan Undang-Undang KUHP, khususnya berkaitan dengan pengaturan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab XXXI tentang Kejahatan Korupsi Penyalahgunaan Wewenang yang Merugikan Keuangan Negara, (vide Pasal 681 sampai dengan Pasal 690). Pada pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP ini dibagi dalam dua jenis tindak pidana yakni, suap dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Secara garis besar, Rancangan Undang-Undang KUHP dalam perumusan pasal-pasalnya telah mendahului pokok-pokok rumusan tindak pidana dalam undang-undang Korupsi (undang-undang nomor 31 tahun 1999 dan undang-undang nomor 20 tahun 2001).

    Pasal 684

    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI.

    Pasal 685

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI.

    Penyusun Rancangan Undang-Undang KUHP bermaksud memberikan rumusan-rumusan secara restriktif atas jenis dan berbagai modus operandi dalam tindak pidana korupsi. Walaupun, rumusan pasal-pasal Rancangan KUHP kurang mendetail, khususnya mengenai rumusan-rumusan obyek kaidah yang diatur dalam tindak pidana korupsi.

    Namun jika dibandingkan dengan undang-undang pemberantasan korupsi, bobot pidana denda RUU KUHP memberikan ancaman yang lebih berat hingga Kategori VI (pidana denda 3 (tiga) milyar rupiah). Sementara itu, ancaman denda maksimal dalam undang-undang korupsi maksimal adalah 1 (satu) milyar rupiah. Hanya saja, dalam RUU KUHP tidak didapati adanya ancaman pidana tambahan seperti pada undang-undang korupsi, yang juga memuat ancaman pidana sebagai berikut :





    1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut;

    2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

    3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun;

    4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.



    Pada kondisi sedemikian, rumusan ancaman pidana tambahan tersebut memiliki efek jera yang cukup diperhitungkan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Kelemahan lainnya adalah ketidakcermatan untuk merumuskan subyek kaidah. Sebagai contoh adalah pada Pasal 681 Rancangan Undang-Undang KUHP yang menghilangkan subyek kaidah penyelenggara negara dalam rumusan pasalnya. Sementara dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan dua subyek kaidah dalam pelbagai rumusan pasal-pasalnya yakni, pegawai negeri / penyelenggara negara dan atau swasta. Akan tetapi terhadap seorang Pejabat Pegawai Negeri yang didakwa dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undang-undang nomor 20 tahun 2001 secara subsidairitas, maka jika terbukti, terdakwa dapat dikenakan Pasal 2 dari undang-undang tersebut, karena unsur “Setiap Orang” berarti berlaku kepada siapapun, baik Pegawai Negeri/Pejabat ataupun swasta (Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI tertanggal 4 September 2007).

    Sebagaimana rumusan/formulasi daripada RUU-KUHP yang sudah berulang-ulang kali draft akademisnya diseminarkan dan juga telah dilakukan studi komparasi pada beberapa KUHP negara lain, dimana secara garis besar, RUU-KUHP telah memuat kriteria kuantitatif /kualifikasi dalam penentuan pidana penjara minimum khusus, kualifikasi dimaksud antara lain:





    1. ketika ancaman pidana maksimumnya antara 4 (empat) tahun hingga 7 (tujuh) tahun (atau, delik-delik dengan kualifikasi "berat").

    2. ketika ancaman pidana penjara maksimumnya 7 (tujuh) tahun sampai pidana mati (atau, menurut istilah tim perancangnya merupakan delik-delik dengan kualifikasi "sangat serius"), atau dalam kondisi tertentu (eksepsional),



    Selanjutnya untuk pidana dendanya adalah nilai "padanan" untuk strafmaat pidana penjara tersebut, yaitu :





    1. kategori IV dikenakan Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) untuk delik-delik dengan kualifikasi "berat".

    2. denda kategori V dikenakan Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), atau

    3. kategori VI dikenakan Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) untuk delik-delik dengan kualifikasi "sangat serius", dan vide Pasal 80 Ayat (3) RUU-KUHP.



    Untuk formulasi sistem pemidanaan RUU-KUHP ternyata telah mencantumkan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, walaupun masih terdapat kelemahan sebagai berikut:





    1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat dicantumkan minimum khususnya.

    2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum khususnya. Demikian juga dengan pidana kurungan minimum khusus dan pidana denda minimum khusus.

    3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.



    Pada kesempatan ini dapatlah dilakukan perbandingan hukum dengan memperhatikan buku Kesatu tentang Ketentuan umum, Bab III tentang Pemidanaan, pidana dan tindakan RUU-KUHP yang telah menetapkan kriteria/kategori denda dan pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (5) dan (6) sebagai berikut :

    Ayat (5)

    Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana diancam dengan :





    1. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V.

    2. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) adalah denda Kategori VI.



    Ayat (6)

    Pidana denda paling sedikit untuk korporasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah Kategori IV.

    Perbandingan hukum diatas dapat pula dikaitkan dengan maksud daripada Penjelasan umum (alinea ke-8) uu no.20 tahun 2001, yang menyatakan :

    Selanjutnya dalam undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil”.

    Berkenaan dengan maksud daripada Penjelasan umum" (alinea ke-8) UU No.20 tahun 2001, yang memiliki kesepadanan dengan bunyi Pasal 12 A ayat (2), yang menyatakan :

    Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.- (lima puluh juta rupiah).

    Demikian pula dapat dipedomani suatu acuan sebagaimana hasil Rapat Tim Pengkajian RUU KUHP pada bulan April 1989 kesepakatan pola minimum yang berkisar antara 1-7 tahun, dengan penyebaran sebagai berikut :



    Sesungguhnya atas hal-hal diatas, pengambil kebijakan (stake holder) dapat menilik formulasi pada RUU-KUHP yang telah ada dan sudah berulang-ulang draft akademisnya diseminarkan, serta telah dilakukan studi komparasi pada beberapa KUHP negara lain, apalagi RUU-KUHP tersebut telah memiliki kriteria kuantitatif dalam penentuan pidana penjara minimum khusus, tentunya dapat dengan segera disikapi melalui pendekatan analogi perbandingan hukum, yang menurut penulis cara tersebut tidak begitu sulit lagi untuk dilakukan pembahasan atau riset yang berkepanjangan.

    Maka dapatlah disimpulkan, bahwa penerapan daripada UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 yang selama ini berlangsung telah jauh menyimpang dari kehendak yang ingin dicapai oleh pembuat undang-undang (perumus RUU UU No.31 tahun 1999).

    Untuk mengatasi hal sedemikian tentunya harus dicari solusi yaitu dengan melakukan suatu analogi perbandingan hukum, dan mempadukan maksud dari pada pembuat RUU KUHP (pasal 77) serta maksud dari pada pembuat UU No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001. Untuk itu layaklah apabila diredusir sebagai solusi akhir dalam penyelesaian pembahasan tesis ini, dengan mengacu pada buku kesatu RUU-KUHP mengenai Ketentuan Umum, Bab III tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan yang telah menetapkan kriteria/kategori terhadap pidana denda, sebagaimana diatur dalam Paragraf 5 pada Pasal 77 diatas. Dalam hubungannya dengan tabel data putusan korupsi tahun 2006/2007, untuk itu dapatlah penulis melakukan perumusan/formulasi dalam mewujudkan kriteria kuantitatif nilai nominal kerugian negara dan penentuan pidana penjara minimum khusus pada unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan”, dengan berdasarkan pada ketentuan RUU-KUHP tersebut, dan juga sebagaimana maksud dari “Penjelasan umum” (alinea ke-8) UU No.20 tahun 2001, mengenai tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah).

    Memperhatikan tabel data putusan korupsi tersebut diatas, yang telah memperlihatkan rata-rata nilai kerugian negara berkisar 200 jutaan hanya untuk 1 (satu) bulan hukuman penjara atau berkisar Rp.2.000.000.000.-(dua milyar rupiah) untuk 1 (satu) tahun hukuman penjara, tentunya sangat berbanding terbalik dengan maksud daripada pembuat/perumus undang-undang korupsi, sebagaimana telah dimuat dalam Penjelasan umum" (alinea ke-8) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001, mengenai tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah) diancam hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun, yang telah diimplementasikan pula pada Pasal 12 A ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001.

    Sehingga formulasi yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah dengan melakukan analogi perbandingan hukum, sebagai suatu upaya dalam penentuan kriteria terhadap unsur “menguntungkan” dan “memperkaya” selanjutnya dapat dilakukan penentuan nilai nominal kerugian negara atas unsur “menguntungkan” dan “memperkaya” tersebut, sebagai berikut :

    1. Penentuan kriteria terhadap unsur “menguntungkan” (vide Pasal 3):





    1. kategori I (delik korupsi kualifikasi biasa) dengan nilai kurang dari Rp.5.000.000.- dengan ancaman maksimal 3 tahun.

    2. kategori II (delik korupsi kualifikasi berat) dengan nilai Rp.5.000.000.- s/d kurang dari Rp.100.000.000.-(seratus juta rupiah) dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun dan paling lama 20 tahun.



    2. Penentuan kriteria terhadap unsur “memperkaya” (vide Pasal 2):





    1. Kategori III (delik korupsi kualifikasi sangat berat) dengan nilai kurang dari Rp.100.000.000.- (seratus juta rupiah) s/d kurang dari Rp.1. Milyar dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

    2. kategori IV (delik korupsi kualifikasi sangat serius/eksepsional) dengan nilai Rp.1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) atau lebih, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 6 tahun dan paling lama 20 tahun atau dapat dijatuhi pidana mati.


    Kegunaan kategori/kualifikasi pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. undang-undang nomor 20 tahun 2001), akan berdampak :





    1. Dapat menghapuskan disparitas putusan Hakim dalam penjatuhan hukuman pidana bagi pelaku koruptor .

    2. Dapat memudahkan untuk mengetahui besar/kecilnya nominal kerugian negara yang diakibatkannya.

    3. Dapat membedakan klasifikasi tingkat kesalahannya, dan memudahkan Hakim untuk menjatuhkan putusan/pemidanaan.

    4. Konsekwensi penjatuhan hukuman lebih mudah untuk diterapkan.



    Demikian artikel ini, sampai pada artikel berikutnya.






    .Barda Nawawi Arief, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 4 No.1 Edisi Maret 2007 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI halaman 38.



    .Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran pengadilan empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia tahun 2007, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No.263 Oktober 2007 halaman 133.




    . Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, penerbit PT Kencana Prenada Media Group Jakarta 2008, halaman 126.







    .Moelijatno, Asas-Asas Hukum Pidana,penerbit Rineka Cipta Jakarta, 1983 halaman 66-67.







    . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28.




    . Mansyur Semma, Negara dan Korupsi , penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2008, halaman 63.